Demonstran Penolak UU KPK Divonis 4 Bulan Penjara
2020.01.30
Jakarta

Dede Lutfi Alfiandi, demonstran yang fotonya membawa bendera merah putih menjadi lambang perlawanan mahasiswa dalam memprotes undang-undang kontroversial September lalu, dijatuhi hukuman empat bulan penjara pada Kamis (30/1/2020), setelah divonis bersalah melawan petugas keamanan.
Walaupun dia diputuskan bersalah, pada hari itu juga pemuda usia 20 tahun itu bisa menghirup udara bebas karena telah menghabiskan waktu yang sama dalam tahanan dengan hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Lutfi ditahan pada 3 Oktober 2019, menyusul demonstrasi menolak RUU Komisi Pemberantasan Korupsi dan revisi KUHP yang dilakukannya bersama ribuan mahasiswa di Jakarta dan berbagai kota lainnya pada September 2019.
Lutfi yang dalam persidangan sebelumnya mengaku disiksa polisi saat penyidikan, dianggap secara sengaja menyerang petugas dalam demonstrasi berujung ricuh itu.
“Terdakwa terbukti secara sengaja datang berkunjung dan tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh yang berwenang (kepolisian),” kata ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Bintang Al, dalam pertimbangan putusan.
Tuduhan jaksa sebelumnya terhadap Lutfi bahwa ia melawan petugas dengan melemparkan batu dan merusak fasilitas umum tidak terbukti di persidangan, demikian menurut hakim Bintang.
Lutfi termasuk dari 380 orang yang disematkan status tersangka dari setidaknya 1300-an orang yang ditangkap Kepolisian Daerah Metro Jaya bulan September 2019 itu.
Lutfi memulai persidangan dugaan pidana melawan petugas bersama 15 orang lain pada pertengahan Desember 2019. Namun dalam putusan hari ini, hanya Lutfi yang menjalani sidang putusan, sedangkan sisanya dijadwalkan menerima vonis Jumat (31/1/2020).
Vonis hakim ini sesuai dengan tuntutan jaksa dalam persidangan kemarin.
Lutfi dipastikan dapat langsung bebas dari Rumah Tahanan Salemba di Jakarta terhitung sejak hari ini.
“Setelah eksekusi, mungkin sehabis magrib bisa keluar. Tinggal administrasi saja,” kata jaksa penuntut, Andri Saputra.
Penyiksaan
Selain karena fotonya yang membawa bendera saat berusaha melindungi diri dari gas airmata dalam demonstrasi itu viral, persidangan Lutfi menyita perhatian publik setelah dirinya mengaku disiksa dan disetrum saat penyidikan agar mengaku melempar aparat dalam kejadian itu. .
“Saya disuruh duduk, terus disetrum. Ada setengah jam lah. Saya disuruh ngaku kalau lempar batu ke petugas, padahal saya tidak melempar,” ujar Lutfi dalam persidangan 20 Januari lalu.
Akibat penyiksaan itu, lanjut Lutfi, ia akhirnya menuruti keinginan penyidik kepolisian yang memeriksanya.
“Saya itu tertekan. Makanya saya bilang akhirnya saya melempar batu. Saat itu, kuping saya dijepit, disetrum, disuruh jongkok juga,” katanya lagi.
Pengakuan Lutfi ini sempat pula disorot anggota Komisi Hukum DPR, Taufik Basari, saat rapat kerja dengan Kepala Polri Jenderal Idham Aziz hari ini.
Menurut Taufik, kepolisian seharusnya dapat menjamin tidak ada lagi penyiksaan dalam pemeriksaan. Ia pun meminta kepolisian bersikap tegas jika terdapat penyiksaan dalam proses penyidikan.
“Harus ada kewajiban bagi negara untuk menjamin tidak ada lagi praktek penyiksaan,” kata Taufik, dikutip dari laman Kompas.com.
Menanggapi hal ini, Kapolri Idham Aziz berjanji lembaganya bakal menindak tegas petugas yang terbukti menyiksa Lutfi dalam proses penyidikan.
“Bagi saya, kalau terbukti anggota harus diproses. Saya sudah perintahkan Kepada Divisi Profesi dan Pengamanan (untuk mengusut),” kata Idham.
Namun begitu, Idham justru berbalik mengancam Lutfi dengan menyebut dirinya dapat menerima konsekuensi hukum jika nantinya tidak ditemukan ada penyiksaan oleh petugas setelah didalami Divisi Profesi dan Pengamanan.
“Kita fair saja. Kalau nanti memang ada melanggar, anggota nanti kita proses. Kalau tidak, tentu kita juga akan merehabilitasi,” pungkas Idham.
Rangkaian demonstrasi
Rangkaian demonstrasi besar terjadi di sejumlah kota di Indonesia pada 23 – 30 September 2019, dipicu oleh pengesahan revisi UU KPK yang dinilai melemahkan lembaga antirasuah itu dan hendak disahkannya UU KUHP yang dinilai kontroversial. Penolakan terhadap peraturan-peraturan itu termasuk dalam tujuh poin tuntutan para pengunjuk rasa, disamping tuntutan - antara lain penghentian militerisasi di Papua, penyelesaian kasus pembakaran hutan, dan penghentian kriminalisasi aktivis dan jurnalis.
Unjuk rasa yang digaungkan dengan tema “Reformasi Dikorupsi” itu merupakan demonstrasi bermassa besar pertama yang diinisiasi mahasiswa sejak Soeharto lengser sebagai presiden pada 1998.
Lembaga pegiat demokrasi dan jaringan badan eksekutif mahasiswa menyebut lima orang warga sipil tewas dalam rangkaian unjuk rasa tersebut termasuk dua mahasiswa yang tewas tertembak aparat di Kendari, Sulawesi Tenggara.