UU Terorisme Perlu Revisi Untuk Tindak Tahap Perencanaan

Oleh Ismira Lutfia Tisnadibrata
2015.06.23
150623_ID_ISMIRA_SIDANG_CHEP_HERNEWAN_700.jpg Lucky Permana, putra pertama Chep Hernawan saat sidang tanggal 20 Mei 2015 di Pengadilan Negeri Cianjur, Jawa Barat.
BeritaBenar

Di update jam 5:32 p.m. ET on 2015-06-23

Undang-Undang Anti Terorisme di Indonesia tidak memungkinkan aparat penegak hukum untuk menindak dan menangkap pihak yang menyatakan dukungan terbuka terhadap paham radikalisme.

Staf ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Sri Yunanto mengatakan bahwa Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih konservatif.

UU ini belum bisa digunakan untuk menindak mereka yang menyatakan dukungan secara terbuka terhadap, misalnya, kelompok militan seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

“Undang-undang itu perlu diamandemen, karena sifatnya lebih pada penindakan setelah ada alat bukti, tapi tidak ada pasal yang bisa menjerat atau mencegah provokasi,” ujar Sri kepada BeritaBenar.

Sri menambahkan bahwa pernyataan seseorang tentang dukungannya kepada ISIS atau pengakuan telah memberangkatkan orang ke Irak dan Suriah untuk bergabung sebagai pejuang ISIS, belum bisa dijadikan dasar untuk aparat keamanan menindaknya menurut kerangka hukum yang ada.

Polisi bergerak berdasarkan undang-undang, kata Sri.

Belum ada dasar yang kuat bagi pendukung ISIS untuk dapat diproses melalui hokum

Tokoh Islam radikal dari Cianjur, Chep Hernawan adalah salah satu dari mereka yang menyatakan dukungan terbuka kepada ISIS.

Bahkan Chep pernah diangkat sebagai kepala ISIS di Indonesia pada Maret 2014 dalam aksi massa di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.

Menurut Chep, titel itu lepas dengan sendirinya ketika ISIS merubah nama menjadi Daulah Khilafah Islamiyah.

Namun walau sudah berganti nama, Chep tetap menyatakan dukungan kepada kelompok tersebut pada awal Ramadhan 2014.

Awal tahun ini, Chep menyatakan kepada media bahwa dia telah memberangkatkan sekitar 150 orang ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan ISIS.

Salah satu dari yang diakuinya telah dia berangkatkan pada awal 2014 adalah Abu Muhammad al-Indonesi (Bahrumsyah), pria yang diidentifikasi berbicara dalam klip video untuk merekrut pejuang ISIS dari Indonesia dan muncul di YouTube awal Agustus tahun lalu.

Pengusaha bisnis daur ulang limbah plastik berusia 59 tahun itu saat ini masih menjalani hukuman di penjara di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Cianjur, mengikuti keputusan sidang tanggal 4 Juni.

Hakim di Pengadilan Negeri Cianjur, Jawa Barat memvonisnya enam bulan penjara atas kasus pidana penipuan dan penggelapan uang sebesar Rp. 150 juta.

Sidang yang dipimpin oleh hakim Sayed Tarmizi memberinya hukuman lebih ringan dari yang dituntut jaksa yaitu satu tahun.

Sidang menyatakan Chep bersalah melanggar pasal 378 tentang penipuan dan pasal 372 tentang penggelapan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang masing-masing mempunyai ancaman pidana penjara maksimal empat tahun.

Kasus ini bermula dari laporan seorang pengusaha Taufik Amir dari Lampung kepada kepolisian di Cianjur pada Februari 2015 bahwa Chep melakukan penipuan dan penggelapan dana untuk pembangunan proyek infrastuktur di kabupaten tersebut.

Polisi mengatakan telah melalukan penyelidikan atas laporan tersebut dan mengumpulkan cukup bukti untuk menangkap Chep pada 21 Maret 2015 dan menetapkannya sebagai tersangka, tidak lama setelah Chep mengaku pada beberapa media bahwa dia telah memberangkatkan sejumlah orang untuk bergabung sebagai pejuang ISIS.

