Militer China langgar aturan udara dengan suar dan manuver berbahaya
2025.03.05
Hal ini terjadi lagi. Seorang pilot China menerbangkan pesawatnya terlalu dekat dengan pesawat asing, sesuatu yang semakin sering terjadi.
Dalam insiden terbaru pada 19 Februari, sebuah helikopter angkatan laut China terbang hanya dalam jarak 9 meter dari pesawat kecil Filipina di atas Scarborough Shoal.
Pesawat Cessna Caravan itu milik Biro Perikanan dan Sumber Daya Perairan Filipina. Scarborough Shoal, yang berjarak 120 mil dari Luzon, berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif Filipina.
Seminggu sebelumnya, sebuah jet tempur J-16 milik militer China (People’s Liberation’s Army - PLA) melakukan “interaksi tidak aman dan tidak profesional” dengan melepaskan sedikitnya empat suar (flare) hanya 30 meter di depan pesawat anti-kapal selam P-8A Poseidon milik Angkatan Udara Australia yang sedang terbang di dekat Kepulauan Paracel.
China menuduh pesawat Australia itu “dengan sengaja menerobos” wilayah udara Tiongkok.
Seorang pejabat China menggambarkan tindakan tersebut sebagai “sepenuhnya wajar, sah, dan tidak bisa disalahkan” serta “bentuk pertahanan yang sah atas kedaulatan dan keamanan nasional.”
Melanggar hukum internasional, China telah menarik garis batas lurus di sekitar Kepulauan Paracel dan Spratly—sesuatu yang hanya diperbolehkan bagi negara kepulauan berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Negara-negara lain secara rutin menantang klaim maritim berlebihan China melalui operasi kebebasan navigasi (FONOP) di laut maupun udara.
Tim AS mengeluarkan bahan bakar dari pesawat pengintai EP-3E Amerika dengan baling-baling yang rusak di Lapangan Udara Lingshui pada 18 Juni 2001 di Hainan, China. (Lockheed Martin Aeronautics Co./U.S. Navy via Getty Images)
Tindakan agresif para pilot China sudah menjadi pola yang berulang.
Laporan Departemen Pertahanan AS pada Oktober 2023 mencatat sekitar 180 insiden udara yang tidak aman oleh pilot China dalam dua tahun terakhir, ditambah lebih dari 100 insiden serupa dengan pesawat milik sekutu dan mitra AS.
Jumlah itu lebih banyak dibandingkan total kejadian serupa dalam satu dekade sebelumnya.
Memicu situasi yang tidak aman
Sebagian besar pesawat Angkatan Laut AS kini dilengkapi dengan kamera eksternal untuk mendokumentasikan insiden udara dengan China.
Insiden terkenal pada April 2001, yang menyebabkan pendaratan darurat dan situasi seperti penyanderaan terhadap 24 kru Angkatan Laut AS, juga disebabkan oleh seorang pilot China yang tidak memahami konsep baling-baling. Pilot J-8II China tewas dalam kecelakaan itu.
Pilot China terkenal agresif dan sering terbang dalam jarak berbahaya serta tidak profesional di atas Laut China Selatan. Namun, penggunaan suar dalam insiden ini baru mulai terlihat sekitar tahun 2022.
Meskipun penggunaan suar untuk memberi sinyal pada pesawat yang tidak responsif pada jarak yang aman adalah sah dan merupakan sinyal tindakan eskalasi, cara pilot China menggunakannya sekarang sangat berbahaya, tidak profesional, dan meningkatkan risiko jatuhnya korban jiwa.
Pada 5 Oktober 2023, sebuah helikopter pengintai CP-140 milik Kanada yang sedang berpatroli dalam misi pemantauan sanksi PBB terhadap Korea Utara di Laut Kuning mengalami “beberapa kali pencegatan” dalam jarak hanya 5 meter.
Tiga minggu kemudian, dua jet tempur J-11 milik Angkatan Laut China beberapa kali melintas di dekat helikopter Kanada yang sedang melakukan patroli rutin, sementara kapal perang HMCS Ottawa menjalankan operasi FONOP di dekat Kepulauan Paracel.
Pilot China melepaskan suar dalam penerbangan kedua, memaksa pilot Kanada untuk melakukan manuver menghindar.
Sebuah jet tempur J-16 mengeluarkan suar (flare) dalam sebuah pagelaran udara militer China, di Provinsi Jilin, China, 17 Oktober 2019.
Pada Mei 2024, pilot Angkatan Udara PLA menembakkan suar di depan helikopter MH-60-R Australia yang sedang terbang di perairan internasional dalam misi pemantauan sanksi PBB terhadap Korea Utara. Helikopter itu harus melakukan manuver untuk menghindari flare.
Sebulan kemudian, sebuah helikopter Belanda yang terbang di atas kapal perusaknya dalam misi pemantauan sanksi PBB di Laut Kuning juga didekati oleh dua jet tempur dan sebuah helikopter China, menciptakan situasi yang berpotensi tidak aman.
