Perluasan Rencana Kewenangan TNI 'Mengkhawatirkan'

Dewi Safitri
2015.11.27
Jakarta
militer-620 Pasukan TNI melakukan parade di pangkalan TNI-AL di Cilegon, Jawa Barat, 3 Oktober 2015, dalam persiapan perayaan HUT TNI ke-70.
Photo: Benar

Pelatihan pada pertengahan November lalu itu, diikuti oleh lebih dari 300 siswa dan 20 guru SMAN 70 di Jakarta Selatan.

Berseragam pramuka, para siswa diajari ilmu bela diri dengan instruktur TNI aktif berpakaian loreng.

Ini adalah bagian dari agenda bela negara yang masuk dalam kurikulum pendidikan nasional. Bukan cuma siswa di Jakarta, di Jawa Barat dan beberapa provinsi lain pun siswa sekolah diwajibkan menjalani kegiatan yang sama.

Pada bulan Maret dan April sebelumnya, di Poso Sulawesi Tengah sekelompok pasukan TNI menggelar latihan menangkap buron terror No.1 di Indonesia, Santoso.

Padahal ini bukan kegiatan yang lazim, mengingat wewenang memburu teroris dan jaringannya selama ini berada di tangan polisi dengan kekhususan pada Detasemen Khusus 88.

Laporan Yayasan Penanggulangan Krisis Internasional (IPAC) yang terbit pada bulan Mei di Jakarta menyebut, TNI sedang berusaha mendapatkan perluasan kewenangan dengan mendekati Presiden Joko Widodo.

Laporan itu mengutip pernyataan Direktur IPAC, Sidney Jones, bahwa posisi Presiden Jokowi yang rentan secara politik membuat TNI “mampu menempatkan diri sebagai sekutu presiden yang dapat diandalkan”.

Hanya beberapa bulan setelah Presiden Jokowi dilantik, mucul konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kepolisian. Sebagai bentuk dukungan pada presiden, TNI mengirim pasukan menjaga gedung KPK.

Kasus HAM

Perkembangan ini mencemaskan kelompok pegiat hak asasi manusia di Indonesia.

Rekam jejak TNI pasca reformasi, menurut Direktur Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar,  tak menunjukkan hasil gemilang.

“Sikap reformis lebih muncul pada figur-figur tertentu dan bukan bersifat struktural. Juga rentetan kasus pelanggaran HAM pada masa sekitar reformasi yang belum tuntas hingga kini,” kata Haris kepada BeritaBenar.

Ia mencontohkan dalam kasus pelanggaran HAM di Semanggi dan Trisakti, indikasi keterlibatan aparat TNI sangat kuat, namun hingga kini upaya pertanggungjawabannya tidak terjadi.

“Jadi bagaimana nanti kalau kasus serupa muncul lagi? Bagaimana pertanggungjawabannya, sedang yang lama saja belum beres,” tuntut Haris.

Aparat TNI juga kerap terlibat dalam bentrokan bersenjata dengan aparat kepolisian, yang menurut Haris menunjukkan kekuatan TNI rawan disalahgunakan.

Perluasan kewenangan ke wilayah sipil juga dianggap berpotensi konflik jika muncul masalah hukum – tidak jelas apakah apparat TNI bersangkutan akan diadili secara militer atau sipil.

Haris mengaku cemas perluasan kewenangan akan benar-benar diperoleh TNI setelah muncul rancangan Peraturan Presiden (Perpres) yang memberikan sejumlah kewenangan non-kombatan pada TNI.

Laporan koran The Jakarta Post bulan lalu melansir bahwa mantan Panglima TNI Jendral Moeldoko menyebut rancangan itu sudah dibahas sejak dia menjabat.

Tetapi juru bicara TNI Mayor Jendral Tatang Sulaiman membantah.

“Perluasan kewenangan apa? Soal bela negara kan koordinasinya dibawah Kemhan dan Kementrian Pendidikan, itu hal biasa. Kami juga biasa menjaga aset strategis milik negara membantu kepolisian,” kata Tatang saat dihubungi.

Terkait operasi pemburuan terror atau narkoba, Tatang mengatakan TNI tidak mencoba menyaingi apalagi mengambil alih tugas kepolisian.

“Tugas Pokok TNI kan ada 14 itu. Termasuk diantaranya penegakan hukum. Kalau ada orang pesta narkoba di depan kita, sementara polisinya tidak ada masa TNI mau diam saja?” tukasnya.

TNI menurut Tatang selalu menyerahkan kendali penegakan hukum pada kepolisian begitu tindakan dilakukan.

“Diam-diam”

Dalam draf Perpres yang beredar disebut-sebut TNI antara lain meminta agar statusnya berada di bawah kendali presiden langsung, tidak lagi di bawah Kementerian Pertahanan.

TNI juga akan berwenang dalam penanggulangan terorisme, serta penyelundupan dan peredaran narkotika.

Sejauh ini belum terdengar bagaimana respons presiden terhadap keinginan TNI tersebut.

Namun kalangan pegiat demokrasi dan HAM mengkhawatirkan posisi Presiden Jokowi yang lemah secara politik akan memaksanya menerima permintaan ini.

Berbagai aktivitas, termasuk program bela negara yang popular saat ini, menurut pegiat, merupakan bentuk “pengakraban” TNI di muka publik.

Sementara laporan IPAC tentang perluasan kewenangan TNI mengindikasikan keberhasilan memperkenalkan kembali nama baik TNI pada publik antara lain didukung oleh buruknya citra kepolisian.

Kini, yang jadi kekhawatiran utama Haris Azhar dan kawan-kawan adalah disetujuinya draf itu, karena desakan kebutuhan presiden untuk mendapatkan sekutu politik.

Meski Istana belum menunjukkan respons, menurutnya tak berarti presiden menolak permintaan TNI.

“Pas kita lagi konsen dengan persoalan korupsi, pencatutan nama dan lain-lain, (siapa tahu) diam-diam (Perpres) diteken. Itu yang bahaya. Kita harus awasi,” tutupnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.