Lima Puluh Tahun Berlalu, Trauma dan Stigma G30S Masih Membayangi

Heny Rahayu
2015.09.30
Malang
150930_ID_GS30_620.jpg Anggota Gerakan Indonesia Bebas Partai Komunis Indonesia (Gibas PKI) menginjak lambang PKI untuk menolak paham komunis di depan Balai Kota Malang, 17 Agustus 2015.
BeritaBenar

Diskusi dan pemutaran trailer film "Setengah Abad Gendjer-Gendjer" di Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Banyuwangi, Jawa Timur dibatalkan. Acara yang diselenggarakan di Himpunan Mahasiswa Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Untag pada 30 September 2015 itu dibatalkan lewat keputusan pimpinan universitas.

"Menghindari hal yang tak diinginkan karena ada pihak yang keberatan dengan kegiatan itu," keterangan tulis Dekan Bidang Akademik FKIP Untag, Mistawi, kepada BeritaBenar.

Ia menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat Banyuwangi yang telah mendaftar dalam kegiatan tersebut. Pembatalan acara diskusi jelas mengecewakan masyarakat dan peneliti independen, Ika Ningtyas yang menjadi pembicara dalam diskusi tersebut.

Ika menjelaskan sejak setahun terakhir dia tengah meneliti lagu Gendjer-Gendjer bersama Yuda Kurniawan, yang juga sineas, telah menyiapkan trailer film tersebut.

"Pada 29 September 2015, saya membantu promosi kegiatan di sosial media," ujar Ika.

Setelah 30 menit diunggah di Facebook, respon masyarakat cukup bagus. Sebanyak 30 orang mendaftar, namun panitia penyelenggara menghubungi Ika agar melepas poster kegiatan tersebut.

"Panitia dihubungi intelijen dari Polres dan Kodim, saya turuti melepas pengumuman acara itu," ujarnya.

Aparat TNI dan polisi menemui pimpinan Untag. Belakangan, katanya, panitia membatalkan acara. Ika menilai terjadi phobia berlebihan terhadap lagu Gendjer-Gendjer selama rezim Orde Baru diplesetkan sebagai lagu Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dalam film Pengkhianatan G30S/PKI karya sutradara Arifin C. Noer yang diputar setiap tanggal 30 September di era rezim Orde Baru, lagu itu dinyanyikan saat adegan penyiksaan tujuh jenderal di Lubang Buaya.

"Padahal tak literatur yang menyebut lagu ini dinyanyikan saat penculikan pahlawan revolusi," tukas Ika.

Lagu masyarakat Banyuwangi

Lagu Gendjer-Gendjer yang menggunakan bahasa Osing, diciptakan oleh seorang seniman Banyuwangi, Muhammad Arief pada 1943. Lagu itu menceritakan sulitnya kehidupan penduduk Banyuwangi saat penjajahan Jepang. Warga Banyuwangi saat itu memakan genjer, tanaman gulma, di sawah yang biasa dimakan hewan ternak.

Lagu ini digunakan sebagai lagu kampanye PKI pada tahun 1959-1966. Lagu itu juga populer di tangga lagu nasional pada tahun 1962-1965 setelah dinyayikan biduan legendaris Bing Slamet dan Lilis Suryani. Lagu tersebut, kata Ika yang juga jurnalis Tempo, dulu dinyanyikan di kegiatan kenegaraan.

Namun setelah pecah peristiwa 30 September 1965, ketika enam perwira tinggi militer Indonesia dibunuh dalam percobaan kudeta oleh PKI, nasib lagu Gendjer-Gendjer menjadi kelam. Pada bulan Oktober 1965, sang pencipta lagu hilang, dan banyak seniman yang menjadi korban pembunuhan.

Rekonsiliasi NU dan PKI

Jawa Timur adalah salah satu provinsi tempat aksi “pembersihan” terbesar terhadap para anggota PKI, simpatisannya dan orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan komunis sejak bulan Oktober 1965. Sebelumnya pada tahun 1963, sudah terjadi konflik kekerasan antara Nahdlatul Ulama (NU) dengan PKI.

Para sejarawan dan pegiat HAM memperkirakan setengah juta orang dibantai di seluruh Indonesia, dalam berbagai pembunuhan yang baru mereda pada bulan Maret 1966.

Namun Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kabupaten Malang, Hasan Abadi mengatakan, rekonsiliasi antara NU dengan PKI sekarang sudah berlangsung secara alamiah. Di tataran bawah, masyarakat telah saling memaafkan. Tak ada dendam dan terjalin komunikasi harmonis.

"Di bawah tak ada masalah, menjadi guyon bersama," ujarnya.

Justru Hasan memandang phobia menjalari para elite baik kelompok agama maupun kelompok komunis. Mereka saling menyalahkan dan menganggap sebagai korban.

