Tabuik Pariaman, Antara Penolakan dan Tradisi

Arie Firdaus
2015.11.02
Pariaman
151102_ID_Tabuik_620.jpg Tabuik Pasa dan tabuik Subarang diarak keliling kota Pariaman, Sumatera Barat, sebelum dibuang ke laut di acara puncak Festival Tabuik, 25 Oktober 2015.
BeritaBenar

Semakin magrib mendekat, semakin sedikit ruang gerak yang tersedia di Pantai Gandoriah, Pariaman, Sumatera Barat hari Minggu, 25 Oktober lalu, atau tanggal 10 Muharram di tahun baru Hijriah.

Sejauh mata memandang yang tampak lautan manusia, orang tua hingga kanak-kanak. Keriaan seperti tak lepas dari wajah mereka yang hadir di sana.

Seorang perempuan muda berpose di depan kamera dengan senyum terpacak di wajah.

"Ambil dari pinggang ke atas saja. Sekali lagi! Tabuik harus kelihatan!" kata perempuan itu kepada rekan yang memotretnya.

Setiap hari kesepuluh di bulan Muharram, Festival Tabuik menjadi magnet bagi semua orang di Pantai Gandoriah. Selama Festival Tabuik yang dimulai sejak tanggal 14 Oktober hingga acara puncak 25 Oktober, pemerintah setempat memperkirakan ada 200 ribu pengunjung yang datang dari luar Pariaman, bahkan dari mancanegara.

Matahari yang hanya berupa satu titik berwarna kuning pudar terselimuti kabut asap tipis akibat kebakaran lahan dan hutan di Sumatera bukan menjadi halangan.

Membawa berkah

Masyarakat Minangkabau Pariaman menyebut perayaan ini sebagai acara hoyak tabuik. Jauh hari sebelum festival ini dua komunitas berbeda membuat tabuik yang menjulang dan bersayap dengan berbagai hiasan.

Tabuik Pasa dibuat oleh masyarakat Pasar, sementara tabuik Subarang dibuat oleh masyarakat Seberang, dua daerah yang lokasinya dibelah oleh sungai.

Dalam acara puncak Festival Tabuik, kedua tabuik diarak keliling kota Pariaman dan diakhiri dengan pembuangan kedua tabuik ke laut.

Saat tabuik Pasa dan tabuik Subarang dihoyak -- digoyangkan naik-turun -- oleh para penggotongnya dengan iringan tabuhan gendang tasa khas Pariaman, gelak tawa, tepuk tangan dan teriakan “hoooo” bergema.

Ketika tabuik akhirnya dilarung ke laut menjelang gelap, para penonton, termasuk anak-anak yang bermain di laut, berebut mempreteli bagian-bagian tabuik yang telah terendam air sambil tertawa gembira.

Mereka mengambil apa saja bagian dari tabuik; rotan, papan, hiasan atau balok kayu, untuk dibawa pulang dengan harapan mendapat tuah kebaikannya.

Donal Hendri membawa papan peti Tabuik pulang ke rumahnya.

"Katanya, kan, begitu (membawa tuah)," ujar warga Barangan tersebut kepada BeritaBenar.

Akan ia apakan papan tersebut sesampai di rumah? Donal belum bisa memastikan.

"Mungkin saya pakai untuk membangun kandang ayam atau warung,katanya.

Warisan tradisi Syiah

Tabuik atau tabut artinya peti kayu. Prosesi tabut sendiri sejatinya berakar dari peringatan Hari Asyura yang lazim dilakukan oleh umat Syiah, di tempat lain di dunia.

Di hari itu umat Syiah memperingati kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Hussein bin Ali, dalam serangan pasukan yang diutus Khalifah Bani Umayyah Yazid bin Muawiyah di Padang Karbala -- sekarang di Irak -- pada 10 Muharram 61 Hijriah atau 680 Masehi.

Di Pariaman, tradisi ini unik lantaran mayoritas penduduk kota kecil yang berjarak sekitar 50 kilometer dari Padang, ibu kota Sumatera Barat itu penganut Sunni. Tradisi ini hanya dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di kota itu, yang mayoritas adalah penganut Mahzab Syafii yang dibawa Syekh Burhanuddin.

