2 Aktivis HAM diadili kasus pencemaran nama Menko Luhut Pandjaitan
2023.04.03
Jakarta

Dua aktivis hak asasi manusia (HAM) terkemuka, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, dituntut telah mencemarkan nama Menteri Koordinator (Menko) Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam kasus yang dikecam oleh kelompok masyarakat sipil sebagai pukulan terhadap demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, menyatakan Haris yang menjabat sebagai direktur lembaga advokasi HAM Lokataru dan Fatia sebagai koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) telah mengelabui masyarakat melalui tayangan wawancara di kanal YouTube pada tahun 2021 yang berjudul: “Ada Lord Luhut dibalik relasi ekonomi-operasi militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga ada.”
“Terdakwa Haris Azhar melihat nama saksi Luhut Pandjaitan alias Luhut Binsar Pandjaitan yang memiliki popularitas, sehingga timbul niat terdakwa Haris Azhar untuk mengangkat topik mengenai saksi Luhut Pandjaitan alias Luhut Binsar Pandjaitan menjadi isu utama dalam akun YouTube Haris Azhar dengan tujuan untuk menarik perhatian dan mengelabui masyarakat dengan cara mencemarkan nama baik saksi Luhut Pandjaitan alias Luhut Binsar Pandjaitan," kata JPU Sandi dalam dakwaan yang disiarkan di kanal YouTube, Senin.
Jika terbukti bersalah Haris dan Fatia terancam hukuman maksimal empat tahun penjara berdasarkan pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, beleid yang telah banyak dikritik oleh aktivis HAM sebagai alat untuk membungkam perbedaan pendapat secara daring.
Menurut surat tuntutan yang dibacakan dalam persidangan, pada tayangan YouTube tersebut Haris yang menjadi host dan Fatia yang hadir secara online sebagai narasumber berbicara tentang laporan dugaan pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan di Blok Wabu di Intan Jaya, wilayah yang juga merupakan lokasi konflik antara aparat keamanan Indonesia dan kelompok separatis Papua.
BUMN PT Aneka Tambang Tbk berencana untuk mengoperasikan tambang emas di Blok Wabu, yang diyakini memiliki cadangan bijih emas sekitar 117, 26 juta ton, menurut survei tahun 1999 oleh perusahaan pertambangan AS Freeport-McMoRan.
Dalam percakapannya, Haris menanyakan kepada Fatia mengenai perusahaan mana saja yang terlibat bisnis tambang di Papua dan kaitan antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya.
Fatia menjawab bahwa selain ada BUMN PT Freeport Indonesia, juga terdapat PT Tobacom Del Mandiri, anak perusahaan PT Toba Sejahtra Group.
"PT Tobacom Del Mandiri ini direkturnya adalah purnawirawan TNI namanya Paulus Prananto. Kita tahu juga bahwa Toba Sejahtra Group ini juga dimiliki sahamnya oleh salah satu pejabat kita, namanya adalah Luhut Binsar Pandjaitan (LBP), The Lord, Lord Luhut. Jadi Luhut bisa dibilang bermain dalam pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua hari ini," kata Fatia dalam tayangan tersebut.
Di bagian lain dalam video itu, Haris juga mengatakan bahwa ada jenderal atau purnawirawan yang mengambil keuntungan dari proyek tambang emas itu dengan mengorbankan rakyat Papua.
Luhut adalah pensiunan jenderal bintang empat dan mantan Panglima Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat.
Jaksa menyatakan bahwa Luhut memiliki saham di PT Toba Sejahtra Group tapi tak memiliki saham PT Tobacom Del Mandiri. JPU menyimpulkan keterangan Fatia dalam video berdurasi 26 menit 51 detik itu mengandung fitnah dan merupakan pencemaran nama baik.
JPU menyampaikan reaksi Luhut, yang merupakan salah satu figur politik yang paling berpengaruh dalam kabinet Presiden Joko “Jokowi” Widodo, ketika melihat video percakapan antara Haris dan Fatia tersebut.
“Terlihat geleng-geleng kepala, tampak emosi dan menyampaikan ini keterlaluan, kata-kata Luhut bermain tambang di Papua ini tendensius, ‘Tidak benar dan sangat menyakitkan hati saya. Saya merasa nama baik dan kehormatan diri saya diserang,’” kata JPU.
Luhut melaporkan Haris dan Fatia setelah keduanya menolak somasi menteri tersebut agar keduanya meminta maaf dan menghapus konten yang oleh Luhut disebut tidak berdasar itu.
