Indonesia Inginkan Peran Lebih Besar dalam Misi Perdamaian PBB

Pemerintah juga berupaya meningkatkan partisipasi perempuan dalam misi itu, namun masih banyak kendala.
Ahmad Syamsudin
2019.08.07
Sentul, Jawa Barat
190807_ID_UN_620.jpg Anggota pasukan penjaga perdamaian PBB dari TNI yang juga petugas medis memberikan pelayanan kesehatan gratis di klinik Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP) TNI di Sentul, Jawa Barat, 6 Agustus 2019.
Ahmad Syamsudin/BeritaBenar

Indonesia yang menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun ini berupaya untuk memperkuat kerjasama dalam upaya menjaga perdamaian dunia dan meningkatkan partisipasi personel perempuan.

Indonesia merupakan kontributor terbesar bagi operasi pemeliharaan perdamaian PBB di Asia Tenggara dan terbesar ketujuh di dunia, dengan lebih dari 3.000 personel ditugaskan di delapan misi PBB termasuk di Lebanon, Republik Afrika Tengah, dan Kongo. Pemerintah Indonesia telah berjanji untuk mengirim 1.000 pasukan lagi pada akhir 2019.

“Kami terus merekrut personel, mempersiapkan dan meningkatkan kapasitas personel kami karena tantangan pemeliharaan perdamaian telah menjadi semakin kompleks dari hari ke hari dan kami perlu mengikuti tantangan ini,” kata Burhanudin, Koordinator Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP) untuk hubungan internasional.

Selain itu, pemerintah berupaya meningkatkan partisipasi perempuan dalam misi penjaga perdamaian, kata Burhanudin.

Menurut catatan PBB, keterwakilan perempuan di antara pasukan militer dan polisi dalam operasi perdamaian masing-masing berada di 4 persen dan 10 persen pada 2017.

"Peran perempuan sangat penting dalam misi perdamaian di mana pun," kata Burhanudin kepada BeritaBenar. "Misalnya, banyak pekerjaan dapat dilakukan dengan lebih sukses dengan melibatkan perempuan, termasuk operasi pencarian dan penjangkauan kesehatan."

Pada hari Selasa, 300 pria, perempuan dan anak-anak mengantre untuk mendapatkan perawatan medis gratis di sebuah klinik yang dikelola oleh markas penjaga perdamaian militer Indonesia di pinggiran Jakarta minggu ini. Klinik ini menandai akhir dari latihan bersama tiga minggu yang melibatkan personel militer Indonesia dan anggota Komando Operasi Khusus Angkatan Darat A.S. Pasifik.

“Program aksi medis untuk masyarakat adalah tahap terakhir dalam serangkaian pelatihan untuk mempersiapkan para penjaga perdamaian untuk menangani wabah penyakit menular di daerah misi PBB,” kata Kolonel Aldrin Petrus Mongan, wakil komandan PMPP Tentara Nasional Indonesia.

Salah seorang perempuan yang mewakili Indonesia adalah Tansya Susan, seorang sersan angkatan laut. Ia mengatakan bahwa menjadi penjaga perdamaian adalah panggilan jiwanya,.

Tansya yang berusia 34 tahun itu adalah salah satu dari 22 perempuan Indonesia yang dikerahkan ke Sudan sebagai bagian dari Misi PBB-Uni Afrika di Darfur (UNAMID).

“Personel perempuan sangat dibutuhkan di sana karena tingkat kekerasan terhadap perempuan dan gizi buruk pada anak-anak tinggi,” katanya di tengah-tengah kegiatan program aksi medis itu. Ia menambahkan masyarakat di Sudan menghargai kehadiran perempuan dalam ikut menangani beberapa masalah.

Tansya bergabung sebagai anggota pasukan perdamaian pada 2017.

"Saya merasa suatu kehormatan untuk mewakili Indonesia di luar negeri dalam misi penjaga perdamaian," katanya, "komunitas lokal di Sudan menyambut kami dengan hangat dan ketika kami pergi, mereka mengatakan akan merindukan kami."

