Ketika kisah cinta beda agama terhalang aturan negara

Surat edaran MA yang melarang pernikahan beda agama dinilai sebagai kemunduran bagi Indonesia yang masyarakatnya plural.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2023.07.25
Jakarta
Ketika kisah cinta beda agama terhalang aturan negara Sepasang pengantin mengikuti upacara pernikahan massal lintas agama yang disponsori oleh sebuah organisasi dan pemerintah di Jakarta, 19 Juli 2011. Sebanyak 4.541 pasangan, sebagian besar dari kalangan yang tidak mampu, mengikuti akad nikah massal terbesar di Indonesia itu untuk mendapatkan dokumen resmi pernikahan.
Adek Berry/AFP

Ketika Eugenius Audax Aditya dan Tegar Yudha Restuti memutuskan untuk meneruskan hubungan ke jenjang pernikahan, mereka tahu jalannya tidak akan mudah.

Aditya seorang Katolik dan Restuti muslim. Dan di Indonesia yang mayoritas muslim, pernikahan beda agama adalah ladang ranjau hukum dan sosial.

Pada tahun 2020, Aditya dan Restuti menikah dua kali: satu kali secara Katolik dan sekali lagi Islam. Setelah mencatatkan pernikahan Kristen mereka di kantor catatan sipil, mereka pun menjadi suami-istri yang sah di mata hukum.

Tetapi sebuah peraturan Mahkamah Agung yang terbit baru-baru ini mungkin mempersulit pasangan beda agama lainnya. Pasangan yang sudah terdaftar seperti Aditya dan Restuti pun ikut khawatir, karena keabsahan perkawinan mereka sekarang dipertanyakan.

Pada 17 Juli 2023, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 yang memerintahkan hakim menolak permintaan untuk melegalkan pernikahan beda agama sebagai persyaratan pendaftaran.

“Pengadilan tidak dapat mengabulkan permintaan pendaftaran perkawinan antara orang yang berbeda agama dan kepercayaan,” tulis Mahkamah Agung.

Beberapa aktivis mengatakan, perintah pengadilan itu jelas melanggar hak konstitusional rakyat, seperti kebebasan beragama. Aktivis menilai pengadilan telah menutup mata terhadap keberagaman masyarakat Indonesia – lebih dari 10% dari 270 juta penduduk Indonesia merupakan umat Kristen.

Mahkamah Agung mengutip pasal UU Perkawinan 1974 yang menyatakan perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut peraturan masing-masing agama dan kepercayaan. Pasal ini secara umum diartikan sebagai larangan perkawinan pasangan beda agama.

Namun, pasal itu tidak secara tegas melarang pernikahan beda agama, sehingga pengertian artikel sangat bergantung pada interpretasi, atau siapa yang melakukan interpretasi – maka ladang ranjau.

Celah hukum

Ahmad Nurcholis, Direktur Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP), mengatakan tidak ada pasal dalam UU Perkawinan yang secara tegas melarang pernikahan beda agama. ICRP telah membantu sekitar 1.660 pasangan mendaftarkan pernikahan beda agama mereka sejak 2005.

Banyak hakim progresif di seluruh negeri telah mengabulkan permintaan pendaftaran pernikahan beda agama, kata Nurcholis. Kelompoknya mengadvokasi dialog dan harmoni antaragama.

“Ada pasal bermasalah [dalam undang-undang perkawinan] yang kerap dipahami oleh pejabat negara dan catatan sipil sebagai keharusan pasangan untuk seagama,” katanya kepada BenarNews.

ICRP memfasilitasi pernikahan beda agama dengan memberikan konseling, pendampingan dan pendampingan hukum bagi pasangan yang mengalami kesulitan untuk menikah dan mendapatkan dokumen kependudukan.

Sebelum terbitnya surat edaran Mahkamah Agung itu, para pasangan beda agama memanfaatkan celah hukum dengan cara mendaftarkan pernikahan mereka sesuai salah satu agama yang mengizinkan pernikahan beda agama, misalnya Katolik atau Hindu.

Mereka tidak harus pindah agama, hanya melangsungkan upacara pernikahan sesuai agama itu. Mereka kemudian dapat memperoleh surat bukti perkawinan, yang kemudian dapat mereka gunakan untuk mencatatkan pernikahan mereka di kantor catatan sipil.

