SAFEnet: Aktivis Rentan Dijerat dengan UU ITE
2017.09.08
Jakarta

Aktivis menjadi profesi paling rentan dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), demikian disampaikan lembaga pemerhati kebebasan berekspresi, South East Asia Freedom of Expression Network (SAFE-net), mencermati kasus dijeratnya aktivis Dandhy Dwi Laksono menggunakan pasal tersebut karena sebuah statusnya di Facebook.
"Karena mereka (aktivis) kerap menyuarakan isu-isu sosial," kata Koordinator Regional SAFE-net, Damar Juniarto, dalam jumpa pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jumat, 8 September 2017.
Sepanjang tahun ini, menurut SAFE-net, setidaknya enam aktivis telah dilaporkan ke polisi atas dugaan pelanggaran UU ITE.
Kasus Dandhy adalah yang terbaru. Jurnalis senior yang cukup vokal pada isu-isu sosial tersebut dilaporkan ke polisi oleh Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) – organisasi sayap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada 6 September 2017, setelah menulis status berjudul “Suu Kyi dan Megawati” di akun Facebooknya yang dianggap menghina Ketua Umum PDI-P Megawati Sukarnoputri dan Jokowi.
Dilansir di laman Kompas.com, Ketua DPD Repdem Jatim, Abdi Edison mengatakan, status Dandhy memanfaatkan momentum tragedi kemanusiaan terhadap Muslim Rohingya di Myanmar untuk menghina dan menebar kebencian kepada Megawati dan Jokowi.
Kalimat dalam tulisan Dandhy yang dipersoalkan, "Tepat setelah Megawati kembali berkuasa dan lewat kemenangan PDIP dan terpilihnya Presiden Jokowi yang disebutnya sebagai "petugas partai" (sebagaimana Aung San menegaskan kekuasaannya), jumlah penangkapan warga di Papua tembus 1.083, mengalahkan statistik tertinggi di era Presiden SBY (2013) yang berjumlah 548 orang."
Jika dihitung sejak UUD ITE ditetapkan pada 2008, tercatat 35 aktivis dilaporkan atas dugaan pelanggaran UU tersebut, dimana 28 di antaranya terjadi pada era Presiden Joko "Jokowi" Widodo.
"Makanya, saya sangat menyoroti kebebasan berekspresi pada periode pemerintahan Jokowi," tambah Damar.
Jumlah ini lebih besar daripada aparat sipil negara seperti polisi, kepala instansi, hingga menteri, yang berjumlah 17 laporan.
Sisanya – dari total 192 kasus, laporan pelanggaran UU ITE menyasar masyarakat awam dengan berbagai pekerjaan, seperti pengemudi ojek, pengusaha, ibu rumah tangga, dan selebriti.
"Padahal, kelompok aktivis seharusnya dijaga karena bagian dari merawat demokrasi di Indonesia," ujar Damar.
‘Lampu merah’
Selain Dandhy, aktivis lain yang turut dilaporkan melanggar UU ITE sepanjang 2017 adalah penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan; aktivis antikorupsi di Tojo Una-Unda Sulawesi Tenggara, Muhammad Aksa Patundu; dan whistleblower kasus korupsi di Manado, Sulawesi Utara, Stanly Handry Ering.
Ada juga aktivis nelayan tradisional Jakarta, Rusdianto Samawa dan aktivis lingkungan di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Edianto Simatupang.
Relawan Amnesty Internasional Indonesia, Bramantya Basuki menyebut ini sebagai bentuk baru pembredelan oleh negara.
"Ini lampu merah bagi kebebasan berekspresi," katanya.
Apalagi, kata Bramantya, laporan dugaan pelanggaran UU ITE justru kerap didaftarkan oleh aparatur sipil negara.
Ia mencontohkan kasus laporan dugaan pelanggaran UU ITE oleh Novel yang justru didaftarkan oleh atasannya di KPK Aris Budiman, Muhammad Aksa dilaporkan Kepala Polres Tojo Una-Una Bagus Setiyono, Rusdianto yang dilaporkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti, dan Edianto yang dilaporkan Bupati Tapanuli Selatan Bakhtiar Ahmad Sibarani.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati, menyebut fenomena maraknya laporan oleh aparat negara itu sebagai bentuk pemelintiran demokrasi oleh pemerintah.
"Jadi, polisi semestinya menghentikan laporan atas Dandhy untuk menjamin bahwa mereka (polisi) ada untuk warga negara," kata Asfinawati, “seperti halnya kasus Kaesang (Pangarep)."
Kaesang yang merupakan putra bungsu Presiden Jokowi sempat dilaporkan seorang warga bernama Muhammad Hidayat ke Kepolisian Resor Bekasi, Jawa Barat, setelah diduga melanggar Pasal 28 ayat 2 UU ITE. Tapi, kemudian polisi menghentikan proses pengusutannya karena dianggap tidak cukup bukti.
Permintaan penghentian pengusutan kasus Dandhy juga disampaikan Koordinator Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Iman Nugroho, dan Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers, Nawawi Bahrudin.
Mereka sependapat menilai laporan pelanggaran UU ITE dalam status Facebook Dandhy adalah sesuatu yang mengada-ada.
Menurut Iman, tulisan Dandhy sejatinya merupakan hak berpendapat seorang warga negara yang dijamin undang-undang.
Maka, tambah Nawawi, "Polisi semestinya mendorong agar kasus ini tak harus melalui jalur hukum."
Sedangkan, Asfinawati menyoroti peran Megawati dalam laporan terhadap Dandhy.
"Megawati harus menunjukkan sikap bahwa laporan itu bukanlah sikap partai sehingga tak terlihat seperti menghancurkan demokrasi," katanya.
‘Lindungi Megawati’
Kepada BeritaBenar, Ketua Repdem, Masinton Pasaribu mengatakan pelaporan Dandhy dilakukan untuk “melindungi nama baik Megawati dan partai.”
Saat ditanya kemungkinan mencabut laporan, Masinton enggan berkomentar banyak. Namun ia siap membuka diskusi dengan Dandhy.
"Kami selalu membuka pintu maaf dan dialog," kata Masinton.
Menanggapi hal tersebut, tak ada komentar dari Dandhy yang sepanjang tahun 2015, ia dan seorang rekannya berkeliling Indonesia dengan sepeda motor selama setahun untuk merekam berbagai kearifan lokal.
Namun dalam keterangan tertulisnya Kamis, Dandhy mengaku terkejut dengan laporan itu. Begitu pula sikap juru bicara kepresidenan, Johan Budi.
Soal desakan menghentikan pengusutan kasus, juru bicara Mabes Polri, Irjen. Pol. Setyo Wasisto enggan berkomentar, hanya mengatakan setiap orang berhak melapor kepada polisi.
"Kewajiban kami memproses sesuai prosedur,” pungkasnya.