Tansya Susan, anggota pasukan perdamaian Indonesia, berpose bersama warga yang turut serta mendapatkan pelayanan kesehatan gratis di klinik Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP) TNI di Sentul, Jawa Barat, 6 Agustus 2019. (Ahmad Syamsudin/BeritaBenar)
Tansya Susan, anggota pasukan perdamaian Indonesia, berpose bersama warga yang turut serta mendapatkan pelayanan kesehatan gratis di klinik Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP) TNI di Sentul, Jawa Barat, 6 Agustus 2019. (Ahmad Syamsudin/BeritaBenar)

10 persen

Perempuan terhitung sekitar 10 persen dari personel penjaga perdamaian Indonesia, kata Burhanudin. Pemerintah ingin meningkatkan keterwakilan perempuan menjadi 15 persen sebagai pengamat militer dan staf serta 20 persen sebagai personel polisi pada akhir tahun 2020. Tetapi menurutnya, ini merupakan tantangan, termasuk kelangkaan perempuan dalam militer.

"Personel perempuan juga dibutuhkan oleh berbagai unit militer dan jika mereka menikah, mereka perlu meminta izin dari suami mereka," katanya.

Selain itu, sementara perempuan tertarik untuk bergabung dengan militer, banyak yang tidak lulus dalam persyaratan pelatihan fisik.

Analis keamanan internasional Nicole Jenne mengatakan Indonesia perlu mendorong partisipasi perempuan jika ingin diakui PBB  memiliki peran yang kuat dalam upaya menjaga perdamaian.

"Namun demikian, ada hambatan penting yaitu posisi hukum pria itu sebagai kepala rumah tangga, di mana penugasan istri sebagai penjaga perdamaian harus mendapatkan persetujuan suami," ujarnya kepada BeritaBenar.

“Selain itu, masyarakat Indonesia umumnya percaya bahwa seorang ibu tidak boleh pergi bertugas untuk penempatan tetapi perlu merawat anak-anaknya. Kecuali jika hambatan budaya ini berubah, akan sangat sulit untuk membuat kemajuan besar dan mencapai tujuan 25 persen pasukan penjaga perdamaian PBB perempuan,” kata Jenne, asisten profesor di sebuah universitas di Chili.

Memenangkan hati

Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Operasi Perdamaian Jean-Pierre Lacroix telah berkampanye untuk partisipasi perempuan yang lebih besar, mengajak negara-negara anggota utama pada tahun 2016 untuk menyetujui peningkatan jumlah perempuan.

Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan akhir bulan lalu, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia mengatakan pemerintah tengah berusaha untuk meningkatkan kemampuan unit-unit yang dibutuhkan untuk keperluan pemeliharaan perdamaian, termasuk pembuangan bom, tim medis dan tim polisi khusus.

"Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan jumlah dan peran penjaga perdamaian perempuan Indonesia, dalam rangka mendukung pencapaian target PBB untuk memiliki personel perempuan minimum 15 persen sebagai pengamat militer dan staf dan 20 persen sebagai personel polisi," kata Kemlu.

Penempatan personel perempuan juga telah memenangkan hati masyarakat lokal, katanya.

Representasi perempuan yang lebih baik dapat dicapai melalui koordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah seperti Kemlu, militer dan polisi dan kementerian keuangan, kata Fitri Bintang Timur, seorang analis hubungan internasional di Center for Strategic and International Studies (CSIS).

"Untuk mencapai target 30 persen itu sulit karena persentase perempuan di kepolisian dan militer sekitar 5 hingga 10 persen," katanya.

Pasukan Indonesia memiliki reputasi kuat dalam peran misi perdamaian PBB, kata Fitri, menambahkan mereka tidak ditemukan terlibat dalam kasus-kasus seperti kekerasan seksual misalnya. Bahkan dengan reputasinya, Indonesia harus berkontribusi pada pasukan penjaga perdamaian PBB berdasarkan kebutuhan dan tidak harus dipersyaratkan dengan besarnya jumlah pasukan.

"Penggunaan teknologi seperti drone dalam misi penjaga perdamaian dalam beberapa kasus telah menggantikan kehadiran personel militer di lapangan, seperti dalam pengumpulan data situasional," kata Fitri.

Di masa depan, Indonesia dapat membantu menentukan daerah konflik mana yang membutuhkan penempatan pasukan perdamaian PBB, katanya.

"Misalnya, apakah perlu bagi PBB untuk turu di Yaman," katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.