Eklin De Fretes: Pendongeng Keliling Bawa Pesan Perdamaian
2018.09.14
Ambon

Ketika pertama kalinya hendak mendongeng, Eklin Amtor De Fretes (27) ditolak mentah-mentah oleh salah satu komunitas suku di hutan Seram, Maluku. Alasannya, karena Eklin calon pendeta. Warga khawatir, dia melakukan Kristenisasi.
Eklin tak menyerah. Hari berikutnya, ia pindah ke wilayah suku lain, meneruskan jalan yang telah dipilihnya: mendongeng perdamaian, kasih sayang, dan toleransi.
“Hari berikutnya, 2 Januari (2018), saya pindah ke salah satu agama suku lain masih di hutan Seram,” tutur Eklin ketika berbincang dengan BeritaBenar di kediamannya di Ambon, Selasa, 11 September 2018.
Pemuda yang lahir di Masohi, Maluku Tengah itu, adalah satu dari lima trainer Living Values Education (LVE) nasional, sebuah pelatihan yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran akan pentingnya persatuan di tengah berbagai perbedaan. Ia ikut pelatihan itu di Bogor pada 2016.
Dengan pengalaman itu, dia menginisiasi kegiatan Youth Interfaith Peace Camp (YIPC) di Ambon, September 2017.
Segregasi menjadi pemicu utama kegiatan ini karena di Maluku, interaksi antaragama hanya terjadi di ruang publik formal seperti kantor, pasar, atau kampus.
“Kami berkemah tiga hari pakai metode LVE di Latuhalat, Ahuru dan Tulehu,” katanya.
Tiga wilayah itu mewakili segregasi di Ambon, yakni Latuhalat yang mayoritas Kristen, Tulehu wilayah Muslim, dan di Ahuru dihuni penduduk dua komunitas.
Dari tak suka jadi pilihan
Keuletan alumnus Interfaith New Generation Initiative and Engagement 2016 itu berhasil membuka dialog antara orang dewasa.
Ia juga ingin merangkul kanak-kanak, namun media khusus yang menargetkan golongan itu belum tersedia.
Ia khawatir kisah sadis konflik diceritakan orang dewasa kepada anak-anak tanpa didasari oleh pengetahuan dan metode yang benar.
Ia tidak mau anak-anak Maluku tumbuh menjadi generasi tersegregasi.
Di beberapa wilayah di Pulau Seram, Eklin mendengar anak-anak masih menggunakan istilah “Acang” dan “Obet”.
Acang berasal dari kata Hasan yang menjadi semacam “kata sandi” bagi warga Muslim saat di Maluku terjadi konflik.
Sedangkan Obet berasal dari Robert yang merupakan penanda warga Kristen. Padahal kedua istilah itu sudah lama hilang dari percakapan sehari-hari masyarakat Maluku.
Meski mengaku awalnya tidak menggemari dongeng, Eklin akhirnya memilih sarana itu untuk menangkal dan menghapus segregasi pemikiran yang keliru.
“Pertama saya tak suka dongeng. Tapi saya kira, LVE punya arah sama dengan dongeng. Kita bisa menghidupkan nilai-nilai dari anak-anak tanpa perlu menggurui. Makanya, saya ambil dongeng,” jelasnya.
Dongengan Eklin lebih bercerita soal pluralisme, kasih sayang, dan mencintai sesama.
“Melalui dongeng, secara tidak langsung saya ingin sampaikan kepada orangtua bahwa daripada kita menceritakan konflik, lebih baik mengisahkan sesuatu yang membangun rasa saling percaya pada anak-anak,” tuturnya.
Dodi
Awalnya, Eklin kesulitan mendongeng. Karena itu, dia butuh teman. Namanya Dodi, boneka berambut hitam dengan mulut terbuka lebar berukuran 50 centimeter.
Eklin tidak langsung menggunakan boneka itu karena belum bisa mengeluarkan suara perut (Ventriloquis).
Ventriloquis juga didefinisikan sebagai seni berbicara tanpa menggerakkan bibir. Suara yang keluar, bersamaan dengan bergeraknya bibir boneka, seolah boneka itulah yang berbicara.
Eklin lalu belajar secara otodidak melalui Youtube. Selama lebih kurang dua minggu, ia sudah bisa mengeluarkan suara dari perut.
10.000 anak
Eklin tidak punya pengalaman traumatik dari konflik 1999 di Maluku yang berlangsung hingga tahun 2002 dan menelan korban jiwa hingga ribuan orang. Ayahnya seorang tentara. Eklin merasa aman di asrama.
Ia hanya mendengar cerita tentang orang-orang terbunuh karena ditembak, dibom, diparangi dan kejadian tragis lain.
Tetapi ia tahu betul, belum semua orang Maluku bebas dari trauma konflik. Termasuk salah satu anggota keluarganya yang mengatakan bahwa tidak akan ke kebun cengkeh – wilayah penduduk Muslim di Ambon – sekalipun diberi uang.
Hal-hal inilah yang terus membakar semangatnya untuk tidak berhenti menyebarkan perdamaian, walaupun banyak tantangan yang harus dilalui.
Lulusan Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) itu juga mendatangi perbatasan Saleman dan Horale – dua desa di Maluku Tengah yang berkonflik pada 2006 dan 2008.
Ratusan anak Horale dikumpulkan di Salamen untuk mendengar dongeng. Kemudian, hari berikutnya, giliran anak-anak Salamen mendatangi Horale.
Horale berpenduduk mayoritas Kristen, sedangkan Saleman mayoritas Islam.
Konflik yang menewaskan empat orang itu dipicu masalah sengketa tapal batas. Setelah konflik 2008, masyarakat kedua desa kembali hidup rukun.
Berhasil di perbatasan Saleman dan Horale, Eklin dan Dodi juga membawakan dongeng bertemakan perdamaian, kasih sayang dan persatuan kepada anak-anak di sekolah umum, sekolah bagi disabilitas, panti asuhan, gereja, masjid, pura, dan vihara. Bahkan, kadang anak-anak Muslim dan Kristen disatukan dalam gereja dan mesjid.
Cerita awal tahun ketika ia ditolak langsung oleh salah satu komunitas saat ia hendak mendongeng, kini, hal itu hanyalah kisah masa lalu. Sejak Januari hingga Agustus 2018, Eklin dan Dodi telah menjajaki 73 titik dan mendongeng di depan sekitar 10.000 anak.