Polri Tingkatkan Status Kasus Red Notice Djoko Tjandra

Polisi menduga ada tindakan korupsi setelah memeriksa 15 orang.
Rina Chadijah
2020.08.06
Jakarta
200806-ID-Crime1000.jpg Warga negara A.S. Marcus Beam, yang ditangkap karena tuduhan penipuan sebesar $500.000 terhadap klien dan perempuan yang dia kenal dari internet, diperlihatkan ke media di Polda Bali di Denpasar, 24 Juli 2020.
(AFP)

Markas Besar Kepolisian meningkatkan status kasus penghapusan perintah penangkapan Interpol terhadap buron kasus Bank Bali Djoko Tjandra, ke penyidikan setelah menemukan dugaan tindak pidana korupsi, namun belum ada seorang pun tersangka yang ditetapkan dalam kasus tersebut.

Kepada Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Inspektur Jenderal Argo Yuwono mengatakan, keputusan itu diambil pihak Direktorat Tindak Pidana Korupsi Mabes Polri, setelah melakukan gelar perkara.

"Setelah melakukan gelar perkara bahwa dalam proses penyelidikan yang telah dilakukan oleh Direktorat Tipikor bahwa hasilnya kemarin, Rabu 5 Agustus, kasus ini dinaikkan pada tahap penyidikan,"  kata Argo, dalam keterangannya di Markas Besar Polri, Kamis 6 Agustus 2020.

Djoko kabur ke luar negeri setelah dia divonis bersalah dalam kasus hak tagih Bank Bali pada 2009 silam, dan berhasil ditangkap kembali di Malaysia pada 13 Juli 2020.

Selama pelariannya, Djoko masuk dalam daftar nama orang yang dicari interpol tapi tidak berhasil ditangkap, meski jejak bisnisnya terdeteksi di Malaysia dan Papua Nugini.

Pada pertengahan Juni ia kembali ke Indonesia untuk mengurus gugatan Peninjauan Kembali kasusnya ke Pengadian Jakarta Selatan, mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan membuat pasport baru.

Belakangan diketahui ia bebas keluar masuk Indonesia, karena namanya tidak lagi masuk dalam perintah tangkap [red notice] Interpol. Hilangnya nama Djoko dalam daftar buron polisi internasional itu ikut menyeret nama Brigadir Jenderal Nugroho Slamet Wibowo, sebagai Sekretaris National Central Bureau Interpol Indonesia.

Dia menyurati Imigrasi pada 5 Mei 2020, memberitahukan bahwa nama Djoko telah terhapus dalam daftar tersebut. Belakangan Kapolri mencopot Nugroho dari jabatannya. Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte ikut dicopot karena diangap lalai mengawasi bawahannya.

Argo mengatakan, penyidik telah meminta keterangan 15 orang sebagai saksi tanpa merinci siapa saja mereka. Ia hanya mengatakan kasus ini masuk dalam dugaan tindak pidana penerimaan hadiah oleh penyelenggara negara terkait. Dugaan tindak pidana itu diyakini telah terjadi pada Mei hingga Juni.

Argo juga mengatakan polisi juga telah berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan dalam menelusuri  dugaan aliran dana dalam kasus ini.

"Jadi ini setelah ditentukan ke tingkat penyidikan tentunya nanti penyidik tipikor Bareskrim akan menindak lanjuti," kata Argo.

Sebelumnya Argo mengatakan, Polri tidak pernah menarik red notice untuk Djoko dari Interpol, tapi penghapusan terjadi secara otomatis setelah lima tahun.

Namun pernyataan Argo itu dibantah Sekretaris NCB Interpol Indonesia periode 2013-2015 Irjen (Purn) Setyo Wasisto, yang mengatakan bahwa red notice Djoko masih aktif hingga akhir dia menjabat.

"Logikanya begini, kalau tahun 2014 sudah terhapus, kenapa pada 2020 istri Djoko Tjandra minta penghapusan red notice? Nah itu logikanya," katanya sebagaimana dikutip kompas.id

Polri kini juga tengah menyidik keterlibatan jendral Polri dalam membantu memuluskan urusan Djoko saat kembali ke Indonesia untuk mengurus dokumen Peninjauan Kembali kasusnya.

Kasus ini menjerat mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo. Ia menerbitkan surat jalan bagi Djoko sebagai konsultan Mabes Polri, agar Djoko bisa terbang ke Pontianak dan mengurus surat bebas COVID-19, sebagai syarat untuk berangkat dengan pesawat.

Selain dicopot dari jabatannya, Prasetijo juga terancam hukuman maksimal 6 tahun penjara.

Selain Prasetijo, polisi juga telah menetapkan pengacara Djoko, Anita Kolopaking, sebagai tersangka terkait penggunaan surat palsu dan tuduhan upaya membantu buronan.

Tukar guling Buron

Sementara itu, Mabes Polri mengkonfirmasi akan segera melakukan proses tukar guling buron asal Indonesia yang ditangkap di Amerika Serikat  - dan Indra Budiman dan Sai Ngo NG – dengan  buron asal A.S. ditangkap di Indonesia, Marcus Beam.

Indra buron kasus penipuan dan money laundry penjualan Condotel Swiss Bell di Bali pada September 2012 hingga Agustus 2014. Sementara Sai Ngo NG adalah buron kasus korupsi pengajuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) fiktif ke Bank Jatim pada tahun 2011 hingga 2012.

"Keduanya tengah menjalani hukuman terkait pelanggaran imigrasi berupa overstay," Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono dalam teleconfrence dengan wartawan hari Rabu.

Sementara Beam, yang ditahan di Bali karena kasus produksi film porno, adalah buronan A.S. dalam kasus penipuan investasi di Amerika Serikat.

Menurut Awi, proses tukar guling buron itu juga telah disepakati kedua belah pihak.

"Atase Polri KBRI Washington DC telah berkomunikasi dengan US Marshall Service (USMS), untuk proses selanjutnya,” katanya.  

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.