Pasangan beda agama, Eugenius Audax Aditya dan Tegar Yudha Restuti (tengah) dengan didampingi oleh keluarga masing-masing melangsungkan pernikahan secara Katolik di Gereja Santo Leo Agung, Jakarta, pada 4 Desember 2020, yang langsung disusul dengan ijab kabul secara Islam di kantor Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP) di  Cempaka Putih, Jakarta. [Foto dok: Eugenius Audax Aditya]
Pasangan beda agama, Eugenius Audax Aditya dan Tegar Yudha Restuti (tengah) dengan didampingi oleh keluarga masing-masing melangsungkan pernikahan secara Katolik di Gereja Santo Leo Agung, Jakarta, pada 4 Desember 2020, yang langsung disusul dengan ijab kabul secara Islam di kantor Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP) di Cempaka Putih, Jakarta. [Foto dok: Eugenius Audax Aditya]

Aditya, 32, berpendapat dia dan istrinya Restuti, 30, tidak boleh terdampak oleh surat edaran Mahkamah Agung itu.

“Perkawinan kami sudah resmi terdaftar dan semua dokumen sudah kami miliki, jadi tidak masalah,” ujarnya kepada BenarNews.

Namun dia mengatakan para tetangga mereka, termasuk ketua rukun tetangga, kembali mempertanyakan keabsahan pernikahan mereka.

Hakim 'salah arah'

Beberapa orang, seperti anggota DPR Susanto, mengatakan bahwa dalam Islam, yang boleh menikahi pasangan beda agama adalah laki-laki, bukan perempuan.

Susanto dari Partai Amanat Nasional telah mendesak Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan pengadilan yang mengizinkan seorang pria Kristen dan seorang wanita muslimah untuk mendaftarkan pernikahan mereka.

Dia mengatakan putusan pengadilan itu bertentangan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005 yang mengatakan pernikahan beda agama dilarang dan tidak sah di Indonesia.

MUI menyambut baik surat edaran Mahkamah Agung.

“Surat edaran Mahkamah Agung tentang tidak sahnya perkawinan beda agama dan larangan mencatatkan perkawinan tidak sah adalah bagian dari penghormatan dan toleransi terhadap ajaran agama,” kata Cholil Nafis, Wakil Ketua MUI.

Seorang politisi dari Partai Keadilan dan Sejahtera, Hidayat Nur Wahid, juga senang, mengatakan itu akan menghentikan hakim yang “salah arah” yang mengeksploitasi celah hukum untuk menyetujui pendaftaran pernikahan beda agama.

Sementara itu pada bulan Januari, Mahkamah Konstitusi mengatakan pernikahan melibatkan kepentingan negara dan agama, dan membantah kritik bahwa pemerintah tidak punya urusan untuk terlibat dalam kehidupan pribadi warga negara.

Komentar ini dibuat saat menolak gugatan terhadap hukum perkawinan yang diajukan oleh seorang pria Katolik yang ingin menikah dengan seorang wanita Muslim.

'Masalah muncul ketika pemerintah ikut campur'

Pasangan beda agama di Indonesia menghadapi banyak rintangan, dan rintangan pertama datang dari orang tua, kata Nurcholis dari ICRP.

Anggota keluarga sering kali tidak ingin anaknya menikah dengan orang yang berbeda agama, katanya.

“Jika mereka bisa mengatasi ini, rintangan selanjutnya adalah menghadapi pengadilan untuk mendaftarkan pernikahan beda agama itu,” katanya.

Aditya dan Restuti menghadapi kedua kesulitan tersebut.

“Keluarga Restuti awalnya tidak merestui hubungan kami. Makanya kami pacaran cukup lama, 10 tahun,” kata Aditya sambil tertawa.

Aryo Pradana, pria muslim berusia 26 tahun di Jakarta, mengakhiri hubungan dengan pacarnya yang beragama Katolik karena masalah yang sama.

Aryo dan pacarnya waktu itu mengira salah satu dari mereka akan pindah ke agama yang lain sehingga mereka bisa menikah, dan kemudian kembali ke agama asal setelah menikah.

“Itu sempat jadi pertimbangan, tapi akhirnya kami memutuskan tidak melanjutkan hubungan,” kata Aryo kepada BenarNews.

Namun beberapa pasangan, seperti Aditya dan Restuti, lebih memilih cinta daripada rintangan apa pun. Mereka bahagia dengan keputusan mereka dan tidak menyesal, kata mereka.

“Perbedaan agama antara saya dan istri saya tidak menjadi masalah,” kata Aditya.

“Masalah muncul ketika pemerintah mencampuri hal-hal yang bukan tugasnya.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.