Demi net-zero emission, Indonesia kembangkan energi nuklir

Pakar berbeda pendapat, ada yang melihat pengembangan nuklir berisiko tinggi dan biaya mahal, ada menilai justru efisien untuk jangka panjang.
Nazarudin Latif
2022.10.18
Jakarta
Demi net-zero emission, Indonesia kembangkan energi nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) melakukan dekontaminasi tanah yang terpapar limbah radioaktif di kawasan pemukiman BATAN Indah, Tangerang, Banten, 17 Februari 2020.
[Antara Foto/Muhammad Iqbal/via Reuters]

Indonesia menjajaki pengembangan tenaga nuklir untuk tujuan damai dalam skala yang lebih besar melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) yang sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR.

Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto mengatakan nuklir – untuk tujuan damai, sebagai pembangkit tenaga listrik –  dibahas dalam RUU EBT guna menggantikan energi fosil, seperti batu bara dan minyak bumi, yang merusak lingkungan.

“Kita ini ada kebutuhan energi besar, tapi juga harus related dengan pengurangan emisi yang signifikan,” ujar Sugeng pada BenarNews, Kamis (13/10).

Menurut Sugeng, sifat energi fosil seperti batu bara dan minyak bumi terbatas dan polutif sehingga tidak mungkin menjadi andalan dalam bauran energi jika ingin mencapai target net-zero emission (NZE) pada 2060.

Indonesia mempunyai program NZE setelah meratifikasi Paris Agreement menjadi Undang-Undang nomor 16 tahun 2016, tambah Sugeng.

Sugeng mengungkapkan kebutuhan energi Indonesia mencapai lebih dari 410 gigawatt pada 2060.

“Sementara itu kita kini baru 70-an gigawatt, jadi pada 2060 kebutuhan energi akan mencapai 6 kali lipat. Dari mana energi sebesar itu bisa dipenuhi? Tanpa nuklir, tidak mungkin target NZE tercapai,” ujar legislator dari Partai NasDem ini.

Dalam draft RUU EBT tertanggal 30 Mei 2022 disebutkan pada Pasal 9 ayat (1) bahwa sumber energi baru terdiri atas nuklir, hidrogen, gas metana batu bara (coalbed methane), batu bara tercairkan (coal liquefaction) dan batubara tergaskan (coal gasification).

Penggunaan energi nuklir dibahas pada bagian khusus dengan enam pasal dari total 62 pasal rancangan tersebut, yaitu dari Pasal 10-15.

Menurut RUU EBT, nuklir dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga listrik dan dikelola oleh perusahaan listrik milik pemerintah.

Indonesia juga akan menetapkan badan usaha milik negara yang melakukan kegiatan pertambangan bahan galian nuklir, kata RUU tersebut.

RUU EBT juga membahas soal pengolahan limbah radio aktif dan pembentukan badan pengawas.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat sumber EBT baru berkontribusi 11,2 persen pada bauran energi yang digunakan di Indonesia.

Sumber energi yang mendominasi adalah batu bara sebesar 38 persen, diikuti minyak bumi 31,6 persen dan gas alam 19,2 persen, menurut data ESDM.

Diah Nurwitasari, anggota dari Partai Keadilan Sejahtera, menegaskan pengembangan energi nuklir dalam RUU EBT ini hanya untuk kecukupan energi nasional, bukan pertahanan keamanan.

“Indonesia adalah anggota Badan tenaga Nuklir Internasional (IAEA) dan menandatangani traktat Nuclear Non-Proliferation Treaty. Hanya akan mengembangkan dan meneliti nuklir untuk maksud damai. Tidak untuk keperluan merusak, persenjataan ataupun kepentingan militer lainnya,” ujar Diah.

Indonesia ingin mempunyai reaktor PLTN seperti India yang sudah mengoperasikan 14 buah reaktor, Pakistan 2 reaktor, Cina 6 reaktor, Korea Selatan 20 reaktor dan Taiwan 6 reaktor, kata Diah.

“Pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengembalikan BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) sebagai badan penyelenggara ketenaganukliran yang mandiri, tidak lagi bergabung dalam BRIN,” ujar dia. BRIN atau Badan Riset dan Inovasi Nasional dibentuk pada 2019 dan setahun lalu semua lembaga penelitian bergabung di bawah BRIN.

Pro-kontra pengembangan nuklir

Program Director Indonesian Center for Environmental Law, Grita Anindarini mengatakan nuklir tidak relevan di Indonesia karena berisiko tinggi dan biaya mahal.

Menurut dia, beberapa negara juga mulai meninggalkan energi nuklir karena biaya yang mahal.

“Bukan hanya reaktornya namun juga pengelolaan limbah nuklir yang membutuhkan waktu lama dan mahal sekali, bahkan ketika sudah tidak beroperasi,” ujarnya.

“Lebih baik fokus sepenuhnya mengembangkan renewable energy saja,” ujar Grita.

Namun, Dosen Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada Andang Widi Harto mengatakan nuklir menjadi penting dalam peta pemenuhan energi nasional karena menghasilkan energi yang setara dengan batu bara yang jumlahnya masif dan berkelanjutan.

Dibandingkan dengan energi terbarukan lainnya, seperti surya dan angin yang tidak mampu menghasilkan energi secara terus menerus karena faktor cuaca dan iklim, energi nuklir lebih masif dan berkelanjutan.

“Masih sekitar 85 persen energi dunia itu berasal dari batu bara. Jadi kalau kita mengganti batu bara, kita perlu menggunakan sumber daya energi yang lain yang punya sifat masif dan continue, yaitu nuklir,” ujar dia.

“Energi yang dihasilkan oleh 2,7 juta ton batubara itu sama dengan energi yang dihasilkan 1 ton uranium. Jadi antara nuklir dan batubara itu 1:2,7 juta,” tambah Andang.

Biaya dan jangka waktu konstruksi pembangkit listrik tenaga nuklir memang lebih mahal dan lama, terutama untuk menjamin faktor keselamatan, namun, kata Andang, setelah itu PLTN akan jauh lebih efisien dibanding dengan pembangkit lain.

“Dibanding tenaga surya, nuklir lebih efisien dalam penggunaan lahan. Untuk menghasilkan 1.000 megawatt, radiasi matahari butuh sekitar 30-kilometer persegi, nuklir butuh 3 kilometer persegi, jadi 10 kali lebih luas,” ujar dia. 

Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa mengatakan nuklir bisa menyediakan energi seperti batu bara bahkan lebih bersih.

Namun, kata dia, teknologi yang digunakan PLTN saat ini yaitu generasi lama yang menghabiskan biaya sangat mahal dan waktu pembangunan yang lama yaitu 10 hingga15 tahun.

“Itu pun belum 100 persen aman, bebas dari kecelakaan, serta akan ada beban biaya untuk pengolahan limbah jangka panjang,” ujar dia.

Menurut dia, jika penggunaan energi nuklir dimaksudkan untuk mencapai target dekarbonisasi pemerintah pada sektor energi, maka kebijakan tersebut tidak tepat.

Seharusnya pemerintah melakukan optimalisasi energi terbarukan karena Indonesia mempunyai potensi hingga 3.800 gigawatt, namun baru dimanfaatkan sebesar maksimum 13 gigawatt, ujarnya.

Pizaro Gozali Idrus berkontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.