"Korban jiwa di kalangan NU banyak, PKI juga tak sedikit. Berapapun jumlahnya nyawa itu berharga," ujarnya. Hasan berharap agar terjadi rekonsiliasi dan saling memaafkan.

Wakil Ketua Lembaga Pendidikan Kesenian dan Budaya Muslim (Lakpesdam) NU, Agus Sunyoto juga mengatakan di lapangan telah terjadi rekonsiliasi. Kini umat NU dan korban tragedi 1965 hidup berdampingan.

Para anggota Banser, sayap pemuda NU, melakukan protes antikomunis di Blitar, Jawa Timur, 30 September 2015. (AFP)

"Semua sudah tahu Banser ikut membunuh PKI tapi tak dibawah kendali kiai. Mereka dikendalikan tentara," ujarnya.

Di Blitar, katanya, Kiai Abdul Rochim justru mengasuh anak-anak PKI yang menjadi anak yatim piatu. Mereka disekolahkan dan mendapat pendidikan agama. Bahkan sejumlah anak PKI menjadi PNS. Termasuk di Kanigoro, Blitar sejumlah keluarga simpatisan PKI dibina.

"Mereka mengaji dan tahlil bersama," katanya.

Presiden Joko Widodo, kata Agus, tak perlu meminta maaf kepada PKI, Agus khawatir jika permintaan maaf justru dimanfaatkan pihak lain untuk mencari keuntungan, seperti meminta ganti rugi atas kerugian yang mereka alami selama ini. Sejak Orde Baru, orang yang terindikasi berhubungan dengan PKI dikucilkan dan tak bisa menjadi aparatur negara.

Stigma dan pelurusan sejarah

Sukiman, salah seorang korban tragedi 1965 masih mencari keadilan. Dia sempat dihukum penjara tanpa pengadilan. Bahkan masa depannya terancam karena sempat kehilangan pekerjaan. Sebagai tahanan politik, stigma tak hanya dialamatkan kepada dirinya.

"Cucu saya sering diledek teman di sekolah, keturunan PKI," ujar warga Blitar itu.

Sehingga cucunya tak kerasan dan memilih berpindah sekolah lain. Sukiman berharap agar terjadi rekonsiliasi dan dilakukan pelurusan sejarah.

Pakar Sejarah Universitas Negeri Malang Profesor Hariyono menilai dibutuhkan ruang dialog untuk meluruskan sejarah masa lalu. Kedua belah pihak tak boleh mengaku paling benar.

"Mari lihat sejarah secara utuh," ujarnya.

Orang PKI, katanya, selalu melihat pada masa setelah 1965. PKI menjadi orang yang teraniaya dan menjadi korban. Sedangkan orang anti-PKI melihat dalam sudut pandang sebelum 1965. Saat itu, katanya, PKI melakukan kekejaman kepada kelompok lain.

"Tak dewasa, tak ada otokritik," ujar Hariyono.

Jika semua orang bijak dalam berpikir maka akan menghasilkan solusi. Anak keturunan PKI, dibelenggu dan tak bisa bekerja itu tak manusiawi. Sedangkan PKI melakukan kudeta, katanya, itu juga salah.

Sedangkan kajian akademik peristiwa 1965 juga beragam. Ada yang menyebut sebagai pemberontakan PKI dibantu Cina. Ada yang melihat PKI dijebak oleh operasi CIA Amerika. Namun juga ada pendapat peristiwa 1965 sebagai permainan itelijen TNI Angkatan Darat.

"Ada yang menyebut permainan Sukarno," ujarnya.

Untuk itu, dibutuhkan dialog dan diskusi cerdas. Seperti teladan pendiri bangsa yang menetapkan dasar dan sistem Negara melalui cara dialog. Bukan kekerasan seperti yang sering dipertontonkan kelompok yang berbeda ideologi dengan kelompok lain.

Sedangkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) Surabaya beranggapan pelurusan sejarah harus dimulai lewat proses pengadilan.

"Bayangkan ada yang meninggal berstatus tersangka," ujarnya.

KontraS mendorong dibentuk pengadilan HAM ad hoc masa lalu. Pengadilan, katanya, memutuskan siapa yang bersalah, jika tak salah nama baiknya harus direhabilitasi.

Menurutnya, Presiden bisa menerbitkan Peraturan Presiden untuk membentuk komite independen atau komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Jika dibiarkan, katanya, akan terus muncul stigma di masyarakat. Sehingga menimbulkan diskriminasi.

"Saya tak sepakat Presiden meminta maaf."

Fatkhul khawatir, jika permintaan maaf justru menimbulkan impunitas atau pembiaran kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sekaligus menjadi alat legitimasi untuk memutus mata rantai masalah pelanggaran HAM masa lalu.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.