Kapal Survei China Berkeliaran di ZEE Indonesia Membuat Jakarta Dilema

Jakarta mengerahkan beberapa kapal TNI AL ke perairan Natuna, tetapi tetap mengecilkan kehadiran kapal Beijing seberat 3.400 ton itu.
Staf BenarNews
2021.09.21
Kapal Survei China Berkeliaran di ZEE Indonesia Membuat Jakarta Dilema Sejak 31 Agustus2021, kapal Haiyang Dizhi 10 bergerak perlahan ke wilayah Laut Natuna Utara dalam pola tipikal kapal yang melakukan survei.
Radio Free Asia

Tiga minggu yang lalu, sebuah kapal survei China masuk dan berlayar tanpa diundang di zona ekonomi eksklusif Indonesia. Kapal tersebut berlayar melintasi bentangan kecil di Laut Natuna Utara dengan pola mesin pemotong rumput yang khas digunakan oleh kapal survei maritim. Hingga Selasa, kapal itu tetap berada di sana, di tengah sejumlah pertanyaan yang hingga kini belum terjawab mengenai apa sebenarnya yang dilakukannya di sana.

Pihak berwenang Indonesia telah mengerahkan beberapa kapal TNI AL ke perairan tersebut, namun tetap tidak menganggap kehadiran kapal China berbobot 3.400 ton, Haiyang Dizhi 10, sebagai suatu masalah besar. Sikap ini menunjukkan dilema yang umum dihadapi pemerintahan di negara-negara maritim Asia Tenggara, yaitu bagaimana menanggapi klaim China atas sebagian besar wilayah Laut China Selatan.

“Ini adalah pedoman yang sama persis yang kami lihat Beijing gunakan terhadap Vietnam di akhir 2019 dan Malaysia di awal 2020,” ujar Greg Poling, direktur Inisiatif Transparansi Maritim Asia (AMTI) di Center for Strategic and International Studies di Washington, merujuk pada insiden di mana kapal survei China berkeliaran di zona ekonomi eksklusif (ZEE) negara-negara tetangga, tempat eksplorasi minyak dan gas sedang berlangsung.

Seorang peneliti Vietnam telah memantau Haiyang Dizhi 10 sejak hari pertama.

Duan Dang mengatakan kepada BenarNews bahwa dirinya melihat kapal China tersebut mendekati ZEE Vietnam pada 29 Agustus di dekat instalasi ladang minyak Dai Nguyet.

“Tetapi pada pagi hari [31 Agustus], sinyal AIS [sistem identifikasi otomatis] menunjukkan Haiyang Dizhi 10 bergerak perlahan ke selatan ke perairan Indonesia dan memasuki Blok Tuna, dekat lokasi dimana kilang minyak Noble Clyde Boudreaux berada,” katanya.

Menurut berbagai sumber di industri energi, kilang minyak tersebut sedang mengebor dua sumur di sana hingga pertengahan November.

"Pada satu saat, kapal itu berjarak hanya 10 mil laut dari rig," kata Duan.

Duan mulai memperbarui hampir setiap hari informasi mengenai operasi kapal China di daerah tersebut, yang lokasinya berada di dalam ZEE Indonesia tetapi tumpang tindih dengan “sembilan garis putus-putus” atau klaim imajiner yang dikeluarkan China atas sebagian besar wilayah Laut China Selatan. Sejumlah negara-negara tetangga di Asia Tenggara menolak klaim China tersebut dan hukum internasional tidak mengakuinya.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) mengharuskan pemerintah suatu negara untuk meminta izin terlebih dahulu untuk melakukan penelitian ilmiah kelautan di ZEE negara bagian lain dan China sering mengabaikan syarat ini.

Perhatian media dan publik atas keberadaan kapal Haiyang Dizhi dan Kapal Penjaga Pantai China yang dilaporkan berada di Laut Natuna Utara membuat Indonesia mengerahkan beberapa kapal TNI AL ke wilayah tersebut dan melakukan patroli udara maritim.

Kapal survey geologis China Haiyang Dizhi 10 terlihat sedang berada di Pakistan di tahun 2019 ketika kapal itu melakukan riset hidrokarbon dan pemetaan geologis. [Foto dokumentasi Angkatan Laut Pakistan]
Kapal survey geologis China Haiyang Dizhi 10 terlihat sedang berada di Pakistan di tahun 2019 ketika kapal itu melakukan riset hidrokarbon dan pemetaan geologis. [Foto dokumentasi Angkatan Laut Pakistan]

Pola memotong rumput

Badan Keamanan Laut (Bakamla) Indonesia menyampingkan kekhawatiran akan keberadaan kapal Haiyang Dizhi dan mengatakan bahwa “tidak ada pelanggaran dalam peraturan pelayaran.”