Sesudah vonis dibacakan oleh hakim, sejumlah pendukung Chep yang berkumpul di luar gedung pengadilan, menyatakan kekecewaannya dan menimbulkan sedikit keributan, ujar Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Cianjur, Asep Guntur Rahayu.

“Sepertinya mereka tidak terima vonis sehingga ada pelemparan botol-botol minuman ke arah gedung pengadilan. Beberapa dari mereka sempat diamankan karena didapati membawa senjata tajam dan kaos yang sudah direndam bensin, namun mereka tidak ditahan,” ujar Asep kepada BeritaBenar.

Pihak keluarga Chep juga menyatakan kekecewaannya atas vonis yang dijatuhkan kepada pendiri kelompok Gerakan Reformis Islam (Garis) dengan alasan bahwa fakta-fakta yang terungkap selama persidangan menunjukkan bila dirinya tidak bersalah.

“Jelas kami tidak berkenan [atas vonis]. Fakta-fakta sidang menunjukkan bapak tidak bersalah namun tetap divonis bersalah,” ujar Lucky Permana, putra pertama Chep, kepada BeritaBenar.

Namun Lucky mengatakan bahwa pihak keluarga tidak punya pilihan selain menerima vonis tersebut.

“Insya Allah, nama baik bapak akan terrehabilitasi dengan sendirinya dan sejalan dengan waktu masyarakat akan tahu [bapak tidak bersalah],” ujar Lucky.

Achmad Michdan, salah satu pengacara Chep dari Tim Pengacara Muslim, mengatakan bahwa untuk sementara kliennya tidak akan mengajukan banding karena prosesnya akan memakan waktu setidaknya satu atau dua tahun, sementara Chep hanya perlu menjalankan sisa masa tahanannya selama tiga bulan, karena vonisnya termasuk potong masa tahanan yang sudah dijalani.

“Mengajukan banding pada saat ini tidak akan efektif dan tidak tepat guna, jadi kami sarankan untuk terima vonisnya,” ujar Achmad, sambil menambahkan bahwa setelah menyelesaikan masa hukuman yang diperkirakan hingga Agustus atau September, tim pengacara akan melakukan upaya hukum seperti peninjauan kembali (PK) untuk membersihkan nama Chep.

Keputusan politis

Achmad mengatakan vonis ini lebih didasarkan pada pertimbangan politis dan diduga tersangkut dengan kegiatan Chep yang terkait ISIS.

“Saya lihat seperti itu. Kalau kita lihat fakta hukumnya di pengadilan seharusnya bebas,” ujar Achmad.

Sri, yang juga merupakan pakar terorisme dan politik Islam dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa kasus yang menjerat Chep adalah murni kriminal dan tidak ada kaitannya dengan radikalisme karena dua pasal yang dikenakan adalah pasal-pasal KUHP.

“Pernyataan Chep [mendukung ISIS] belum bisa dijadikan delik hukum. Ini menjadi dilema hukum kita,” ujar Sri.

Mantan wakil kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) As’ad Said Ali mengatakan kepada BeritaBenar dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu bahwa apa yang dikategorikan radikalisme perlu dicermati dengan hati-hati karena setiap orang belum memahami makna radikalisme yang benar.

“Kalau setiap orang yang mendukung syariah Islam dianggap radikal akan susah jadinya. Saya menganggap Indonesia sudah negara yang Islami tapi [ideologinya] Pancasila,” ujar wakil ketua pengurus besar Nahdlatul Ulama tersebut, sambil menambahkan bahwa sebagai ideologi negara, Pancasila sudah mencakup nilai-nilai Islam.

As’ad juga menekankan perlunya perbaikan undang-undang anti terorisme dan memungkinkan penindakan oleh penegak hukum sejak terorisme masih dalam tahap perencanaan.

“Tinggal dirinci saja [perencanaanya] dan karena terinci, tidak akan bisa digunakan untuk menindak aktivitas politik yang di luar terorisme, karena masih ada ketakutan akan bisa digunakan untuk politik,” ujar As’ad.


Versi sebelumnya dari cerita ini mencantumkan tanggal yang salah, 4 April untuk vonis Chep Hernawan, dan hukuman penjara yang tersisa tertulis dua bulan.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.