Jika RS Paham Peraturan, Tragedi Deborah Mungkin Bisa Dihindari

Orang tua Deborah tidak tuntut ganti rugi kepada RS Mitra Keluarga, hanya menginginkan rumah sakit itu akui kesalahan dan minta maaf.
Arie Firdaus
2017.09.11
Jakarta
170911_ID_childrenhealth_1000.jpg Papan reklame Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres di Jakarta Barat, 11 September 2017.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Pemerintah harus memastikan penyedia layanan kesehatan melaksanakan peraturan jasa kesehatan yang ada sehingga tragedi yang menimpa bayi Tiara Deborah Simanjorang, yang meninggal karena tidak dilayani untuk mendapatkan perawatan khusus di sebuah rumah sakit karena ketidakmampuan orangtuanya membayar uang muka, tidak terulang.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan implementasi peraturan di lapangan tidak ada walaupun undang-undang tentang kesehatan telah mengatur bahwa setiap rumah sakit berkewajiban menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.

Ketua KPAI Susanto mencontohkan keberadaan Pasal 32 huruf C yang menyatakan, setiap pasien berhak memperoleh layanan manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi.

"Makanya, harus ada perbaikan. Berupa kontrol berkala, berkelanjutan dan memastikan semua rumah sakit menerapkan undang-undang," tegas Susanto kepada BeritaBenar, Senin, 11 September 2017.

Ia menyatakan kasus Debora bisa “menjadi pintu masuk untuk perbaikan secara keseluruhan" sistem pelayanan kesehatan.

Pernyataan serupa diutarakan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, dengan menyebut kejadian yang menimpa Deborah sebagai wujud krisis kemanusiaan.

"Pelanggaran terhadap hak asasi manusia untuk mendapatkan pelayanan dasar berupa kesehatan," kata Arist saat dihubungi.

"Rumah sakit tidak lagi menjadi institusi menyelamatkan manusia, tapi berubah menjadi institusi yang berorientasi bisnis dan ekonomi."

Tak punya biaya

Deborah yang berusia empat bulan, meninggal dunia hari Minggu, 3 September lalu setelah gagal mendapatkan fasilitas pelayanan di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) RS Mitra Keluarga hari itu.

Menurut orang tua Deborah, Henny Silalahi dan Rudianto Simajorang yang memegang kartu asuransi kesehatan pemerintah - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, manajemen rumah sakit meminta uang muka senilai Rp19,8 juta agar Deborah bisa dirawat di ruang PICU.

Pihak rumah sakit tetap tidak menerima Deborah walaupun orangtuanya menyanggupi untuk membayar Rp5 juta dan berjanji melunasi kekurangan pembayaran setelah mendapatkan perawatan.

RS Mitra Keluarga beralasan mereka tidak melayani pasien BPJS.

Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Koesmedi Priharto, mengakui banyak rumah sakit yang belum mengetahui bahwa seluruh biaya penanganan gawat darurat di semua rumah sakit ditanggung BPJS Kesehatan.

"Untuk kegiatan gawat darurat, biarpun rumah sakit belum kerja sama dengan BPJS, BPJS tetap menanggung (biaya)," kata Koesmedi, di Kantor Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Senin, seperti dikutip di Kompas.com.

Kasus menimpa Deborah menjadi perhatian publik setelah seorang aktivis yang juga jurnalis, Birgaldo Sinaga mengangkat kasus tersebut di media sosial 8 September lalu. Birgaldo kini menjadi pembela hukum keluarga Deborah.

Dalam keterangan kepada wartawan di kantornya, Koesmedi mengatakan setelah mengumpulkan keterangan dari manajemen RS Mitra Keluarga, pihaknya menemukan "ada kelalaian dari rumah sakit".

Kelalaian itu, jelas Koesmedi, meliputi sikap rumah sakit yang meminta keluarga Deborah mencari rumah sakit rujukan. Padahal, mencari rumah sakit rujukan itu adalah tanggung jawab RS Mitra Keluarga.

Namun demikian Koesmadi belum bisa merincikan sanksi yang diberikan kepada pengelola RS tersebut, mengatakan pihaknya akan menelusuri lebih lanjut kasus itu.

"Kami juga akan mendatangi pihak pasien (keluarga Deborah)," imbuh Koesmedi.

Direktur RS Mitra Keluarga, Fransisca Dewi, yang juga hadir dalam Keterangan Pers tersebut menjelaskan alasan rumah sakit tak memasukkan Deborah ke ruang PICU meski telah diinstruksikan dokter yang menangani pasien.

"Kami menyadari bahwa peralatan di ruang khusus seperti PICU membutuhkan biaya besar, sehingga kita perlu memikirkan efektivitas dan efiesiensi dari pasien. Apalagi perawatan di ruang khusus membutuhkan waktu cukup lama," katanya.

Fransisca berjanji bakal merealisasikan kerja sama dengan BPJS.

"Kami ada 12 rumah sakit. Kami memperkirakan bulan ini bekerja sama (dengan BPJS),” ujarnya.

Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres di Jakarta Barat, 11 September 2017. (Arie Firdaus/BeritaBenar)

Tuntut permintaan maaf

Meski telah kehilangan anak bungsunya, orang tua Deborah melalui kuasa hukumnya mengatakan tidak akan menuntut ganti rugi kepada pihak rumah sakit.

"Kami hanya ingin rumah sakit menyatakan kesalahannya, lalu meminta maaf," kata Birgaldo.

Permintaan maaf tersebut, tutur Henny Silalahi, agar rumah sakit lain tak mengulangi kesalahan RS Mitra Keluarga.

"Supaya tidak ada lagi peristiwa seperti anak saya,” katanya.

Pelayanan tidak maksimal oleh rumah sakit atas warga kurang mampu seperti dialami Deborah sejatinya bukan kali ini saja terjadi.

Pada Juli tahun lalu, seorang ibu yang membawa bayinya ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cengkareng di Jakarta Barat juga diminta uang muka oleh manajemen rumah sakit.

Kasus ini sempat membuat marah Gubernur DKI Jakarta ketika itu, Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama. Pasalnya, RSUD Cengkareng selaku rumah sakit pemerintah tak diperbolehkan meminta uang muka kepada pasien, apalagi pasien BPJS.

"Buat RSUD kami, minta uang muka ke pasien itu haram," tegas Ahok saat itu, dikutip dari laman Kompas.com.

"Kalau kelakuan tidak beda, buat apa jadi dokter atau perawat?"

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.