Pemerintah Tidak Beri Angin Bagi Komunisme

Ismira Lutfia Tisnadibrata
2016.05.20
Jakarta
160520_ID_Communism_1000.jpg Anggota Front Pembela Islam (FPI) membakar bendera komunis ketika menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta, 18 Maret 2001.
AFP

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan bahwa pemerintah tidak akan memberikan angin bagi paham komunisme yang dilarang di Indonesia agar bisa bangkit kembali.

“Pemerintah tidak pernah berniat memberikan peluang pada partai dan ajaran terlarang tersebut untuk hidup lagi,” ujarnya dalam jumpa pers di kantornya, Jumat, 20 Mei 2016.

Menurut dia, sikap pemerintah itu ada dasar hukumnya yaitu pada Tap MPRS No. XXV Tahun 1966, Tap MPR No. 1 Tahun 2003 dan Undang Undang (UU) No. 27 Tahun 1999 yang mengatakan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) termasuk ajarannya adalah partai terlarang.

Luhut menjelaskan waktu yang lama dari tahun 1966 ke 2003 namun menetapkan hal yang sama mengenai larangan PKI dan ajaran komunisme, menunjukkan bahwa posisi Indonesia tidak berubah walau Tap MPRS dan MPR diambil pada periode pemerintahan berbeda.

Pasal 107a di UU No. 27 Tahun 1999 mengatur hukuman maksimal 12 tahun penjara untuk penyebar ajaran komunisme dan pasal 107d ancaman hukuman penjara maksimal 20 tahun bagi yang menyebarkan ajaran tersebut dengan tujuan untuk menggantikan Pancasila sebagai dasar negara.

“Ada benang merahnya, PKI saat itu mau menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Kita tetap melihat ini sebagai bahaya,” ujar Luhut sambil menambahkan bahwa bahaya ini, seperti halnya radikalisme, bisa ditangkal dengan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Rekomendasi simposium

Luhut mengatakan Simposium 1965 yang bulan lalu diselenggarakan adalah upaya untuk menuntaskan tragedi yang terjadi 50 tahun lalu, namun bukan untuk membuka peluang kebangkitan paham komunisme.

Dugaan ada pembantaian massal yang terjadi sudah menjadi isu internasional sehingga pemerintah menilai perlu dituntaskan sehingga Indonesia tidak lagi dikecam oleh dunia internasional.

Tapi Luhut belum bersedia menjelaskan hasil rekomendasi simposium, yang diserahkan kepadanya pada 18 Mei lalu. “Kami lagi pelajari dan akan tentukan akan kami rilis atau tidak [hasilnya],” ujarnya.

Terkait penyitaan buku, kaos, dan lain-lain bertemakan PKI dan komunisme yang akhir-akhir ini dilakukan aparat keamanan, Luhut mengatakan hal itu dilakukan dengan mengacu pada peraturan yang ada. Namun Luhut juga mengingatkan agar aparat tidak melakukannya secara represif.

Perlawanan penyelesaian kasus HAM

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mengatakan pelarangan buku-buku yang dianggap berisi ajaran komunisme tidak lepas dari perlawanan yang menguat atas upaya-upaya penyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu terutama terkait peristiwa tahun 1965.

“Kondisi ini diperburuk dengan ada dukungan militer dan polisi terhadap mereka yang menentang upaya penyelesaian yang sudah jadi agenda negara,” ujar Deputi Direktur Elsam, Wahyudi Djafar, dalam siaran pers yang diterima BeritaBenar.

Ketua Setara Institute, Hendardi mengatakan penyisiran sejumlah toko buku merupakan tindakan dan reaksi berlebihan atas fenomena kebangkitan PKI, yang menurutnya justru diduga diproduksi oleh TNI beraliran konservatif dan berkolaborasi dengan kelompok Islam garis keras.

Komentar ini dikeluarkannya menyusul pernyataan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu belum lama ini bahwa penyebaran atribut PKI harus ditertibkan dan bangkitnya isu PKI sengaja digulirkan oleh pihak-pihak tertentu.

Ryamizard dalam pertemuan dengan persatuan purnawirawan TNI AD dan organisasi masyarakat anti-PKI di Jakarta, Jumat pekan lalu, mengingatkan masyarakat tentang bahaya laten komunis.

Menurutnya, kalau ada pihak menganggap PKI tidak ada, mereka yang beranggapan begitu adalah seorang komunis. “Jadi kita patut curigai itu yang bilang enggak ada (PKI), mungkin dia yang komunis," tegasnya.

Hendardi mengatakan pernyataan Ryamizard ialah “tindakan yang bertentangan dengan nalar publik, mengancam kebebasan berpikir dan berekspresi, serta ilmu pengetahuan.”

“Kebangkitan PKI adalah mitos, karena tidak masuk akal jika kegiatan berkebudayaan untuk mengungkap kebenaran peristiwa melalui film, diskusi, dan kegiatan lain justru dianggap sebagai indikator kebangkitan PKI,” ujar Hendardi dalam pernyataan yang diterima BeritaBenar.

Dia menambahkan semua kegiatan itu untuk meyakinkan negara agar mengambil sikap dan penyelesaian atas pelanggaran berat HAM masa lalu.

“Semua langkah itu adalah tugas konstitusional dan legal yang melekat pada pemimpin bangsa, siapapun presidennya,” ujar Hendardi.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.