Kembalinya Jemaah Islamiyah
2020.12.14

Otoritas keamanan di Indonesia baru-baru ini mengumumkan beberapa penangkapan tersangka anggota Jemaah Islamiyah (JI), diantaranya adalah Siswanto (Ustad Arif) dan Aris Sumarsono alias Zulkarnaen, yang masing-masing diduga sebagai pemimpin dan kepala operasi kelompok teroris tersebut.
Penangkapan Siswanto adalah penangkapan kedua terhadap pimpinan JI dalam beberapa tahun terakhir, walau beberapa laporan menyebutkan bahwa perannya hanya sebagai pemimpin spiritual JI yang mengepalai komite untuk memilih pimpinan spiritual atau amir. Dalam setahun ini, ada lebih dari 30 terduga anggota JI yang ditangkap oleh polisi.
Hal ini mengejutkan, bagi kelompok yang sudah tidak menjadi pusat perhatian selama hampir satu dekade, di mana selama itu anggota JI mundur dari propaganda kekerasan mereka. Pemboman terakhir yang dilakukan oleh JI adalah serangan bunuh diri di tahun 2011 yang menargetkan sebuah masjid di markas kepolisian di Cirebon.
Sejak saat itu, anggota JI tidak serta merta meninggalkan kekerasan tetapi mereka fokus pada membangun kembali kelompok mereka yang telah banyak berkurang, mereka pun menyadari bahwa terorisme terbukti kontraproduktif.
Sementara itu, ada beberapa anggota JI, termasuk mantan pimpinan mereka, Abu Bakar Bashir, yang memisahkan diri pada tahun 2014 dan menyatakan kesetiaan mereka kepada kelompok ekstremis yang dikenal sebagai ISIS, namun sebagian besar dari mereka tidak melakukan hal yang sama.
Meskipun Indonesia telah melarang Jemaah Islamiyah pada tahun 2009, pemerintah memberikan ruang dan otonomi kepada mereka untuk terlibat dalam kegiatan kesejahteraan sosial, amal, pendidikan dan keagamaan, selama anggotanya menghindari kekerasan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada tahun 2018, beberapa pejabat Indonesia secara naif melihat JI sebagai potensi jalan pintas bagi anggota ISIS dan meminta bantuan JI dalam program deradikalisasi, dengan imbalan akan diberikan "lampu hijau" untuk beroperasi.
Pada tahun 2019, pihak keamanan Indonesia menangkap pemimpin JI, Para Wijayanto, dan terkejut saat mengungkap kekayaan organisasi serta banyaknya anggota mereka yang ternyata ribuan jumlahnya.
Dapat diduga bahwa JI akhirnya menggunakan kelonggaran yang diberikan pemerintah Indonesia untuk membangun kembali fondasi intinya secara sistematis. Mereka telah mendirikan perkebunan kelapa sawit di Sumatra dan Kalimantan untuk mendanai para pemimpin mereka dan ekspansinya, dengan mengalokasikan $9.900 untuk kamp pelatihannya dan mengumpulkan $27.700 untuk divisi pendidikannya.
Selain itu, JI juga mengirim penceramah di seluruh Indonesia untuk membangun sel-sel pendukung lokal dan terlibat dengan mahasiswa untuk merekrut anggota baru. JI juga berpartisipasi dalam demonstrasi massa seperti "Gerakan 212" yang membantu menjatuhkan Gubernur Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama pada tahun 2017.
Secara internal, Para menata ulang struktur JI. Dokuman pengadilan dari persidangannya menunjukkan dia mendirikan divisi penyelesaian sengketa, unit intelijen internal dan sistem komunikasi dan pelaporan. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa anggota-anggotanya mematuhi jadwal strategi baru JI: Untuk bertahan dari 2005-2015 dan bangkit kembali setelah 2016.
Meski demikian, sedikit terlihat ada tanda bahwa JI saat itu dengan mengevaluasi kampanye kekerasannya.
Anggota-anggota JI membangun pabrik senjata buatan sendiri dan membiayai kamp pelatihan. Mereka juga mengumpulkan uang untuk mengirim militan ke Irak dan Suriah di mana mereka bertempur bersama Front al-Nusra yang terkait dengan al-Qaeda. Namun, tidak banyak bukti bahwa JI siap meluncurkan kembali kekerasan di Indonesia.
Strategi
Sejumlah penangkapan yang terjadi belakangan saat ini menunjukkan bahwa mereka mungkin sedang merubah strateginya.
Selain Siswanto, polisi juga menangkap Upik Lawanga, yang dikenal sebagi ahli pembuat bom di JI. Dia pernah menjadi murid Azahari bin Hussein, pakar pembuat bom JI dan akademisi Malaysia, hingga pasukan keamanan membunuhnya di Jawa Timur pada tahun 2005. Upik ditemukan dengan peralatan untuk membuat senjata kecil.