“Mereka mungkin hanya melakukan perlintasan biasa,” ujar juru bicara Bakamla, Wisnu Pramandita.

Sejumlah analis mengatakan bahwa pergerakan kapal China tersebut yang berlayar dalam pola kotak-kotak (grid) menunjukkan dengan jelas bahwa kapal itu sedang melakukan kegiatan riset.

H.I. Sutton, seorang analis pertahanan terkenal, mengatakan bahwa Haiyang Dizhi 10 “sepertinya sedang melakukan survei yang mendetil mengenai dasar laut.”

“Dari data yang kami lihat, ini sepertinya survei seismik tersebut menggunakan sonar khusus untuk melihat bawah dasar laut. Kemungkinan besar gunanya survei ini terkait dengan eksploitasi hidrokarbon,” ujarnya kepada BenarNews.

Blok Tuna, lokasi dimana Haiyang Dizhi melakukan operasinya, adalah ladang minyak dan gas yang penting. Menurut laporan media khusus energi, Energy Voice dan kantor berita Rusia, Interfax, perusahaan minyak dan gas asal Inggris, Harbour Energy dan mitranya, Zarubezhneft Rusia, sedang melakukan pengeboran untuk menilai potensi cadangan minyak di sana menggunakan kilang minyak yang dapat beroperasi di bawah air, Noble Clyde Boudreaux.

Lokasi blok itu berada sekitar 90 mil laut di utara Kepulauan Natuna Indonesia. Di tahun 2007, pemerintah Indonesia memberikan hak untuk mengeksplorasi blok tersebut kepada Premier Oil, yang awal tahun ini bergabung menjadi salah satu anak perusahaan Harbour Energy Plc. Zarubezhneft, perusahaan minyak Rusia, bergabung di eksplorasi tersebut pada awal tahun ini.

Pejabat Zarubezhneft mengatakan kepada kantor berita Rusia Interfax pada bulan Juni bahwa blok Tuna diperkirakan memiliki cadangan 100 juta barel minyak.

Menurut Poling, pengamat dari AMTI, China menggunakan pedoman yang biasa digunakannya untuk menentang eksplorasi sumber daya di perairan yang menjadi sengketa dan dianggapnya sebagai perairan yang menjadi yurisdiksinya.

“Pertama, Penjaga Pantai China (CCG) melecehkan operasi minyak dan gas asing dengan harapan tindakan itu akan memaksa negara tetangga untuk menghentikan pekerjaan. Kemudian, jika tindakan itu gagal, China mengerahkan kapal survei milik negara yang dilindungi oleh CCG dan kapal milisi untuk melakukan survei ilegal sendiri di perairan negara yang dilanggarnya,” katanya.

“Dalam hal ini, tindakan tersebut sangat salah karena Haiyang Dizhi 10 melakukan survei hingga ke ujung batas sembilan garis putus-putus, tetapi tidak lebih dari itu. Ini memberikan bukti yang jelas bahwa Beijing terus memandang garis tersebut sebagai semacam perbatasan nasionalnya,” kata Poling.

Pendapat ini juga disetujui oleh analis pertahanan Sutton.

“Negara-negara akan secara alami khawatir akan tingkat dan lokasi upaya survei China karena survei tersebut cenderung menuruti batas garis sembilan putus-putus, yang secara kasar menunjukkan klaim teritorial China secara unilateral atas hampir seluruh wilayah Laut China Selatan,” katanya.

210921_ID_Scs3.png

‘Hak historis China’

Namun tidak semua peneliti berpandangan hal yang sama.

Mark Hoskin, seorang peneliti independen dan dosen sejarah dan hukum maritim China, mengatakan sebelum abad ini, jarang ada protes resmi akan klaim China atas hak-hak historisnya.

“Walau survei seperti ini dapat dilihat sebagai gangguan oleh negara-negara terkait, namun jika dilakukan di daerah yang tidak sensitif secara militer, negara-negara itu akan melihat manfaat yang lebih besar daripada biaya yang diperkirakan,” katanya.

