Peringati “Hari Kemerdekaan,” Warga Papua Ditangkap Polisi
2021.12.01
Jayapura dan Jakarta

Puluhan warga Papua ditangkap polisi pada Rabu (1/12) dalam aksi memperingati hari yang dianggap oleh kelompok separatis sebagai hari kemerdekaan Papua dari Belanda 60 tahun lalu itu, kata seorang aktivis lembaga bantuan hukum.
Otoritas keamanan Indonesia menyatakan hari pertama pada bulan Desember itu sebagai hari ulang tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM), sementara kelompok separatis melabelinya sebagai hari pengakuan kemerdekaan Papua oleh Pemerintah Belanda pada 1961.
Tujuh orang mahasiswa ditangkap anggota Kepolisian Daerah (Polda) Papua pada Rabu usai mengibarkan bendera Bintang Kejora di halaman Gelanggang Olahraga Cenderawasih di Jayapura, kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay kepada BenarNews.
Ketujuh mahasiswa itu saat ini masih diinterogasi oleh petugas di Mapolda Papua,” kata Gobay.
Dikatakan Gobay, sejak ditangkap pada Rabu siang sekitar pukul 12.30 WIT, LBH Papua dan sejumlah lembaga advokasi lokal terus berupaya memberikan pendampingan hukum kepada tujuh mahasiswa itu, tapi ditolak oleh petugas.
“Kami hanya diperkenankan melihat dari jauh. Kami belum diperkenankan melakukan pendampingan hukum secara maksimal,” lanjut Gobay, mengkritisi langkah kepolisian.
Selain itu, sebanyak 19 orang lain juga ditangkap di Merauke pada Selasa (30/11) terkait peringatan 1 Desember. Total, terang Emanuel, sebanyak 26 orang ditangkap terkait hal tersebut.
Penangkapan di Merauke terjadi setelah video yang menampilkan seorang tokoh adat Papua bernama Paulina Imbumar viral di media sosial. Dalam videonya, Paulina mengatakan kepada militer Indonesia bahwa dia “siap aman” namun juga "siap berperang".
Emanuel mengatakan, Paulina kini telah diperbolehkan pulang oleh aparat usai diperiksa, namun dua orang yang berperan merekam video Paulina masih ditahan aparat.
BenarNews menghubungi juru bicara Polda Papua Komisaris Besar Ahmad Mustofa Kamal terkait rangkaian penangkapan, tapi belum beroleh balasan.
Namun Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Papua Komisaris Besar Faisal Ramdhani di CNN Indonesia mengonfirmasi penangkapan ketujuh mahasiswa di Jayapura terkait pengibaran Bintang Kejora di GOR Cenderawasih tanpa menyebut identitas mereka.
Selain di Jayapura, pengibaran Bintang Kejora juga terjadi di puncak Gunung Merah di Kampung Moga di Kabupaten Memberamo Tengah. Merujuk laporan media lokal Jubi, lokasi pengibaran bendera tak jauh dari kantor bupati setempat.
Secara umum tidak ada aksi bermassa besar yang digelar di Papua dan Papua Barat pada Rabu.
Di Sorong, Papua Barat, misalnya, peringatan 1 Desember hanya diselingi aksi kecil sejumlah orang yang membentangkan poster dan berorasi di pinggir jalan, kata seorang wartawan di sana.
Hal itu adalah respons imbauan juru bicara Komite Nasional Pembebasan Papua Barat (KNPB), organisasi masyarakat yang bertujuan untuk tercapainya kemerdekaan Papua melalui referendum, Onep Suhuniap, pada Selasa (30/11) yang meminta masyarakat Papua untuk berdoa di kediaman masing-masing, alih-alih turun ke jalan untuk berdemonstrasi.
Onep pun meminta peringatan 1 Desember diisi kegiatan diskusi dan mimbar politik jika situasi di daerah masing-masing kondusif.
Bentrok di luar Papua
Tidak hanya di Papua dan Papua Barat, peringatan 1 Desember di provinsi lain juga diwarnai unjuk rasa. Di Jakarta, misalnya, sekitar 100 orang dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) berdemonstrasi tak jauh dari Istana Kepresidenan.