Minggu lalu, polisi juga menangkap Zulkarnaen, yang merupakan kepala operasi JI sejak 2003. Dia dikenal sebagai alumni al-Qaeda dan lulusan Afghanistan dan pernah menjadi asisten Abdullah Sungkar, yang mendirikan JI pada awal 1990-an bersama Abu Bakar Bashir. Zulkarnaen bertanggung jawab atas sebagian besar serangan teroris JI termasuk bom Bali 2002, Hotel JW Mariott pada tahun 2003, Kedutaan Besar Australia di tahun 2004, dan serangan ganda pada Hotel Ritz Carlton dan Hotel JW Marriott pada tahun 2009.
Zulkarnaen dan Upik sedang dalam persembunyian dan mempunyai sejumlah pengawal yang melindungi mereka. Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa JI hanya menunggu waktu untuk melanjutkan operasinya.
Sekarang, JI merupakan organisasi yang kuat seperti mereka sebelumnya. Berkat aksi dan investasi yang dilakukan Para Wijayanto, JI memiliki dana yang cukup untuk membiayai kader inti, sekaligus memberikan kesejahteraan sosial bagi anggota komunitasnya.
Badan amal JI memang memiliki dana yang cukup - baik legal maupun ilegal - untuk memberikan layanan sosial di luar kelompoknya guna menarik anggota. Namun polisi telah menemukan sumber pendanaan lain, termasuk kotak amal.
JI telah dengan sabar menurunkan profil mereka dan membiarkan kelompok-kelompok pro-ISIS, seperti Jemaah Ansharut Daulah (JAD), untuk menanggung akibat dari operasi pasukan keamanan Indonesia sejak 2014. Tetapi JI tidak pernah meninggalkan kekerasan.
Memang, penangkapan antisipatif di Banten dan Lampung tahun ini menunjukkan bahwa JI masih merencanakan serangan - dan semakin dekat untuk melaksanakannya dengan sukses.
Keanggotaan yang cair
Selain itu, JI tampaknya siap untuk mengambil apa yang tersisa dari ISIS. Tidak seperti di wilayah lain, orang-orang berpindah antar kelompok tanpa dampak yang kecil. Keanggotaan dalam organisasi teroris di Asia Tenggara selalu lebih cair.
Di Indonesia, JI dan kelompok pro-ISIS - meski menjadi rival - muncul dari lingkungan yang sama. Banyak masjid dan madrasah yang sama yang menjadi titik kunci radikalisasi dan perekrutan kedua kelompok tersebut. Akibatnya, banyak dari anggotanya mempunyai ikatan pribadi, dan dengan kemampuan organisasi dan keuangannya, JI siap untuk menyerap apa yang ditinggalkan oleh ISIS.
Apakah ini berarti bahwa serangan kekerasan akan terjadi? Tidak dalam jangka waktu yang dekat.
Salah satu alasannya, pasukan keamanan Indonesia fokus pada kembali bangkitnya JI. Selama tahun 2020, ada lebih dari 30 penangkapan terkait JI, sehingga kita bisa mengetahui bahwa polisi selama ini proaktif untuk mencegah ancaman kekerasan tersebut.
Di sisi lain, JI masih ada kepentingan untuk tetap menjaga agar profilnya rendah. Kelompok-kelompok pro-ISIS sudah melemah namun mereka belum berhasil dikalahkan dan mereka tetap berniat untuk menjalankan kampanye kekerasan mereka walaupun sejak 2014 sudah terlihat mereka tidak seimbang dalam profesionalisme dan kapasitas untuk menimbulkan korban atau mengakibatkan kekerasan. JI masih mendapat manfaat dari serangan ISIS.
JI akan mencoba untuk mendapatkan kembali kepemimpinan atas kekerasan sektarian di Sulawesi Tengah, yang tetap menjadi cerita awal dari setiap kelompok militan di Indonesia.
Anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT) diperkirakan tidak sampai selusin, walau mereka tetap bertahan. Meskipun mantan pemimpin MIT menyatakan kesetiaan kepada ISIS, sebelumnya mereka sudah terkait dengan JI, dan bisa mundur.
Meski begitu, penting untuk dipahami bahwa JI tidak monolitik. Kelompok itu selalu memiliki faksi internal yang seringkali lebih bersemangat untuk bertindak daripada yang diinginkan oleh pimpinan.
Kita akan terus melihat para pemimpin kunci JI ditangkap, sehingga faksi-faksi ini akan memiliki kebebasan lebih untuk bertindak - bertentangan dengan keinginan semua orang yang terlibat, termasuk JI itu sendiri.
Zachary Abuza adalah seorang professor di National War College dan di Georgetown University di Washington.
Alif Satria adalah kandidat Masters dari Security Studies Program di Georgetown University, AS. Penelitiannya berfokus pada terorisme dan kekerasan politik di Asia Tenggara.
Opini yang disampaikan dalam artikel ini adalah milik mereka dan tidak mencerminkan posisi dari Departemen Pertahanan AS, the National War College, Georgetown University atau BenarNews.