Bentrok Warga di Papua Tewaskan Tiga Orang
2018.10.04
Jayapura

Bentrok fisik antar-warga kembali terjadi di Kabupaten Jayawijaya dan Pegunungan Bintang, Papua, sehingga menewaskan tiga orang dan puluhan lainnya harus dirawat di rumah sakit.
Dalam insiden di kawasan Jalan Trans Papua antara Wamena-Kurulu, Kampung Mulima, Jayawijaya, Selasa, 2 Oktober 2018 itu, selain menewaskan tiga warga, 12 lainnya luka-luka dan dua rumah terbakar, kata Kabid. Humas Polda Papua, Kombes. Pol. Ahmad Mustafa Kamal.
Menurutnya, bentrok dipicu oleh pemukulan seorang perempuan asal Distrik Yalengga, akhir September lalu. Pelakunya diduga berasal dari Distrik Libarek.
Pemukulan itu mengundang reaksi balasan dari warga Yalengga sehingga menyerang ke Libarek dan terjadi bentrok yang mengakibatkan Kepala Kampung Mulima, Yusuf Wilil (45) dan dua orang lainnya tewas terkena panah.
Pada hari yang sama, kekerasan antarwarga juga terjadi di Oksibil, Pegunungan Bintang, yang diduga karena ketidakpuasan sekelompok masyarakat atas kinerja Bupati Constan Otemka.
“Bentrokan semakin tidak terkendali setelah kedua kelompok melakukan pembakaran sejumlah rumah,” kata seorang saksi mata.
Seorang anggota polisi dan puluhan warga terluka akibat kena panah, sehingga mereka harus dirawat di rumah sakit setempat.
Dalam insiden Oksibil, dua jurnalis nyaris menjadi korban pemukulan karena datang dari Jayapura bersama Bupati Otemka.
Saat turun dari pesawat, kedua jurnalis itu langsung berhadapan dengan kelompok yang tidak puas dengan kinerja bupati. Tapi, mereka berhasil diselamatkan aparat keamanan.
Massa memang telah menunggu di Bandara Oksibil setelah mendapat informasi bahwa Bupati Otemka akan datang. Otemka juga diselamatkan aparat keamanan.
Perang suku?
Bentrokan warga seperti ini sering terjadi di wilayah Pegunungan Papua. Penyebabnya diduga karena salah paham, kekerasan fisik, pencurian, Pilkada, dan ketidakpuasan pada kinerja aparat pemerintah.
Sejumlah pihak menilai konflik antar-warga di Papua sering dilihat sebagai perang suku sehingga menghambat penerapan hukum positif.
Perang suku menuntut penyelesaian secara adat yang tak bisa diakomodir dalam sistem hukum positif.
Denda adat atau “bayar kepala” dikenal di hampir seluruh Tanah Papua sebagai atribut dalam perang suku.
“Sehingga kebanyakan konflik yang sebenarnya tak ada kaitan dengan sistem kesukuan, seringkali diselesaikan dengan bayar denda adat,” ujar John Gobay, anggota DPR Papua yang juga ketua Dewan Adat Paniai.
“Kenapa tidak menggunakan hukum positif. Padahal seharusnya menggunakan hukum positif agar ada efek jera dan tidak berulang.”
Menurut Gobay, hal ini disadari atau tidak telah memelihara praktik kekerasan di Tanah Papua. Sehingga kekerasan dan konflik antar-warga terus berulang terjadi.
Hal yang sama dikatakan Dominikus Surabut, ketua Dewan Adat La Pago yang meliputi hampir sebagian kawasan pegunungan tengah Papua.
Menurutnya, perang suku di wilayah adatnya hanya terjadi karena dua penyebab yaitu ada perempuan suku tertentu yang dilecehkan oleh suku lainnya dan ternak babi milik satu suku diambil oleh suku lain.
Baik Gobay maupun Surabut mengatakan bahwa lazimnya perang suku yang sejati selalu diiringi dengan ritual yang telah berlangsung sepanjang keberadaan komunitas tersebut. Tidak ada perang suku tanpa ritual di Tanah Papua.
“Yang terjadi saat ini kebanyakan karena masalah pemilihan kepala daerah dan tak puas masyarakat kepada pemerintah atau kelompok tertentu, atau diawali tindakan kriminal seperti pemukulan, pencurian, miras, bukan karena dua hal tersebut,” ujar Surabut.
‘Pengalihan isu’
Namun Markus Haluk, mantan aktivis Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia beranggapan kekerasan warga seperti di Pegunungan Bintang dan Jayawijaya diduga karena konstelasi isu Papua di luar negeri atau hal lain yang berkaitan dengan aparat keamanan.
“Jika masalah Papua disoroti di luar negeri, biasanya ada kejadian seperti di Wamena dan Oksibil. Ini bukan barang baru. Pengalihan opini,” kata Haluk kepada BeritaBenar.
Ia mencatat sebelum dua insiden itu terjadi, ada rencana aksi penolakan pengukuhan Pangdam Cenderawasih sebagai kepala suku dan penyerahan tanah seluas 90 hektar.
Selain itu, terjadi pula penyerangan markas Jendral TPN/OPM Goliat Tabuni dan sorotan negara-negara Pasifik terhadap Indonesia terkait dugaan pelanggaran HAM di Papua dalam Sidang Umum PBB, katanya.
Selain konflik antar-warga, kekerasan di Papua juga dipicu karena adanya operasi untuk memburu anggota kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Peradilan adat
Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Tomotius Murib, menyatakan peradilan adat bisa efektif untuk menangani kasus-kasus kekerasan antar-masyarakat, terutama di wilayah pegunungan.
“Dalam Peraturan Daerah Khusus No. 20 tahun 2008 tentang peradilan adat disebutkan Pengadilan Adat merupakan pengadilan perdamaian dalam masyarakat adat,” katanya.
“Dalam proses peradilan adat, kadang menghasilkan sebuah perdamaian. Setiap pihak diberikan keleluasaan untuk berbicara, sehingga secara psikologis ada kepuasan para pihak yang bertikai.”
Namun, dia menekankan agar tidak setiap kekerasan antar-warga dibawa ke peradilan adat.
“Ke depan, peradilan adat sebaiknya didorong untuk dipraktikkan oleh masing-masing wilayah adat dan suku,” ujar Murib.