Tukang Ojek Pipikoro, Sang Penantang Maut

Keisyah Aprilia
2016.06.10
Palu
1.jpg

Tukang ojek Pipikoro melintasi jalur rawan setelah diterjang longsor. (Keisyah Aprilia/Berita Benar)

2.jpg

Sejumlah tukang ojek melintasi pesisir Sungai Lariang. (Keisyah Aprilia/Berita Benar)

3.jpg

Seorang tukang ojek melintasi anak sungai. (Keisyah Aprilia/BeritaBenar)

4a.jpg

Seorang tukang ojek melintasi jembatan gantung di atas anak Sungai Lariang. (Keisyah

5a.jpg

Jembatan gantung yang papan landasannya telah rusak. (Keisyah Aprilia/BeritaBenar)

6.jpg

Sepeda motor diparkir dengan sandaran kayu. (Keisyah Aprilia/BeritaBenar)

7.jpg

Para tukang ojek saling antri saat melintasi jalan bekas longsor. (Keisyah Aprilia/BeritaBenar)

8.jpg

Di tengah perjalanan, para tukang ojek beristirahat. (Keisyah Aprilia/BeritaBenar)

9.jpg

Seorang tukang ojek terpaksa beristirahat sejenak di hutan karena kelelahan. (Keisyah Aprilia/BeritaBenar)

10.jpg

Seorang tukang ojek terpaksa beristirahat sejenak di hutan karena kelelahan. (Keisyah Aprilia/BeritaBenar)

Tidak ada rasa takut dan khawatir. Itulah gambaran yang tampak dari wajah sejumlah tukang ojek di Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Mereka tanpa beban mengemudi sepeda motor yang telah dimodifikasi saat membawa penumpang atau barang, menyusuri jalur setapak yang curam, mengelilingi pegunungan Pipikoro yang berdampingan dengan Taman Nasional Lore Lindu.

Jarak dari kecamatan terdekat, Kulawi, ke Pipikoro- kawasan terisolir dengan hasil perkebunan kopi dan kakao melimpah, sekitar 34 km, dan sepanjang 26 km harus melalui  rute “Jurang Kematian”.

Satu-satunya akses ke Pipikoro itu berupa jalanan tanah yang sempit dan rawan. Ratusan tikungan tajam mengintai, sementara di kiri-kanan jalan langsung berhadapan dengan jurang dalam. Rute yang sangat tidak layak dilalui, karena jika terjadi kesalahan kecil saja saat mengemudi, bahaya besar menimpa. Dua jembatan gantung dengan lantai papan yang sudah banyak rusak juga mengharuskan untuk ekstra hati-hati. Jika tidak, bisa saja ban sepeda motor terperangkap lalu jatuh ke sungai yang dalam.

"Sudah begini kerja kami. Musibah sudah diatur oleh Tuhan, begitu juga keselamatan. Ya, dijalani saja," tutur seorang tukang ojek, Papa Mia, kepada BeritaBenar, Jumat, 13 Mei 2016 lalu.

Di Pipikoro, terdapat 19 desa dan 40 dusun yang dihuni 2.350 kepala keluarga dengan total jiwa 8.717 orang. Untuk menghubungkan satu desa dan satu dusun ke dusun lain harus menggunakan jasa tukang ojek jika tidak punya sepeda motor pribadi.

"Selain fisik, mental harus disiapkan ketika melintasi jalan ini. Di sini tidak ada pembatas atau rambu jalan seperti jalan pada umumnya," ungkap Papa Mia.

Tetapi di benak para tukang ojek, jalur mematikan itu bukan hambatan. Yang penting, kata mereka, bisa selamat bawa penumpang dan barang lalu menerima bayaran sesuai tarif yang disepakati. Biasanya tarif sesuai jarak tempuh.

"Di sini tarif ojek sekali pergi Rp250 ribu. Kalau pulang pergi Pipikoro dan Kulawi harus membayar Rp500 ribu per orang. Itu sudah termasuk barang bawaan," kata seorang penumpang, Natan.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.