Dituntut 2 Tahun Penjara, Buni Yani Sebut Jaksa Mengada-Ada
2017.10.03
Jakarta

Kubu Buni Yani menilai jaksa penuntut hukum mengada-ada, usai dituntut hukuman dua tahun penjara dan denda Rp100 juta subsidair tiga bulan kurungan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Selasa, 3 Oktober 2017.
"Semuanya tak lebih dari asumsi semata," kata kuasa hukum Buni Yani, Aldwin Rahadian kepada BeritaBenar.
Menurutnya jaksa tak mampu membuktikan Buni Yani terbukti memotong dan mengedit video mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama selama proses persidangan yang dimulai sejak 13 Juni lalu.
“Makanya logika jaksa terbalik, karena Buni Yani justru dituntut Pasal 32 ayat 1 juncto Pasal 48 ayat 1 tentang memotong video," tambah Aldwin.
Pasal itu merupakan dakwaan pertama yang dijeratkan jaksa kepada Buni Yani. Selain itu, ia dijerat Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 tentang ujaran kebencian namun akhirnya tak dipilih sebagai dasar tuntutan oleh jaksa.
Serupa dengan Aldwin, Buni Yani seusai persidangan juga menilai tuntutan jaksa sebagai hal serampangan.
Menurutnya, fakta yang tersaji di persidangan tak pernah menunjukkan kalau dia telah menyunting dan mengedit video pidato Ahok.
“Yang terjadi sama itu jaksa penuntut umum bahwa saya dituduh memotong video tetapi saya disuruh membuktikan saya tidak memotong video. Kan stupid, gitu, lho. Belajar ilmu hukum di mana?” kata Buni Yani, dikutip dari laman Kompas.com.
"Benar-benar zalim dan biadab."
Sepanjang persidangan, Buni memang berulang kali menyangkal telah menyunting video pidato Ahok.
Dalam suatu persidangan, ia bahkan sempat marah dan membentak jaksa setelah ia menilai jaksa menyudutkan dirinya lewat pertanyaan kepada saksi yang dihadirkan di persidangan.
Sengaja mengedit
Jaksa menilai Buni Yani bersalah karena secara sengaja mengedit video pidato Ahok dengan menghilangkan kata 'pakai' dan menambahkan beberapa kata pada caption atau keterangan video.
Menurut jaksa Andi Taufik, fakta Buni Yani mengedit video itu didasarkan pada keterangan beberapa saksi di persidangan.
“Bahkan ada yang sempat berkomentar dari mengingatkan Buni Yani akan bahaya postingannya itu," kata Andi kepada BeritaBenar.
Dia tak mau mengomentari pernyataan kubu Buni Yani yang menganggap tuntutan jaksa sebagai mengada-ada. Menurutnya, segala pertimbangan tuntutan telah berpijak pada fakta persidangan.
"Informasi yang disebarkan terdakwa menimbulkan kebencian terhadap masyarakat berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan sehingga jaksa memilik dakwaan pertama yakni Pasal 32 ayat 1," tambahnya.
Video yang disebut hasil editan Buni Yani yang kemudian diunggah ke Youtube telah memicu munculnya gelombang penolakan terhadap Ahok yang saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta dan menjadi kandidat dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) Jakarta.
Dalam salah satu bagian dari video pidato asli berdurasi 1 jam 48 menit yang diunggah Dinas Komunikasi dan Informasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Ahok mengatakan, "Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu enggak bisa pilih saya, kan, dibohongi pakai Surat Al Maidah 51, macam-macam itu. Itu hak Bapak-Ibu.”
Pidato itu berlangsung pada 27 September 2016, ketika Ahok mengadakan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu.
Jaksa mengatakan, Buni Yani telah memotong kalimat Ahok itu menjadi hanya 30 detik dan menghilangkan kata 'pakai'. Buni Yani juga membuat caption bernada provokatif dalam potongan video tersebut.
Pidato Ahok tersebut tidak menuai gejolak hingga Buni Yani memposting potongan video tersebut di media sosial yang berujung pada ribuan Muslim turun ke jalan dalam serangkaian demonstrasi di Jakarta dan beberapa wilayah di Indonesia menuntut Ahok dipenjara karena dinilai telah menistakan agama Islam.
Ahok kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada 16 November 2016 oleh Mabes Polri dan divonis penjara selama dua tahun pada 9 Mei lalu setelah menjalani persidangan selama hampir enam bulan. Kini, dia menjalani masa hukuman penjara di Markas Komando Brimob Kelapa Dua di Depok, Jawa Barat.
Ahok pun dicopot dari jabatan Gubernur DKI Jakarta dan digantikan Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat yang akan menjabat hingga pertengahan Oktober ini setelah sebelumnya pasangan ini kalah dalam Pilkada April 2017 yang penuh diwarnai aspek politik bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Pledoi komprehensif
Buni Yani ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran UU ITE pada 23 November 2016, beberapa hari setelah Ahok disematkan status serupa.
Meski berstatus tersangka, namun Buni Yani ketika itu tak langsung ditahan. Persidangan pertama dengan agenda pembacaan dakwaan bahkan baru digelar lima bulan setelah penetapan tersangka.
Persidangan lanjutan Buni Yani bakal digelar pada 17 Oktober mendatang dengan agenda pembacaan pembelaan terdakwa atau pledoi. Saat ditanya mengenai poin pembelaan yang disiapkan, Aldwin tak merincikan lebih lanjut.
Kuasa hukum, menurutnya, akan menyampaikan segala hal yang luput dari catatan jaksa.
"Kami sampaikan komprehensif, menguraikan fakta-fakta persidangan," katanya.
Seusai mendengarkan pledoi, giliran tim jaksa yang kemudian menyampaikan jawaban atas pembelaan terdakwa Buni Yani.
Dengan rangkaian proses itu, Buni Yani diperkirakan bakal menerima vonis dari majelis hakim pada akhir Oktober nanti.