Ketika Emak-Emak Ramaikan Pilpres 2019

Analis: gerakan ibu-ibu itu bisa menunjukkan adanya kesadaran politik perempuan atau sebaliknya, mereka hanya digunakan sebagai alat politik.
Zahara Tiba
2018.09.21
Jakarta
180920_ID_Ibu_1000.jpg Sejumlah perempuan yang mengatasnamakan Melati Putih Indonesia (MPI) menghadiri deklarasi pemenangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Jakarta, 14 September 2018.
Tyaga Anandra/BeritaBenar

Dalam kantor di sudut perempatan jalan Bilangan Melawai, Jakarta Selatan, sekitar 30 perempuan berjilbab merah muda atau ungu, berkumpul. Mereka mengenakan pakaian seperti disarankan Wulan (43).

Ketua Umum kelompok yang mereka namakan Partai Emak-Emak Pendukung Prabowo-Sandi (Pepes) itu menyapa para perempuan dengan hangat.

Sore itu, Rabu, 19 September 2018, mereka berkumpul untuk mendeklarasi dukungan kepada pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang akan bertarung pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Wulan yang terkenal setelah lantang menyuarakan dukungan Prabowo-Sandi di akun media sosialnya mengaku harus bergerilya, tanpa sepengetahuan rekan-rekan sekantor di sebuah perusahaan multinasional.

"Orang kantor gue rata-rata pendukung Jokowi," ujarnya kepada BeritaBenar, merujuk pada Presiden Joko “Jokowi” Widodo calon petahana yang akan bertarung untuk periode kedua dalam Pilpres 2019. Jokowi berpasangan dengan Ma’ruf Amin.

Pilpres yang diadakan pada 17 April 2019 itu akan digelar bersamaan dengan pemilihan DPR RI, DPRD provinsi, dan kabupaten/kota.

Wulan mengaku telah jadi pendukung Prabowo sejak Pilpres 2014. Keputusannya tidak berubah karena menurutnya sejak Jokowi menjadi presiden, “ekonomi tidak membaik”.

"Semua serba mahal, hidup susah. Tiba-tiba waktu di KPU, Sandi bilang akan merangkul emak-emak. Gayung bersambut deh," imbuhnya.

"Tugas kami mensosialisasikan program Prabowo-Sandi, terutama kepada emak-emak. Kita profesi beda-beda. Bisa lewat pelatihan memasak, bisnis online. Emak-emak nggak bisa diam. Kalau kumpul pasti ada yang dikerjakan. Semua bayar sendiri," tegasnya.

Di kubu Jokowi-Ma’ruf, tokoh emak diwakili Djati Erna Sahara, yang awalnya tak pernah berencana mendukung mantan Gubernur Jakarta itu ketika dicalonkan sebagai kandidat presiden tahun 2014.

Erna mulai jadi pendukung Jokowi setelah melihat kinerjanya saat menjabat Gubernur Jakarta, padahal saat Pilkada dia golput.

“Dulu mengurus perizinan lingkungan bayarnya lumayan mahal. Tapi setelah Pak Jokowi jadi gubernur, gratis,” kata perempuan yang bekerja di salah satu perusahaan konsultan lingkungan hidup kepada BeritaBenar.

“Aku heran kok Jakarta bisa diubah. Saat Jokowi naik sebagai presiden, saya langsung jadi relawannya.”

Kebanyakan aktivitas Erna bergerak di media sosial dan grup-grup layanan pesan singkat, termasuk menjelang Pilpres 2019.

“Saya bangga menjadi warga negara Indonesia. Caranya saya pilih pemimpin qualified, yang bisa menenggelamkan korupsi, memutus tali birokrasi panjang dan berbelit-belit. Beliau (Jokowi), saya lihat sangat bisa,” ujarnya.

Menurut Erna, upaya mendukung Jokowi dua periode tidak akan sesulit sebelumnya.