Haris Azhar menyebut apa yang didiskusikannya bersama Fatia mengacu pada riset sejumlah LSM. “Laporannya (tentang keterlibatan perusahaan Luhut di tambang emas Papua) sudah dipublikasi di situs Jatam, KontraS, Walhi, dan lain-lain. Laporan mereka (KontraS) ada sumber datanya,” kata Haris kepada Tempo.
“Menambah catatan hitam demokrasi”
Haris membantah dakwaan JPU.
“Banyak dakwaan yang menurut saya justru fitnah itu,” ujar Haris Azhar setelah menghadiri sidang.
Sedangkan Nurcholis Hidayat, kuasa hukum Haris dan Fatia, meminta agar proses hukum dihentikan, karena tidak memenuhi kualifikasi sebagai tindak pidana.
“Ini adalah kritik ... seharusnya bukan sebuah tindak pidana dan kami tegaskan bukan sesuatu yang jelek, bukan sesuatu yang buruk bagi kejaksaan untuk menegakkan hukum dengan cara menghentikan kasus ini,” kata Nurcholis kepada awak media di PN Jakarta Timur.
Di luar gedung pengadialan, puluhan aktivis HAM menggelar aksi unjuk rasa untuk menunjukkan solidaritas kepada Haris-Fatia. Mereka mengatakan kasus tersebut merupakan contoh pemyelewengan yudisial dan ancaman terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia.
“Kasus ini hanya akan menambah catatan hitam demokrasi di Indonesia,” demikian pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil yang beranggotakan KontraS dan kelompok lainnya. Fatia dan Haris juga menjadi korban pelecehan yudisial di mana “instrumen hukum digunakan untuk mengkriminalkan orang-orang yang aktif mengeluarkan pendapatnya.”
Sementara itu, Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari mengatakan langkah Luhut melaporkan Haris dan Fathia adalah represif.
“Saya menyampaikan hak konstitusional warga negara yang Bapak (Luhut) langgar, Bapak nistakan, dan abaikan. Oleh karena itu kita semua harus kembali jika ada masalah ke UUD untuk menyelesaikan masalah itu, dan upaya-upaya Pak Luhut adalah upaya-upaya yang represif,” kata Feri salah satu peserta aksi solidiaritas itu.
Amnesty International (AI) merilis pernyataan pada hari Senin yang menyerukan agar dakwaan dibatalkan terhadap keduanya.
“Ini adalah contoh nyata bagaimana pembela hak asasi manusia di Indonesia menghadapi represi yang meningkat atas ekspresi damai mereka. Pekerjaan para pembela hak asasi manusia harus dilindungi, bukan ditekan – paling tidak mengingat usulan pencalonan Indonesia untuk keanggotaan Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 2024-2026.
“Oleh karena itu kami mendesak pihak berwenang Indonesia untuk mencabut semua tuduhan terhadap Fatia dan Haris, yang menjadi sasaran hanya karena berdiskusi di YouTube.”
Dalam sebuah laporan yang dirilis pekan lalu, AI mengatakan kebebasan sipil di Indonesia menurun karena pemberlakuan undang-undang yang represif, kekerasan yang terus berlanjut oleh pihak berwenang dalam menanggapi protes, dan tingginya tingkat impunitas.
Laporan itu mengatakan pembela hak asasi manusia, akademisi, jurnalis dan mahasiswa termasuk di antara mereka yang dituntut dan mendapatkan ketidakadilan karena kegiatan mereka yang sah.
Dalam laporan terpisah berjudul “Gold Rush,” Amnesty International pada tahun 2022 mendokumentasikan “peningkatan dramatis” aksi kekerasan termasuk 12 kasus pembunuhan di luar proses hukum dan pembatasan pada penduduk asli Papua, berdasarkan wawancara dengan penduduk setempat yang dilakukan antara Maret 2021 dan Januari 2022.
“Kabupaten Intan Jaya telah menjadi hotspot konflik dan represi,” kata João Guilherme Bieber, peneliti lingkungan di Amnesty International, dalam konferensi pers merilis laporan itu di Jakarta.
“Dengan latar belakang kekerasan, ketidakamanan, dan ketakutan inilah pemerintah Indonesia berencana untuk mengembangkan kegiatan penambangan di Blok Wabu, dan itulah mengapa kami khawatir,” kata Bieber.