Merawat Alam dengan Wisata Bertanggung Jawab
2017.11.24
Malang

Karang yang tinggi tampak memecah ombak, mengalirkan air laut di sepanjang pesisir Pantai Clungup dan Pantai Gatra di selatan Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Ayam hutan terlihat melintas di hutan lindung di sekitarnya, di tengah kicauan burung yang ramai bersahutan.
Tak hanya pemandangan alam yang indah, pengunjung bisa menyewa perahu kano, mendayung keliling pantai, atau snorkeling menyelam ke dasar lautan melihat terumbu karang.
Siapa yang menyangka jika terumbu karang indah dan hutan liar dulu rusak parah. Para nelayan menebar racun buat menangkap ikan hias dan mencuri terumbu karang untuk hiasan akuarium.
Seperti yang dilakoni Joni Rudi Irawan. Sejak 1980-an, dia mencari ikan hias, udang dan lobster secara ilegal, menggunakan potasium hingga merusak terumbu karang yang dijual ke Bali untuk hiasan akuarium.
“Sekarang sadar dan berhenti. Ingat anak cucu,” katanya kepada BeritaBenar, Minggu, 19 November 2017.
Kini, Joni jadi penyelam yang bertugas melakukan transplantasi terumbu karang. Dulu merusak terumbu karang, sekarang justru menyelamatkannya. Dia juga membuat rumah ikan, menjadi habitat ikan hias dan ikan tangkap.
Hidup bersama alam
Joni bergabung dengan Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru yang mengelola Pantai Clungup, Pantai Gatra, Pantai Batu Pecah, Pantai Mini, Pantai Sapana dan Pantai Tiga Warna. Bersama 108 warga Desa Tambakrejo, Sumbermanjing Wetan, mereka mengelola dan merehabilitasi hutan dan pantai.
“Ada juga petani penggarap, menebang hutan. Sekarang terlibat konservasi kawasan,” kata pengurus Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru, Muhammad Sofii.
Di awal masa reformasi, hutan di sekitar pesisir selatan Jawa ditebang untuk lahan pertanian. Ketika hujan air menjadi keruh, sedangkan saat kemarau mengalami krisis air.
“Dulu air melimpah sekarang sulit,” kata Ketua Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru, Saptoyo.
Selama 2005 sampai akhir 2011, dia konsisten menanam mangrove. Bersama 25 warga sekitar dan mahasiswa, mereka mengembangkan wisata pendidikan mangrove. Pengunjung belajar menanam mangrove.
Tujuan Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru, katanya, melakukan konservasi hutan lindung, hutan mangrove dan terumbu karang. Sementara pengelolaan ekowisata dilakukan untuk mendukung usaha konservasi tersebut.
“Cita-cita saya, hidup bersama alam. Bagaimana manusia membangun harmoni dengan alam, tanpa merusaknya,” katanya kepada BeritaBenar.
Pengunjung dibatasi
Tak tampak banyak pengunjung dan pedagang makanan memenuhi pantai.
Pasir putih bersih, tak ada sampah berserakan.
Tak sembarangan bisa masuk ke sini, petugas memeriksa tas bawaan pengunjung. Barang yang berpotensi menjadi sampah dicatat, seperti botol plastik, tas kresek, masker, tisu, dan kertas.
Jika ada sampah tertinggal didenda Rp100 ribu. Jumlah pengunjung juga dibatasi, maksimal 1.000 orang per hari sesuai daya dukung kawasan.
“Kuota, cek list sampah, dan reservasi diberlakukan sejak 2015,” jelas Saptoyo.
Kendaraan tak bisa langsung parkir di tepi pantai, tapi sejauh 500 meter. Pengunjung harus berjalan kaki menuju pantai. Cukup membayar Rp10 ribu, para pengunjung bisa menikmati alam di pantai Clungup dan Gatra.
Khusus untuk Pantai Mini, Sapana, Batu Pecah, dan Tiga Warna, pengunjung harus pakai jasa pemandu. Setiap 10 orang disediakan jasa pemandu dengan membayar Rp100 ribu.
Pemandu dibutuhkan karena jalur menuju lokasi berbahaya, curam dan ombak besar sekaligus mencegah kerusakan mangrove dan terumbu karang.
Khusus Pantai Tiga Warna, pengunjung dibatasi 100 orang dengan durasi maksimal dua jam. Untuk menuju ke sini, pengunjung harus berjalan kaki dua kilometer.
Puncak kunjungan wisatawan terjadi pada musim libur sekolah. Pengunjung rata-rata anak muda, mahasiswa yang tertarik wisata alam sambil belajar konservasi.
Namun, tak jarang juga ada rombongan keluarga dan manula yang berkunjung serta wisatawan mancanegara.
Setiap Kamis, kawasan wisata ditutup. Tujuannya memberi kesempatan alam untuk beristirahat atau memulihkan diri secara alamiah. Juga ditutup sepekan saat pergantian tahun dan sepekan selama libur lebaran.
Seorang pengunjung, Wawan Eko Yulianto yang datang bersama rombongan mengaku puas dapat menikmati pantai dan konservasi yang dilakukan warga.
“Alamnya indah, pemandu menguasai lingkungan,” ujarnya.
Dia mengaku tak rugi berkunjung ke pantai Tiga Warna dan berjanji akan kembali lagi. Wawan tak menyangka masyarakat mampu mengelola wisata secara profesional.
Kunjungan dibatasi, pengawasan sampah pengunjung, dan reservasi sebelum kunjungan.
“Mereka hidup selaras dengan alam,” pungkasnya.
Koordinator East Java Ecotourism Forum (EJEF) Agus Wiyono menilai Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru adalah yang pertama menerapkan konsep pengelolaan wisata dari visi konservasi.
“Dibatasi kuota, karena daya dukung, kenyamanan dan keamanan pengunjung,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan (WALHI) Jawa Timur, Tri Jambore Christanto, mendukung usaha konservasi dan pengelolaan wisata alam yang dikelola Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru.
Sebenarnya pesisir selatan Malang memiliki puluhan pantai yang indah, tetapi sebagian besar digunakan untuk wisata massal.
“Dampak wisata massal signifikan. Ada perubahan bentang alam dan infrastruktur. Ini harus harus dihentikan karena ekologinya kritis,” harapnya.