“Dulu masyarakat banyak yang belum kenal Pak Jokowi. Sebagian besar mereka percaya hoaks dan fitnah yang dilancarkan ke Beliau. Makanya, Jokowi tak terlalu banyak meraih suara walaupun menang,” tutur Erna.

“Jika sekarang yang harus disosialisasikan hasil kerja Beliau. Kita juga menangkis isu-isu yang dikembangkan, yaitu hutang, ekonomi morat-marit, isu jual BUMN dan tenaga kerja asing.”

Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny J.A, awal September lalu menyatakan Jokowi-Ma'ruf  mendapatkan 48,3 persen suara, berbanding 39,5 persen untuk Prabowo-Sandi.

Dua perempuan melakukan swafoto dengan latar belakang Presiden Joko “Jokowi” Widodo di Jakarta, 24 Januari 2016. (Dok. Istana Kepresidenan/AFP)
Dua perempuan melakukan swafoto dengan latar belakang Presiden Joko “Jokowi” Widodo di Jakarta, 24 Januari 2016. (Dok. Istana Kepresidenan/AFP)

‘Istimewa’

“Emak-emak atau ibu-ibu yang turun berpolitik punya kesadaran bahwa penyampaian aspirasi atau isu-isu diperlukan lewat politik praktis,” kata aktivis perempuan, Dewi Candraningrum.

“Jarang-jarang perempuan menjadi sesuatu yang istimewa untuk diperhatikan,” ujarnya.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan jumlah pemilih perempuan pada Pemilu 2019 mencapai 92.602.853 jiwa, sedangkan pemilih laki-laki sebanyak 92.481.776 jiwa.

Dalam kabinet Jokowi, keterlibatan perempuan lebih banyak dibanding kabinet-kabinet pemerintahan sebelumnya. Tercatat delapan dari 42 menteri dijabat perempuan.

Namun di parlemen, kuota 30 persen untuk perempuan belum bisa terpenuhi selama tiga putaran Pemilu.

Tercatat hanya 97 perempuan yang menjadi anggota DPR periode 2014-2019 atau 17,32 persen. Jumlah itu menurun dibandingkan periode 2009-2014, yakni 103 orang.

Keterlibatan perempuan kali ini, lanjut Dewi, bisa berarti dua hal. Pertama, gerakan itu bisa sekadar pemanis dengan memanfaatkan penampilan kandidat.

“Terbukti terpilihnya SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) sebagai presiden karena adanya kata magic, ‘dia jenderal ganteng’. Itu berarti lipstick, kita dikelabui,” ujarnya.

Namun, lanjut Dewi, bukan tak mungkin para calon akan memperhatikan kesejahteraan perempuan.

“Angka kematian ibu melahirkan tertinggi kedua di Asia Tenggara dan ketujuh di dunia. Angka pernikahan anak-anak juga sangat tinggi. Itu problem perempuan yang harus menjadi perhatian mereka,” katanya.

“Jadi bisa dua hal. Seperti mata pedang, bisa membohongi atau bersungguh-sungguh.”

‘Diciptakan’

Sedangkan, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan gerakan emak-emak berpolitik diciptakan untuk menandingi popularitas Jokowi di kalangan milenial dan kalangan kelas menengah.

“Terminologi emak-emak ini diciptakan untuk menggertak bahwa tidak semua kalangan masyarakat, terutama berbasis gender, mendukung Jokowi sepenuhnya,” ucapnya saat diminta komentarnya.

“Belum pernah ada indikator dalam demografi pemilih. Selama ini hanya perempuan dan laki-laki saja, bukan segmen domestik atau nondomestik.”

Wasisto mengatakan jika istilah emak-emak menjadi trend setter pemilu ke depan justru akan menjadi wanprestasi bagi salah satu pasangan, terutama Prabowo-Sandi yang berniat membentuk satuan tugas emak-emak.

“Emak-emak seperti apa yang mereka maksudkan. Ibu-ibu yang berdaster dan yang ke pasar kah? Itu jadi bentuk stereotyping dan patriarki,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.