Indonesia Deportasi 143 Penjahat Siber ke China

Pemerintah Taiwan telah meminta perwakilan mereka di Jakarta untuk melayangkan protes kepada Indonesia karena mendeportasi warganya ke China.
Arie Firdaus
2017.08.03
Jakarta
170803_ID_deported_1000a.jpg Seorang polisi Indonesia (kanan) mengawal warga China dan Taiwan setelah ditangkap karena terlibat kejahatan penipuan siber, di Jakarta, 31 Juli 2017.
AFP

Walaupun diprotes Pemerintah Taiwan, atas permintaan Pemerintah China, Pemerintah Indonesia akhirnya mendeportasi 143 penjahat siber pada Kamis, 3 Agustus 2017, setelah penangkapan mereka akhir pekan lalu karena diduga terlibat dalam penipuan melalui internet bernilai Rp6 triliun menyasar warga kaya di China.

"… 143 orang, terdiri dari 125 warga China dan 18 warga Taiwan, sudah bisa pulang dengan emergency document yang diterbitkan Pemerintah China," kata juru bicara Direktorat Jenderal Imigrasi, Agung Sampurno, kepada BeritaBenar, Kamis.

Sementara itu empat warga negara Taiwan dan seorang warga Malaysia anggota komplotan tersebut belum dideportasi menunggu lengkapnya dokumen mereka.

"Masih ada dokumen-dokumen yang harus diurus," kata Agung tanpa merinci dokumen yang dimaksud.

Protes Taiwan

Pemulangan semua tersangka ke China tersebut menuai protes keras Taiwan.

Kantor berita AFP melaporkan Kementerian Luar Negeri Taiwan telah meminta perwakilannya di Jakarta untuk memprotes Pemerintah Indonesia karena memulangkan warga negaranya ke China.

"Kami meminta kunjungan konsulat diplomatik serta bantuan untuk mengidentifikasi orang-orang tersebut, dan mendesak Indonesia untuk menangani hal ini dengan adil sesuai dengan undang-undang dan juga untuk menyediakan saluran untuk bantuan hukum kepada warga Taiwan," kata kementerian tersebut, seperti dikutip di Reuters.

Taipei Economic and Trade Office (TETO) di Indonesia dalam statemennya mengatakan,”Menurut asas praduga tak bersalah dan ‘principle of repatriation of nationality’ , tersangka yang berkewarganegaraan Taiwan seharusnya dikirim kembali ke Taiwan untuk penyelidikan dan persidangan”.

Pernyataan itu juga menyatakan TETO “telah beberapa kali meminta pihak Indonesia untuk tetap dapat melakukan hak kunjungan, namun mereka menolak kunjungan TETO karena berada di bawah tekanan China”.

Kepada China, seperti dikutipdi AFP, Pemerintah Taiwan menyebut sikap Negara Tirai Bambu itu sebagai tindakan yang mengganggu hubungan baik yang tengah dibangun kedua negara. Protes resmi Taiwan telah dilayangkan hari Kamis.

"Mereka mengabaikan niat baik kami," demikian pernyataan Pemerintah Taiwan.

Tak ada komentar dari Kementerian Luar Negeri Indonesia terkait protes Pemerintah Taiwan ini. Telepon dan pesan pendek kepada juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir, tidak mendapat balasan.

Sedangkan Agung Sampurno beralasan bahwa deportasi ke China dilakukan atas dasar permintaan Pemerintahan Beijing.

Jakarta mengakui kebijakan “Satu China” Beijing dan tidak mengakui Taiwan sebagai sebuah negara yang berdiri sendiri. Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan.

‘Satu jaringan’

Para penjahat siber itu dipulangkan menggunakan dua pesawat dengan tujuan Tianjin di China, Kamis siang, melalui Bandar Udara (Bandara) Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng, Tangerang, Banten.

Pemberangkatan pertama pukul 12.00 WIB, sedangkan pesawat kedua diterbangkan pada pukul 14.00 WIB.

Sebelumnya, mereka dikumpulkan di halaman kantor Kepolisian Daerah Metro Jaya dan diberangkatkan dengan menggunakan lima bus menuju Bandara Soekarno-Hatta.

Saat ditanya mengenai hasil pemeriksaan terhadap para bandit siber itu, Agung menolak menjawab. Ia berdalih, materi pemeriksaan merupakan kewenangan kepolisian.

Saat dideportasi ke China, komplotan penjahat siber ini menggunakan pakaian berbeda, yakni oranye, biru, dan merah muda. Warna itu untuk membedakan lokasi penangkapan mereka.

Polisi menangkap 153 orang itu di Surabaya- Jawa Timur; Badung- Bali; dan Pondok Indah- Jakarta, Sabtu lalu.

Dari penangkapan itu, terdapat 125 warga China, 22 warga Taiwan, seorang warga Malaysia, dan lima warga Indonesia.

Dalam menjalankan aksinya, mereka menipu korban yang diduga tengah terlilit masalah hukum. Mereka berpura-pura menjadi aparat hukum China, semisal jaksa atau polisi, dan meminta uang sebagai imbalan untuk membantu menyelesaikan perkara tersebut.

"Dengan pola sama, kemungkinan mereka satu jaringan," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjend Rikwanto kepada BeritaBenar.

Sejauh ini belum diketahui jumlah korban yang berhasil diperdaya para penjahat siber itu. Adapun perkiraan kerugian, Rikwanto menyebut kisaran angka Rp6 triliun.

"Angka pasti tidak tahu karena proses hukumnya nanti di sana (China)," tambahnya.

Perihal alasan tak memproses hukum mereka di Indonesia, Rikwanto beralasan karena tak ada korban di Indonesia. Dari hasil penyelidikan polisi diketahui para korban mereka adalah warga negara China.

Mengenai keterlibatan dan status hukum lima warga Indonesia yang turut diamankan saat penangkapan jaringan itu, kepolisian menyatakan bahwa mereka hanya berstatus saksi.

Hal ini lantaran kelimanya merupakan asisten rumah tangga di rumah yang ditinggali para bandit siber tersebut. Mereka bertugas mencuci pakaian, memasak, atau membersihkan rumah.

"Mereka sudah dipulangkan ke rumah masing-masing," tutur Rikwanto.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.