Penggunaan suar yang berisiko
Penggunaan suar memiliki banyak risiko.
Yang pertama adalah jarak: Jika seorang pilot China cukup dekat untuk melepaskan flare dengan potensi merusak, itu berarti pesawatnya terbang dalam jarak yang tidak aman.
Sebagian besar flare berbahan dasar magnesium piroteknik, yakni logam yang terbakar pada suhu sangat tinggi dan digunakan sebagai umpan bagi rudal pencari panas.
Flare ini dapat membahayakan pesawat, yang bisa berujung pada hilangnya nyawa manusia.
Bagi pesawat seperti P-8, flare bisa tersedot ke dalam saluran masuk mesin jet. Untuk pesawat baling-baling seperti P-3 atau pesawat pengintai kecil lainnya, benturan langsung pada mesin bisa merusak baling-baling secara permanen.
Meskipun P-3 dan P-8 yang memiliki empat mesin dapat tetap terbang dengan satu mesin mati, risikonya tetap besar.
Helikopter menghadapi ancaman lebih besar. Meskipun kecil kemungkinan flare bisa menembus bilah rotor dan masuk ke mesin, itu bukan sesuatu yang mustahil.
Lebih dari itu, banyak helikopter militer memiliki badan pesawat yang terbuat dari paduan magnesium, yang sangat mudah terbakar.
Sebuah pesawat yang diidentifikasi oleh Penjaga Pantai Filipina sebagai helikopter Angkatan Laut China terbang di dekat pesawat Biro Perikanan dan Sumber Daya Perairan di Scarborough Shoal di Laut China Selatan pada 18 Februari 2025. (Jam Sta Rosa/AFP)
Banyak helikopter pengintai dan antikapal selam terbang dengan pintu terbuka, dan mereka menghindari suar yang dikeluarkan dari pesawat pada sudut tertentu, masuk ke dalam pesawat.
Ancaman lain adalah potensi eskalasi. Dalam beberapa kasus, sensor di pesawat dapat mengira flare sebagai rudal, yang bisa memicu tindakan pertahanan otomatis dalam situasi yang sudah tegang.
Struktur insentif pilot yang menyimpang
Tidak ada alasan logis bagi China untuk menggunakan flare dengan cara ini, tetapi tampaknya seseorang di militer China menganggap ini sebagai langkah taktis yang tepat—sebagai eskalasi alami dari taktik "gertakan" yang sering digunakan pilot mereka.
Penggunaan flare ini mencerminkan agresivitas yang sudah lama dilakukan pilot China. Dalam sistem mereka, penerbangan yang agresif dan tidak profesional bukan hanya tidak dilarang, tetapi justru didorong.
Meskipun tidak ada bukti adanya perintah langsung dari Angkatan Udara China (PLA-AF) untuk melakukan pertemuan udara yang tidak aman, jelas bahwa perilaku ini sesuai dengan “niat komando” untuk mempertahankan “wilayah udara dan laut historis” China.
Dalam doktrin militer China, ini dikenal sebagai “menggunakan musuh untuk melatih pasukan.”
Sebuah jet tempur J-11 Angkatan Laut Tiongkok terbang di dekat pesawat pengintai RC-135 Angkatan Udara AS di wilayah udara internasional di atas Laut China Selatan, menurut data militer AS, 21 Desember 2022. [Komando Indo-Pasifik AS melalui Reuters]
Menurut Pusat Studi PLA-AF Departemen Pertahanan AS, tidak ada satu pun kasus di mana seorang pilot China dihukum atas penerbangan agresif.
Singkatnya, perilaku yang bisa membuat seorang pilot AS kehilangan lisensinya justru didukung oleh kepemimpinan PLA.
Angkatan Laut dan Udara China akan terus melakukan operasi koersif dan berisiko di Laut China Timur dan Selatan untuk menegakkan klaim maritim mereka yang berlebihan, melanggar hak kedaulatan negara lain, atau membuat klaim ilegal di perairan dan wilayah udara internasional.
Sementara itu armada kapal Angkatan Laut China (PLA-N) telah berlayar sekitar 150 mil laut di sebelah timur Sydney, Australia. Meskipun pelayaran seperti itu sah menurut hukum, taktik China yang tidak profesional dan agresif itu bertujuan untuk membuat pihak lain berpikir dua kali sebelum terbang atau berlayar di wilayah yang sebenarnya diperbolehkan oleh hukum internasional.
Hukum untukku, tapi tidak untukmu.
Zachary Abuza adalah profesor di National War College di Washington dan dosen di Universitas Georgetown. Pandangan dalam artikel ini sepenuhnya milik penulis dan tidak mencerminkan posisi Departemen Pertahanan AS, National War College, Universitas Georgetown, atau BenarNews.