Namun walau masyarakat Pariaman merayakan Festival Tabuik selama lebih dari seratus tahun, bukan berarti sentimen anti-Syiah yang muncul beberapa tahun terakhir di Indonesia tidak ada di kota itu.

"Kami bahkan menolak Syiah di wilayah ini," kata Ketua Panitia Festival Tabuik 2015, Effendi Jamal, kepada BeritaBenar.

Effendi menyebut tradisi tabuik ini tak lebih sebagai festival wisata untuk mendatangkan turis dan menggerakkan perekonomian Pariaman. Festival ini merupakan even wisata terbesar yang menarik wisatawan dari luar ke Pariaman.

"Tak ada kaitannya dengan agama. Ini murni kegiatan pariwisata," ujar pria yang juga Kepala Dinas Pariwisata Kota Pariaman tersebut.

Selain itu, berbeda dengan masyarakat Syiah seperti di Irak, Iran dan Asia Selatan yang memperingati Hari Asyura dengan suasana berkabung atas kematian Imam Hussein panutan mereka, masyarakat Sunni di Pariaman memperingatinya dengan berpesta.


Pedagang camilan gorengan khas Pariaman, sibuk melayani pembeli di acara puncak Festival Tabuik di pinggir Pantai Gandoriah, Pariaman, 25 Oktober 2015. (BeritaBenar)

Warga tak ambil pusing

Rozi Oemar, penonton acara tabuik mengaku ia tak ambil pusing bahwa festival tersebut adalah tradisi warisan Syiah.

Menurut warga Pauh itu, ia menganggap pesta tabuik sebagai atraksi wisata. Sebagai warga Pariaman, ia tak ingin ketinggalan kegembiraan tradisi di kota yang menjuluki dirinya sebagai Kota Tabuik ini.

"Perayaan tabuik ini juga enggak setiap hari, kan?" ujar Rozi.

Warga lainnya, Rosimah mengatakan sebagai orang Pariaman, ia datang untuk menonton dan memeriahkan Festival Tabuik.

"Lagipula, jarak rumah ke sini tak begitu jauh. Kenapa tak datang saja menonton? Ini (Tabuik), kan, acara sekali dalam setahun juga," kata perempuan berusia 42 tahun itu.

Berdasarkan sejarah, perayaan Tabuik di Pariaman ini berlangsung sejak 1831. Upacara ini awalnya diperkenalkan oleh pasukan Tamil Muslim Syiah dari India bagian dari tentara kolonial Inggris.

Sebagian dari mereka kemudian memutuskan tinggal di Pariaman setelah Inggris meninggalkan wilayah pantai Barat Sumatera dan markasnya di Bengkulu pada 1825.

Ketika itu, Pariaman adalah kota pelabuhan yang cukup ramai di tepi pantai sehingga menarik minat banyak pendatang asing untuk menetap.

Menyimpan symbol

Perayaan dan bentuk tabuik itu sendiri menyimpan banyak makna tersirat.

Pada bagian bawah bangunan Tabuik terdapat sebuah patung yang dianggap sebagai perwujudan burak, yaitu kuda yang memiliki sayap dan ekor yang lebar tapi berkepala manusia dengan peti berwarna-warni di punggungnya.

Burak dan peti itu adalah simbol ketika burak menjemput jenazah Hussein bin Ali yang tewas di Padang Karbala.

Secara total, sebuah tabuik bisa mencapai tinggi sekitar 12 meter.

Menurut cerita, setelah burak menjemput jenazah Hussein bin Ali, burak kemudian terbang membawa jenazah tersebut ke angkasa.

Dalam prosesi tabuik, peristiwa ini disimbolkan dengan prosesi melarung tabuik ke lautan.

Adapun peristiwa serbuan pasukan utusan Yazid bin Muawiyah yang menewaskan Hussein bin Ali disimbolkan lewat keriuhan tabuhan gendang tasa dan adu hoyak dua tabuik, yaitu Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.