Beribadah di Ruko Sambil Menunggu Selesainya Gereja
2017.05.03
Bekasi

Deretan rumah toko (ruko) di perumahan Taman Wisma Asri, Kecamatan Bekasi Utara, Jawa Barat, pada Minggu pagi itu penuh dengan umat Kristiani yang sedang beribadah.
“Lima gereja dan satu kapel” di lokasi yang sedianya merupakan kawasan komersil dan perdagangan itu, tiga di antaranya mengadakan misa dan kebaktian bersamaan.
Luas beberapa blok ruko yang digunakan untuk satu rumah ibadah Katolik dan rumah-rumah ibadah Protestan dari berbagai denominasi tidak dapat menampung jemaah yang pada akhir minggu perayaan Paskah datang lebih banyak.
Akibatnya, sebagian jemaah Paroki Santa Clara dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Taman Wisma Asri itu, ditampung di jalanan depan ruko.
“Kapel bisa menampung 200 orang. Kalau hari-hari besar, jemaah yang datang sampai 2.000-an, sementara hari Minggu biasa sekitar 700 dan ditampung dalam empat atau lima misa dalam sehari,” ujar Romo Raymundus Sianipar kepada BeritaBenar.
Hari itu, Minggu, 16 April 2017, dia memimpin misa Paskah dan pembaptisan di “kapel” yang menggunakan lantai dasar tiga blok ruko berukuran 180 meter persegi.
Romo Ray berharap pembangunan gereja, yang berjarak kurang dari dua kilometer dari ruko dan sudah tertunda belasan tahun dapat selesai sebelum Natal sehingga sekitar 9.000 anggota paroki di Bekasi Utara bisa merayakan Natal di sana.
Namun usaha membangun gereja seluas 1.570 meter persegi yang dapat menampung 1.200 jemaah membutuhkan waktu hampir 20 tahun sampai mendapat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pada 28 Juli 2015 dari Pemerintah Kota Bekasi.
Salah satu ganjalan pembangunan gereja adalah penolakan dari sebagian warga Muslim setempat. Aksi kelompok penolak pembangunan gereja di Jalan Lingkar Utara itu, yang menamakan dirinya Majelis Silaturahmi Umat Islam Bekasi (MSUIB), berakhir ricuh, 24 Maret lalu.
Administrasi
Pihak gereja mengaku sudah memenuhi semua administrasi yang diperlukan sesuai jalur untuk mendapatkan IMB, termasuk mengumpulkan 90 KTP pengguna rumah ibadah itu serta 60 KTP warga setempat yang mendukung pendirian gereja, seperti diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006 tentang tata cara pendirian rumah ibadah.
“Kami mulai mengumpulkan KTP warga setempat sejak 1996,” tutur Ignatius Sukarman, anggota paroki dan warga Babelan Kota, Kabupaten Bekasi, yang sudah menetap sejak tahun 1977.
Menurutnya, pengembang perumahan pada 1990-an menyediakan dua bidang tanah gereja Katolik dan gereja Protestan masing-masing seluas 200 meter persegi.
Namun ketika di sekitar lokasi tanah yang disediakan untuk gereja muncul spanduk yang berisi tulisan menentang pembangunan gereja, upaya mendirikan rumah ibadah itu pun terhenti.
“Saat itu, jumlah umat belum terlalu banyak,” ujar Ignatius, “namun jumlah jemaah terus meningkat karena baptisan anak-anak dan dewasa, serta migrasi penduduk dari kota-kota lain ke Bekasi.”
Data Badan Pusat Statistik Kota Bekasi menunjukkan laju pertumbuhan penduduk per tahun rata-rata 14,6% dari 2.384.032 pada 2010 menjadi 2.733.240 pada 2015.
Menurut Kantor Kementerian Agama Kota Bekasi, warga Muslim berjumlah 2.141.407 orang, Kristen 195.985, Katolik 71.770 dan sisanya adalah Hindu, Buddha, Konghucu dan aliran kepercayaan lain.
Keberatan
Menurut perwakilan MSUIB, Arifin Abadi, sebagian warga Muslim keberatan dengan gereja sejak IMB diajukan pada 2015 dan sudah mengingatkan pemerintah kota agar pembangunan tidak dilanjutkan.
“Muslim tidak benci dengan umat Kristiani dan tak menghalang-halangi mereka ibadah, namun lokasi gereja berada di antara tiga pesantren dan di RW (Rukun Warga) 11 sementara izinnya ada di RW 06, jadi secara yudisial formal ada pelanggaran,” ujar Arifin ketika dihubungi BeritaBenar.
RW 06 adalah wilayah dimana panitia pembangunan gereja mendapat persetujuan warga, sementara dua dari tiga pesantren dimaksud adalah At-Taqwa yang berjarak sekitar 3,5 kilometer dan An-Nur, kurang lebih 2 kilometer dari lokasi proyek.
Arifin mengatakan pihaknya sudah menyerahkan kepada pemerintah setempat bukti-bukti keberatan mereka.
“Kami tidak paham kenapa pemerintah tidak mau mendengarkan keluhan kami. Mudah-mudahan akan ada kebenaran,” ujarnya.
Kepala Polisi Sektor Bekasi Utara, Kompol. Suroto, mengatakan situasi sudah kembali aman setelah aksi penolakan akhir Maret lalu.
“Administratif pembangunan gereja sudah selesai dan secara hukum tidak ada masalah. Bila ada yang keberatan, silahkan ajukan saja secara hukum,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi juga mengatakan pembangunan gereja berlanjut terus kecuali ada keputusan hukum yang membatalkannya.
“Bila ada yang tidak suka, wajar saja, namun jangan mengganggu kepentingan orang lain,” katanya.
Seorang pekerja mendorong gerobak di lokasi proyek pembangunan Gereja Santa Clara di Bekasi Utara, Jawa Barat, 16 April 2017. (Ismira Lutfia Tisnadibrata/BeritaBenar)
‘Tekanan’
Bekasi adalah satu dari enam daerah di Jawa Barat yang diteliti oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang pelaksanaan kewajiban pemerintah daerah dalam perlindungan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB).
Penelitian yang hasilnya dipublikasikan Maret lalu menemukan salah satu penyebab lahirnya kebijakan melanggar hak atas KBB adalah “kuatnya tekanan dari kelompok intoleran yang tidak menghendaki keberadaan kelompok atau identitas keyakinan tertentu untuk hidup bersama”.
Tekanan itu berakibat tahun lalu dengan adanya kesepakatan pemerintah kota dengan kelompok-kelompok penolak untuk menghentikan aktivitas pembangunan Gereja Santa Clara dan menyetujui proses verifikasi data gereja, meski semua persyaratan pendirian gereja telah lengkap dan IMB gereja telah keluar.
Namun saat laporan ini dikeluarkan, ada perubahan ketika Rahmat menegaskan tidak akan mencabut IMB gereja.
“Seharusnya kita bersyukur, pembangunan gereja bisa menyelesaikan masalah keberadaan rumah ibadah yang tidak layak dan tidak tepat seperti di ruko-ruko tersebut,” ujar Rahmat.