Dia mengatakan bahwa yang terjadi di Filipina, survei semacam itu telah mengarah pada proyek pembangunan bersama, “di mana China memiliki pengalaman paling praktis dari semua negara di kawasan ini.”

Vietnam, salah satu negara yang mengklaim wilayah di Laut China Selatan dan negara yang sepertinya mengalami tekanan terberat dari China untuk menghentikan eksplorasi minyak di lepas pantai selatannya, tidak terlihat tertarik dengan saran dari Beijing untuk melakukan pembangunan bersama.

Ketika Haiyang Dizhi 8 beroperasi di dalam ZEE Vietnam selama tiga bulan pada tahun 2019, Hanoi berulang kali mengecam tindakan yang disebutnya sebagai “pelanggaran kedaulatan dan yurisdiksi Vietnam” dan menuntut agar China menarik kapal surveinya. China pada akhirnya melakukan itu dengan mengatakan mereka telah menyelesaikan misi surveinya.

Tetapi reaksi Indonesia sekarang, dan tanggapan Malaysia setahun sebelumnya ketika Haiyang Dizhi 8 China beroperasi di perairan Malaysia selama sebulan penuh sampai kapal bor yang dikontrak Malaysia telah mengosongkan daerah itu, jauh lebih terkendali.

Walau ada tekanan publik untuk membela kepentingan nasional, pemerintah Indonesia belum mengeluarkan tanggapan resmi dan pakar regional mengatakan Jakarta tampaknya memprioritaskan pendekatan diplomatik untuk masalah ini.

Hal itu bermuara pada keputusan politik yang diambil oleh negara-negara pantai terkait, ujar Hoskin.

“Inggris, Belanda, dan AS di masa lalu akan melakukan survei tanpa campur tangan di perairan yang sama [di Laut China Selatan]. Protes terhadap kapal-kapal RRT (China) yang melakukan kegiatan semacam itu semata-mata bersifat politis, dan tidak membentuk pendekatan yang masuk akal untuk eksplorasi ilmiah laut,” katanya.

Armada kapal survei terbesar

Menurut Sutton, kapal survei China bagaimanapun akan selalu dipandang dengan kecurigaan, “seperti melakukan survei untuk alasan yang tidak sesuai dengan kepentingan negara lain.”

Sebuah laporan AMTI pada tahun 2020 menunjukkan bahwa penelitian maritim berguna untuk keperluan sipil dan militer.

“Data oseanografi sangat penting untuk operasi bawah laut… Kapal penelitian yang konon terlibat dalam penelitian ilmiah juga dapat menggunakan instrumen mereka untuk pengintaian angkatan laut, mengumpulkan intelijen di fasilitas dan kapal militer asing,” katanya.

Sejauh ini, China mengoperasikan armada kapal penelitian pemerintah terbesar di wilayah tersebut.

Menurut database Organisasi Maritim Internasional, ada 64 kapal survei China yang terdaftar dibangun pada atau setelah tahun 1990, lebih banyak dari  armada kapal AS yang berjumlah 44 dan armada Jepang sebanyak 23 kapal.

Menurut AMTI, pada periode 2019-2020, China mengerahkan 25 kapal pemerintah di perairan di luar yurisdiksi nasionalnya yang diakui di kawasan Indo-Pasifik, dibandingkan dengan 10 kapal AS.

Pada Selasa pagi, kapal survei besar China lainnya - Dai Yang Yi Hao dengan berat 5.600 ton - terlihat berada di dekat Fiery Cross Reef, sebuah fitur laut di Kepulauan Spratly, yang berada di bawah kendali China tetapi juga diklaim oleh Taiwan, Vietnam, dan Filipina.

Duan Dang, pengamat perkapalan Vietnam, mengatakan kepada Radio Free Asia, media yang berada dalam satu grup dengan BenarNews, bahwa dia terus mengamati hal itu dengan penuh minat.

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.

Komentar

Donny
2021-09-28 10:28

Bangun mercusuar.... Mau brapa mahal skalipun harus taruh di ZEE smuanya bila perlu berdekatan (antar mercusuar skalian pos pantau dan radar pantai jd 1) saat bangun tumpukin armada kaprang dan coast guard dll utk jagain... Entar reaksi cina pasti kyk nantang tinggal nlg ajukan ke arbitrase internasional... Sy jamin mrk tdk bakal mau ke arbitrase justru cari penghianat negara utk bikin ulah didlm negeri smpi hrs berkuasa spy mundur dr natuna....