Bekudo Bono, dari Legenda ke Objek Wisata
2017.03.29
Pangkalan Kerinci
Bagi warga sekitar Semenanjung Kampar, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau, gelombang bono tak bisa dilepaskan dari aspek kehidupan, meski ombak besar yang bergulung itu acap menyapu apa saja yang dilewatinya dan kadang mendatangkan musibah.
Selama ini, gelombang yang datang beberapa kali dalam setahun, lebih dianggap kekuatan supranatural dan pertanda alam. Mistik di muara Sungai Kampar karena pertemuan arus sungai dan gelombang laut Selat Malaka yang disebut bono itu diyakini sebagai hantu penguasa kuala yang semula ada tujuh.
Menurut kisah yang berkembang di masyarakat, ketika zaman Belanda, satu hantu itu ditembak dengan meriam dan akhirnya menghilang. Hingga kini, hanya ada enam hantu, yang berwujud dalam enam gelombang. Selalu enam, setiap ada gelombang bono.
Namun, tetap ada kelompok masyarakat yang tidak semata meluhurkan atau menakuti bono. Bagi mereka, bono merupakan kesempatan uji nyali sekaligus wadah menempa diri. Selain itu, menjadi sarana permainan alam menantang untuk menunjukkan keunggulan.
Hanya dengan helai-helai papan, daun nipah, atau batang pisang, cukup bagi mereka untuk beraksi dalam permainan anak pedalaman ini. Namun, setelah daerah bergambut ini terbaca dunia akan deforestasi dan kerusakan alam, warga asing mulai datang dan mengenali ombak yang konon hanya ada saingannya di Brasil.
Sejak tahun 2011, mulai hadir warga asing berselancar di Kuala Sungai Kampar. Gelombang “enam hantu” pun makin dikenal dan terpublikasi. Pada 2013, pemerintah setempat mulai mencetus penyelenggaraan event selancar.
Kemudian tahun 2016, dimulai event lebih mengangkat tradisi, Festival Bekudo Bono. Di sini, dikompetisikan cara masyarakat ‘memainkan’ bono, dengan sampan kayu berpendayung dua orang, sebagai ajang wisata.
Tahun ini, kegiatan Bekudo Bono digelar pada 12 sampai 16 Maret lalu. Gelombang bono, kini menjadi salah satu ikon wisata Riau yang menarik turis domestik dan mancanegara.