Aksi Peduli Terhadap Korban Pemerkosaan

Zahara Tiba
2016.05.09
Jakarta
160509_ID_Rape_1000.jpg Lima perempuan ikut dalam aksi kepedulian terhadap korban pemerkosaan di Jakarta, 8 Mei 2016.
Zahara Tiba/BeritaBenar

Seorang perempuan muda berjilbab tiba-tiba menghentikan tiga pengendara sepeda. Serentak mereka berhenti mengayuh, kebingungan.

“Halo, Bro! Lo punya adik perempuan diperkosa bergiliran sama 14 orang, gimana rasanya?” tanya perempuan bernama Mayang.

“Pasti sakit lah!” jawab seorang dari lelaki muda itu.

“Nah, kalau gitu tanda tangan dulu. Gue jagain sepeda lo!” ujar Mayang, sambil menyodor spidol di tangannya dan mengarahkan ketiga pengendara sepeda ke arah spanduk putih sepanjang 300 meter yang terbentang dekat Bundaran Hotel Indonesia di Jakarta, Minggu, 8 Mei 2016, di tengah acara Car Free Day hari itu.

Pengendara sepeda itu dengan sigap menandatangani spanduk yang sudah dipenuhi ratusan tanda tangan.

Aksi pengumpulan tanda tangan adalah satu kampanye publik terhadap pengusutan tuntas kasus menimpa remaja putri 14 tahun bernama Yuyun (YY) di Bengkulu, yang diperkosa dan dibunuh 14 pelaku pada awal April lalu.

“Kampanye publik ini adalah bentuk keprihatinan mendalam atas kejadian yang menimpa korban. Keprihatinan kami kian mendalam karena korban anak di bawah umur dan pelaku kebanyakan remaja,” tutur Raja Juli Antoni, seorang penggagas aksi.

“Ini keadaan darurat yang menunjukkan kekerasan seksual ada di sekitar kita. YY memang di Bengkulu, tapi mungkin ada YY yang lain di Jakarta, di Makassar, Papua dan sebagainya,” tambahnya saat ditemui BeritaBenar di sela-sela aksi.

Pemerintah diminta serius

Dia mendesak pemerintah serius mengatasinya melalui penegakan hukum. Salah satunya segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), namun belum menunjukkan kemajuan.

Toni mengatakan spanduk yang berisi kumpulan tanda tangan ini nantinya akan dibawa ke DPR sebelum akhirnya diusung ke Bengkulu bersama spanduk dari 14 kota lain, dimana aksi serupa juga digelar pada hari yang sama.

Roisul adalah warga lain yang ikut membubuhkan tanda tangan di bentangan spanduk. “Saya rasa pelakunya nggak punya otak. Bagaimana kalau kejadian yang sama menimpa anggota keluarga mereka?” ujar pria berusia 20 tahun itu.

Dalam keterangan di situs resminya, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sudah memberikan alarm bahaya akan meningkatnya gang rape atau pemerkosaan kolektif.

“Pelaku kekerasan seksual adalah lintas usia, termasuk anak-anak bisa jadi pelaku,” sebut Komnas Perempuan dalam laporannya.

“Kasus YY merepresentasikan isu besar tentang kejahatan seksual yang masih minim diberi perhatian negara dan mengkhawatirkan semua pihak karena siapapun berpotensi menjadi korban maupun pelaku.”

Komnas Perempuan meyakini kekerasan seksual makin menunjukkan situasi gawat darurat, sehingga pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus jadi prioritas DPR dalam tahun ini untuk mengembalikan rasa aman bagi perempuan dan anak.

Apalagi sejumlah media dalam tiga hari ini melaporkan kasus hampir mirip YY menimpa seorang gadis 19 tahun di Manado, Sulawesi Utara, yang diperkosa oleh 19 pelaku. Meski orang tua korban telah melaporkan ke polisi akhir Januari lalu, tapi hingga kini dikabarkan belum ada proses hukum karena ada dua oknum polisi yang disebut sebagai pelaku.

Menurut orang tua korban yang dikutip beberapa media, korban mengalami trauma berat dan sangat terpukul. Malahan korban dikabarkan dalam kondisi linglung dan tidak mengenal keluarga serta orang tuanya.

Hukuman kebiri

Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan bahwa Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah memerintahkan sejumlah menteri agar memprioritaskan masalah kejahatan seksual dengan sanksi tegas kepada para pelakunya, dan menurutnya, pemerintah juga mendorong hal itu masuk dalam Program Legislasi Nasional 2016.

"Karena kalau ini dibiarkan ataupun tidak ditindak dengan hukum yang tegas maka orang atau kelompok masyarakat akan mempunyai keberanian untuk melakukan tindakan itu," katanya seperti dikutip dari laman republika.com.

Menurut Pramono, hukuman kebiri adalah salah satu sanksi tegas.

"Hukumnya harus tegas dan hukuman kebiri adalah salah satunya. Hukuman yang seberat-beratnya perlu segera dirumuskan," tegas Pramono di Istana Negara, Senin.

Namun, aktivis perempuan menolak pemberlakuan hukuman kebiri, dengan alasan walaupun ada hukuman kebiri, jika budaya dalam masyarakat tetap mendudukkan perempuan lebih rendah dan sebagai obyek yang bisa dikuasai laki-laki, maka kasus pelecehan seksual akan tetap terjadi.

Sulistyowati Irianto, profesor Hukum Antropologi dari Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan bahwa ide hukuman kebiri timbul karena budaya patriarki.

“Budaya patriarkhi adalah jawaban karena DPR dan para penegak hukum adalah patriarkh sejati. Itu sebabnya mereka tidak mampu melihat bahwa rumusan kebijakan/hukum atau putusan hakim, sudah mengabaikan pengalaman perempuan,” ujar profesor yang juga mantan kepala Pusat Kajian Wanita dan Gender UI ini ketika dihubungi BeritaBenar.

“Yang kami inginkan adalah segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” ujarnya sambil mengingatkan publik untuk terus menekan DPR agar memprioritaskan RUU tersebut.

Nosa Normanda turut berkontribusi dalam artikel ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.