Mereka membentangkan sejumlah poster bertuliskan "Pepera 1969 Tidak Demokratis", "Referendum or Vanish", dan beberapa seruan lain.
Konflik antara kelompok separatis dan aparat keamanan Indonesia terus mewarnai wilayah Papua sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di bawah pengawasan PBB pada 1969 yang menetapkan wilayah itu sebagai bagian dari Indonesia. Sebagian warga Papua dan kalangan pegiat hak asasi manusia memandang Pepera manipulatif lantaran hanya melibatkan sekitar seribu orang yang telah diinstruksikan untuk memilih bergabung dengan Indonesia.
Dalam orasi pada Rabu, pendemo juga menyuarakan tuntutan kepada pemerintah untuk menarik militer dari Papua, mencabut Undang-undang Otonomi Khusus (UU Otsus), dan memberikan hak penentuan nasib sendiri bagi masyarakat Papua.
"UU Otsus tidak pernah benar-benar mewakili harapan masyarakat Papua," ujar salah seorang orator dalam unjuk rasa di Jakarta.
Sementara di Denpasar, Bali, unjuk rasa yang digelar puluhan mahasiswa yang berasal dari Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali (AMP-KKB) dan FRI-WP berakhir bentrok dengan organisasi kemasyarakatan setempat, Patriot Garuda Nusantara (PGN).
Bentrokan meletus saat massa aksi yang tengah long-march menuju Konsulat Jenderal Amerika Serikat diadang massa PGN. Mereka saling pukul, tendang, dan melempar batu.
Dikutip dari Detik.com sebanyak 12 orang AMP-KKB terluka akibat bentrokan ini. "Ada yang disepak oleh (anggota) PGN. Beberapa kawan juga terkena batu," ujar Ketua AMP-KKB Yesaya Gobay.
Bentrokan juga terjadi di Ambon, Maluku, antara sekitar 20 mahasiswa Papua dan aparat kepolisian. Kericuhan pecah saat polisi hendak membubarkan pengunjuk rasa yang hanya diberi waktu satu jam untuk menggelar aksi.
Mengenai serangkaian insiden terkait 1 Desember, BenarNews menghubungi Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin, tapi belum mendapat tanggapan.
"Pendekatan berbeda"
Dalam sela-sela kunjungan di Papua, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengatakan akan meninjau ulang pendekatan tentara di provinsi paling timur Indonesia itu demi memutus rantai kekerasan. Namun ia tak memerinci perubahan pendekatan yang dimaksud.
"Kami harus melakukan pendekatan berbeda sehingga diharapkan lebih efektif. Sementara, saya akan orientasi di satuan internal, termasuk penanganan operasi di seluruh Indonesia," kata Andika kepada wartawan, Rabu.
Intensitas kontak tembak antara militer Indonesia dan kelompok separatis meningkat dalam beberapa waktu terakhir.
Dalam insiden terbaru di Yahukimo pada Sabtu (20/11), prajurit TNI Sertu Ari Baskoro tewas dan seorang prajurit lain Kapten Infanteri Arviandi yang merupakan komandan koramil setempat terluka dan dilarikan ke rumah sakit.
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mengaku bertanggung jawab atas insiden tersebut.
Koordinator Jaringan Damai Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elizabeth mengatakan, pendekatan militer memang tidak mampu menyelesaikan persoalan di Papua selama ini.
Dia merujuk hasil penelitian Papua Road Map yang diterbitkan LIPI pada 2009 yang menyatakan hahwa akar persoalan di Papua sejatinya meliputi beragam hal, mulai dari peminggiran terkait pendidikan dan kesehatan, diskriminasi, hingga minimnya pengakuan akan kontribusi dan jasa Papua terhadap Indonesia.
"Masalah di sana bukan sebatas separatisme, tapi proses integrasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang tak tuntas hingga sekarang," ujar Andriana saat dihubungi.
Maka, terang Adriana, pemerintah harus membuka dialog dan memberikan kesempatan kepada masyarakat Papua untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat mereka tanpa dibayang-bayangi stigma negatif.
"Pengerahan militer selama ini hanya memperkuat ingatan bergenerasi tentang tindakan represif pemerintah," pungkasnya.