Parlemen ASEAN Imbau Indonesia Atasi Meningkatnya Intoleransi
2018.05.08
Yogyakarta

Para anggota ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) mengimbau Pemerintah Indonesia untuk mengatasi meningkatnya kasus intoleransi dan memastikan kebebasan beragama terjamin bagi semua warga negara.
Seruan itu dikeluarkan dalam pernyataan pers yang diterima BeritaBenar, Selasa, 8 Mei 2018, setelah mereka melakukan “misi pengungkapan fakta” selama empat hari pada 4 – 7 Mei lalu di Yogyakarta.
“Semua elemen masyarakat harus berkolaborasi mengkonter peningkatan intoleransi di Yogyakarta dan di seluruh Indonesia. Kita perlu memposisikan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai sentral segala upaya dalam mengatasi kebencian berbasis agama,” kata anggota kehormatan APHR yang juga anggota DPRI RI, Eva Kusuma Sundari.
“Sebagai anggota parlemen, kita sangat berperan dalam memastikan keberadaan hukum, tapi juga memberikan pengawasan atas implementasi hukum,” tambah politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Selama di Yogyakarta, delegasi yang merupakan anggota dan bekas anggota parlemen dari Indonesia, Thailand dan Myanmar bertemu perwakilan masyarakat sipil, akademisi, agamawan dan pejabat pemerintah untuk mendiskusikan situasi kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Mereka, yang merupakan tim kerja parlemen ASEAN untuk kebebasan beragama atau berkeyakinan, juga bertemu komunitas yang menjadi target aksi-aksi vigilantisme untuk mendapat masukan dan rekomendasi.
Disebutkan bahwa banyak kasus intoleransi terjadi selama beberapa tahun terakhir di Yogyakarta. Kaum minoritas, LGBT dan kelompok-kelompok rentan lain ditargetkan oleh kelompok vigilante lewat intimidasi dan kekerasan.
“Para pejabat pemerintah harus memastikan seluruh agama dan keyakinan dijamin perlindungan dan kebebasan yang setara untuk beribadah dan menjalankan agama atau kepercayaannya,” kata Eva.
Dipertanyakan
Namun pernyataan APHR itu dipertanyakan Abdurrahman, Ketua Front Jihad Islam (FJI) yang menyatakan selama ini pihaknya sudah memiliki toleransi tinggi terhadap pemeluk agama lain.
"Hubungan sesama manusia kita saling toleransi, tetapi kalau sudah berkaitan dengan akidah itu yang tidak kita toleransi," ujarnya kepada BeritaBenar, Selasa malam.
Tindakan yang dianggap melanggar akidah di antaranya melakukan kegiatan keagamaan di tempat yang banyak warga muslim. Selain itu, bakti sosial gereja yang ditujukan untuk muslim seperti bagi-bagi sembako.
"Hal-hal seperti itu sangat rawan menimbulkan prasangka, kalau hanya kerja bakti biasa di desa kita tidak masalah asal jangan menyentuh akidah," tegas Abdurrahman.
Pada Februari 2016, FJI mendatangi Pondok Pesantren Al Fattah di Banguntapan, Bantul, yang dikenal sebagai satu-satunya pesantren Waria di Indonesia, yang berujung pada penutupan pondok pesantren tersebut.
Pada 20 Juli 2015, sekelompok orang membakar Gereja Saman di Bantul setelah sepekan sebelumnya didatangi massa FJI.
Sedangkan Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Agung Supriyono menyambut baik imbauan APHR untuk menjaga toleransi di provinsi tersebut.
Agung mengatakan, selama ini tanpa imbauan dari pihak manapun, Pemerintah Provinsi DIY telah mengusahakan berbagai cara untuk menjaga kondusivitas daerah.
"Gubernur juga sudah dengan tegas memerintahkan pihak berwenang untuk menindak pihak yang melakukan intoleransi," ujarnya saat dihubungi BeritaBenar.
Selain itu, tambahnya, koordinasi dengan tokoh agama dan kepolisian terus dilakukan serta sosialisasi kepada ormas-ormas untuk ikut menjaga ketertiban dan keamanan di Yogyakarta.
Menurut catatan Aliansi Bhinneka Tunggal Ika, organisasi yang mempromosikan kehidupan Indonesia yang toleran di tengah pluralisme Indonesia, terjadi tiga kasus intoleransi di Yogyakarta dalam tiga bulan pertama tahun ini. Sedangkan pada 2017 lalu, terjadi 10 kasus, sementara ada 23 kasus pada tahun 2016.
Keprihatinan
Anggota parlemen ASEAN mengaku prihatin dengan hukum dan peraturan terkait serta implikasinya terhadap hak-hak kaum minoritas di Indonesia.
Disebutkan salah satu keprihatinan terbesar adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 tahun 2006, yang mewajibkan minoritas mendapatkan izin dari pemerintah dalam membangun, merenovasi atau memperluas rumah ibadah.
“Kami telah mendengar banyak pernyataan terkait sulitnya mendapat Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Proses memberatkan dan persyaratan tidak terlalu jelas, yang telah menyebabkan halangan tidak semestinya dalam melaksanakan ibadah bagi minoritas, dan sangat jelas peraturan tersebut perlu direvisi,” ujar Rachada Dhnadirek, anggota APHR dan mantan anggota parlemen Thailand.
Delegasi juga mendapatkan informasi tentang inisiatif yang mempromosikan toleransi di lembaga pendidikan umum dan agama, termasuk upaya mengkonter narasi kebencian online melalui pesan-pesan damai.
Mereka mengimbau penguatan inisiatif itu sebagai bagian pendekatan komprehensif untuk memitigasi konflik agama dan memastikan perlindungan bagi semua komunitas dan individu.
“Pelatihan dan peningkatan sensistivitas HAM penting bagi aparat penegak hukum di segala level, baik di tingkat nasional maupun lokal. Polisi harus memahami peran mereka dalam melindungi HAM bagi semua pihak,” ujar Eva.
Mereka juga menekankan perlunya merespon secara cepat, mengingat potensi politisasi terhadap isu-isu itu, khususnya menjelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
“Peningkatan ancaman intoleransi dan vigilantisme mengancam kesuksesan demokrasi Indonesia. Kita tidak bisa membiarkan semangat demokrasi, HAM dan Pancasila dikalahkan oleh tindakan-tindakan inkonstitutional,” pungkas Eva.