Jemaah Ahmadiyah, Tetap Shalat Walau Masjid Disegel
2017.03.16
Jakarta

Ketika azan Ashar berkumandang, Rabu, 15 Maret 2017, mubalig Farid Mahmud Ahmad (29) bersiap memimpin shalat berjamaah di Masjid Al Hidayah milik Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Sawangan, Depok, Jawa Barat.
Dalam 20 hari terakhir, mereka terpaksa melakukan shalat dan kegiatan ibadah lain di lapangan badminton di belakang masjid karena bangunan itu telah ditutup paksa oleh Pemerintah Kota (Pemko) Depok sejak tiga pekan lalu.
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) juga memasang tanda segel di pagar dan pintu masjid, serta memaku beberapa balok kayu di pintu masjid.
“Ini pengalaman kami yang ketujuh kali masjid ditutup paksa,” ungkap Farid, bersama beberapa anggota JAI lain, saat berbincang dengan BeritaBenar.
Farid menuturkan, Rabu siang, 22 Februari, dia menerima undangan dari Pemko Depok untuk menghadiri rapat terkait kegiatan JAI, pada 23 Februari, tetapi sore harinya, dia mendapat kabar rapat tersebut dibatalkan.
Keesokan hari, Kamis pagi, Farid mendapat undangan untuk hadir rapat yang diadakan pukul 10:00 WIB, namun karena mendadak dan ada jadwal kegiatan lain, dia tidak bisa hadir di pertemuan tersebut.
Menurutnya, dalam pembicaraan telepon beberapa kali terkait undangan rapat, tidak pernah menyinggung soal rencana penyegelan rumah ibadah yang berdiri sejak tahun 1997 dan dapat menampung sekitar 300 jamaah.
Namun siang harinya pukul 14.00, 23 Februari, Satpol PP dan sejumlah aparat Pemko Depok datang untuk menyegel masjid.
“Mereka disaksikan oleh beberapa tokoh setempat yang pernah kami sambangi untuk menjalin silaturahmi,” jelas Farid.
Keesokan harinya, sejumlah orang dari organisasi-organisasi massa Islam menggelar aksi unjuk rasa menolak keberadaan masjid tersebut.
Advokasi
Juru bicara JAI, Yendra Budiana, mengatakan JAI terus melakukan advokasi terkait penyegelan masjid kepada sejumlah pihak, termasuk Kantor Staf Presiden, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) serta Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
JAI juga sudah bertemu Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Rabu, 16 Maret.
“Dalam pertemuan itu disepakati bahwa SKB Ahmadiyah bukan produk hukum dan tidak dikenal dalam sistem tata hukum Indonesia,” tuturnya kepada BeritaBenar.
Dia merujuk Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri tahun 2008 pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta warga Ahmadiyah menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam.
“Dalam SKB tidak ada larangan untuk beribadah,” ujar Yendra.
SKB itu menjadi rujukan pertama dari empat rujukan hukum yang dicantumkan dalam tanda penyegelan masjid, selain Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 tentang pelarangan aktivitas Ahmadiyah dan Peraturan Walikota Depok Nomor 9 Tahun 2011 tentang larangan kegiatan JAI.
Menurut Yendra, Kemenkumham akan mengevaluasi peraturan-peraturan daerah terkait intoleransi beragama.
Komnas HAM juga sudah mengeluarkan rekomendasi kepada Walikota Depok dan memintanya untuk menjamin terpenuhinya hak asasi JAI Depok untuk beribadah di masjid milik mereka.
“Meminta Walikota Depok untuk membuka ruang dialog dengan kelompok massa yang tidak memahami dasar hukum dan hak asasi dari keberadaan Jemaah Ahmadiyah,” ujar Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat dalam surat rekomendasi tertanggal 27 Februari, yang dicetak menjadi poster besar dan dipasang di bawah tanda segel.
Pemerintah Kota Depok memasang tanda segel di depan bangunan Masjid Al Hidayah di Sawangan. Foto diabadikan 15 Maret 2017. (Ismira Lutfia Tisnadibrata/BeritaBenar)
‘Baik-baik saja’
Farid dan dua anggota JAI lain – Nasrul Ahmadi dan Mulyadi Muzafar Ahmad – mengaku selama ini penerimaan masyarakat setempat terlihat baik-baik saja dan tidak pernah ada masalah, sejak masjid dibuka kembali pada 1 Januari 2015, setelah sebelumnya sempat tutup dari 2011 sampai 2014.
“Dalam dua tahun terakhir situasi nyaman-nyaman saja, kami sudah silaturahmi dengan tokoh-tokoh ulama setempat dan sepertinya baik-baik saja,” kata Farid.
Dia mengatakan masjid dibuka lagi karena pada dasarnya penutupan tak sesuai hukum dan mereka punya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan tahun 2007 untuk bangunan rumah tinggal dan masjid.
“Kami pakai masjid dan hanya lakukan ibadah. Kami pernah adakan pasar murah dan pemotongan qurban, 90 persen daging qurbannya untuk warga setempat, lalu yang meresahkannya dimana?” ujar Yendra.
Namun Suherman, Ketua Rukun Tetangga 03, Kelurahan Sawangan Baru mengatakan bahwa sebenarnya masyarakat setempat menolak keberadaan masjid tersebut.
“Karena mereka lain akidah,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sawangan, Abdullah Syafei, mengatakan hal senada.
“Sudah ada fatwa MUI bahwa mereka aliran sesat, dilarang berdasarkan peraturan walikota dan peraturan gubernur dan masyarakat juga resah,” ujarnya saat dikonfirmasi BeritaBenar.
Kasus sebelumnya
Penutupan Masjid Ahmadiyah pernah terjadi di beberapa tempat. April 2013, Masjid Al Misbah di Kota Bekasi, Jawa Barat, ditutup paksa dan 36 jamaah sempat terkurung di dalamnya. Setahun kemudian, masjid yang sempat dibuka itu ditutup kembali.
Pada Juli 2015, Masjid An Nur di Bukit Duri, Jakarta, disegel dan pada Mei dan Juli 2016, Masjid Al Kautsar di Kendal, Jawa Tengah, serta Al Furqon di Sukabumi, Jawa Barat, juga disegel.
Mulyadi (64) mengatakan dia menemukan kedamaian setelah dibai’at menjadi warga JAI, tahun 1976.
“Semakin jendela (hati) saya dibuka, semakin terang rasanya. Sampai sekarang saya tidak menemukan apa sebabnya Ahmadiyah dimusuhi,” tuturnya.