Ketika Penyintas Letusan Gunung Agung Tahun 1963 Kembali Mengungsi
2017.09.27
Klungkung

Wayan Mangku Sumerti masih berumur belasan tahun ketika Gunung Agung meletus sebelumnya tahun 1963.
Saat itu, ia tinggal bersama keluarganya di Dusun Bukit Galah, Desa Sebudi, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Bali.
Ketika gunung berapi setinggi 3.142 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu meletus, desanya terkena semburan abu vulkanik.
Desa Sebudi termasuk dalam radius 9 km dari puncak Gunung Agung yang berada di Kecamatan Rendang, Karangasem.
Begitu letusan terjadi, warga langsung mengungsi, termasuk Sumerti. Dia meninggalkan rumah bersama pamannya.
“Bapak dan ibu tiang (saya) tidak ada. Entah di mana, tiang tidak tahu,” tuturnya kepada BeritaBenar, Rabu, 27 September 2017.
Dari kampungnya, Sumerti bersama paman dan warga lain mengungsi ke Dusun Telaga di Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, dengan berjalan kaki. Kedua desa itu berjarak sekitar 10 km.
“Sepanjang jalan, kami terus kena hujan abu. Seluruh tubuh saya penuh dengan abu,” kenangnya.
Selama lebih setahun, perempuan 67 tahun yang kini memiliki dua anak dan empat cucu itu mengungsi di Sibetan.
Ia kembali ke desa kelahirannya setelah suasana reda dan tinggal di sana hingga saat ini.
Namun, sejak lima hari lalu, Sumerti kembali harus meninggalkan kampungnya setelah Gunung Agung menunjukkan tanda-tanda akan meletus.
Dua minggu terakhir, status Gunung Agung memang naik dengan cepat dari normal menjadi waspada dan terakhir awas.
Bersama keluarga dan tetangganya, Sumerti pun mengungsi ke Gedung Olahraga (GOR) Swecapura di Kabupaten Klungkung.
Ia termasuk dalam puluhan ribu orang yang mengungsi sejak status gunung berapi tertinggi di Bali itu dinaikkan menjadi awas, Jumat malam, 27 September lalu.
Hingga Rabu siang, sebanyak 97.576 warga telah mengungsi di lokasi yang tersebar di 421 titik di seluruh kabupaten dan kota yang ada di Bali. Sehari sebelumnya, pengungsi berjumlah 75.673 orang di 377 titik.
Sungai api
Bagi sejumlah orang, keadaan Gunung Agung saat ini mengingatkan kembali kenangan saat gunung tersebut meletus terakhir kalinya 54 tahun yang lalu.
Ni Nengah Ariani (69), salah satunya. Perempuan warga Denpasar ini menceritakan bagaimana menjelang letusan, rumahnya di Desa Jasri, Kecamatan Karangasem, sekitar 30 km dari puncak gunung, sering bergetar karena gempa. Satu kali, ia bahkan terjatuh dan terluka akibat kuatnya gempa.
“Ini bekas lukanya sampai sekarang masih ada,” tutur ibu empat anak tersebut sambil menunjukkan bekas luka di jidatnya.
Karena gempa makin kuat, Nengah ikut mengungsi bersama orang tuanya ke Kota Amlapura. Namun, ibu kota Kabupaten Karangasem itu juga termasuk wilayah hujan abu setelah Gunung Agung meletus.
Bersama warga lain, ia kemudian mengungsi ke Desa Tegallinggah, berjarak sekitar 5 km dari Amlapura. Sepanjang perjalanan dengan berjalan kaki, mereka melihat dahsyatnya dampak bencana.
“Sungai sudah kayak api. Menyala merah. Mayat-mayat orang mati terbawa arus sungai di mana-mana. Ngeri,” katanya, mengenang sungai penuh lava.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), letusan Gunung Agung pada 1963 menewaskan 1.549 orang, menghancurkan 1.700 rumah, dan 225.000 orang harus mengungsi.
Nengah tak kehilangan keluarga akibat bencana tersebut. Namun, ayahnya meninggal sekitar setahun kemudian.
“Sakitnya batuk-batuk. Mungkin karena kena abu gunung. Zaman itu kan tidak pakai masker,” lanjutnya.
Para pengungsi tidur beralaskan karpet di Gedung Olahraga Swecapura, Klungkung, 23 September 2017.(Anton Muhajir/BeritaBenar)
Penerbangan waspada
Selama tiga hari terakhir, aktivitas vulkanik Gunung Agung meningkat signifikan. Asap dari kawah terpantau mulai naik sampai 200 meter di atas puncak meskipun tidak selalu muncul.
Kondisi Gunung Agung yang masuk fase kritis menyebabkan perubahan status Volcano Observatory Notice for Aviation (VONA) atau Peringatan Pengamatan Gunung Berapi untuk Penerbangan. Sejak Selasa sore, status VONA Gunung Agung dinaikkan menjadi oranye dari sebelumnya kuning.
VONA memiliki empat tingkat warna yaitu hijau untuk normal, kuning untuk gunung yang menunjukkan aktivitas vulkanik, oranye untuk potensi letusan tinggi, dan merah berarti gunung sudah meletus dengan semburan debu vulkanik tinggi.
Tapi, peningkatan VONA tersebut belum berpengaruh terhadap operasional di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali. Hingga Rabu sore, bandara masih tetap beroperasi seperti biasa.
“Selama Gunung Agung belum erupsi dan mengeluarkan debu vulkanik, maka bandara tidak akan tutup,” kata Humas Bandara Ngurah Rai, Arie Ahsanurrohim.
Kementerian Perhubungan telah menyiapkan 10 bandara, yakni Jakarta, Makassar, Surabaya, Balikpapan, Solo, Ambon, Manado, Praya, Kupang, dan Banyuwangi, untuk mengantisipasi kemungkinan penutupan Bandara Ngurah Rai jika terjadi erupsi.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyampaikan hal itu kepada wartawan di sela-sela pembukaan Pertemuan Menteri Perhubungan Asia Eropa di Nusa Dua, Selasa.
Dia juga meminta agar setiap otoritas bandara berkoordinasi dengan instansi terkait.
“Masing-masing otoritas harus berkoordinasi dengan instansi terkait. Contohnya jika turis harus over stay karena kejadian erupsi Gunung Agung, Imigrasi harus memberikan bantuan terkait perpanjangan visa. Untuk kelancaran barang-barang bantuan, saya minta agar berkoordinasi dengan Bea Cukai,” ujar Sumadi.