Setahun Setelah Diresmikan, Masyarakat Papua Belum Rasakan Manfaat Ekonomi Pelabuhan Jayapura
2022.01.24
Jayapura

Pelabuhan Peti Kemas Depapre di Jayapura yang ditargetkan pemerintah pusat sebagai hub perdagangan internasional di Indonesia Timur dan pendukung perekonomian Papua, masih belum menunjukkan kesibukannya melayani aktivitas keluar masuk barang satu tahun sejak diresmikan.
Pelabuhan Depapre yang dibangun selama lima tahun dan menelan anggaran Kementerian Perhubungan hingga Rp175 miliar itu, sejauh ini hanya berfungsi melayani kapal-kapal kecil yang berlayar dari Merauke ke Jayapura, ungkap Bupati Jayapura Mathius Awoitau.
“Kalau pelabuhan ini berjalan seperti yang direncanakan, pelabuhan ini bukan hanya menjadi hub di Pasifik. Pelabuhan ini bisa menekan kemahalan harga di Papua. Dan akan memberikan manfaat ekonomi yang besar bagi penduduk lokal,” kata Mathius kepada BenarNews, Senin (24/1).
Pelabuhan Depapre yang diresmikan Mathius pada 28 Januari 2021 itu, berdiri di atas lahan 24,83 hektare dari total 74 hektare yang direncanakan. Pekerjaan reklamasi seluas 15,67 hektare juga telah rampung. Pelabuhan dilengkapi empat dermaga di area teluk yang teduh.
Pelabuhan akan melayani rute tol laut yang menghubungkan Papua dan Papua Barat.
Bila keseluruhan lahan yang direncanakan selesai dikerjakan, pelabuhan ini diklaim bakal menjadi yang terbesar di Asia Pasifik dan diproyeksikan sebagai hub penghubung penting bagi jalur perdagangan internasional di kawasan.
Akan tetapi, Mathius melihat target-target pemerintah pusat akan kehadiran pelabuhan itu masih jauh dari harapan, termasuk tujuan pembangunan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua.
“Ada sekitar 200 warga lokal yang sudah direkrut untuk bekerja di pelabuhan tersebut. Tapi sekarang mereka tidak bisa bekerja karena pelabuhan belum beraktivitas seperti diharapkan,” kata Mathius.
Persoalan lainnya adalah infrastruktur penunjang berupa akses jalan ke pelabuhan yang masih belum bisa dilalui kendaraan pengangkut barang. Mathius mengatakan, ruas jalan Sentani-Depapre sepanjang 24 kilometer saat ini masih dalam kondisi rusak berat. Bukan hanya tidak layak dilalui truk, tetapi juga membahayakan pengemudi dan pengguna jalan.
“Ada yang meninggal di jalan, bahkan ada juga yang terpaksa melahirkan di jalan,” ujar Loisa Yerisitouw, seorang warga Kampung Wanya, Distrik Depapre kepada BenarNews.
Struktur dan kondisi jalan di ruas jalan tersebut semakin parah akibat bencana banjir bandang pada 2019. Tidak adanya perbaikan membuat banyak material batu dan pasir dari bukit yang terbawa banjir tertinggal di jalan raya.
Kondisi jalan juga berlubang dan curam karena melewati jurang dengan kondisi yang menanjak dan menurun.
Pada 2016, Gubernur Papua Lukas Enembe menerbitkan Keputusan Gubernur yang menetapkan status ruas jalan Sentani - Depapre sebagai jalan provinsi yang selanjutnya mengalihkan tanggung jawab atas ruas itu kepada pemerintah provinsi.
Pada tahun yang sama, Presiden Joko “Jokowi” Widodo juga telah memerintahkan jajarannya untuk melakukan perbaikan infrastruktur jalan saat berkunjung ke proyek pembangunan Pelabuhan Deprape.
Akan tetapi, perbaikan jalan yang dikerjakan perusahaan konstruksi Papua, PT Bintuni Energi Persada dan PT Manbers Jaya Mandiri, macet karena tersandung kasus korupsi meski pengadilan mengatakan putusannya telah berkekuatan hukum tetap sehingga proses penanganan bisa dilanjutkan.
Bupati Mathius mengatakan ia sudah berulang kali menyurati dan menemui pemerintah provinsi dan pemerintah pusat untuk membahas kondisi di ruas jalan ini tetapi tidak pernah menemukan solusi terang. Pemerintah kabupaten sebetulnya berharap pengelolaan pelabuhan bisa ditangani oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Helson Siagian, Tenaga Ahli Utama sekaligus Koordinator Tim Infrastruktur Kedeputian I Kantor Staf Presiden, mengatakan KemenPUPR telah berkomitmen untuk mendorong agar pembangunan jalan ke Depapre sudah dapat dimulai tahun ini.
Dia mengatakan Pemda harus mengubah status jalan dari provinsi menjadi jalan nasional agar Kementerian PUPR dapat segera memulai pengerjaan.
“Tentunya dengan pilihan ruas tersebut harus ada komitmen dari provinsi untuk memenuhi kesiapan kriteria agar jalan provinsi tersebut dapat ditingkatkan menjadi jalan nasional,” ujar Helson kepada BenarNews.
Pembebasan lahan
Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas II Jayapura, Rony Fahmi, membenarkan operasional Pelabuhan Depapre masih terkendala oleh pembangunan dan perbaikan infrastruktur pendukung di sekitarnya.
Rony belum bisa memastikan kapan akses infrastruktur dan jembatan akan diperbaiki. Ia hanya mengatakan Kementerian Perhubungan dan pemangku kepentingan terkait lainnya, akan menggelar rapat evaluasi kegiatan di Pelabuhan Depapre pada pekan depan.
“Ini akan akan rapatkan hari Senin (24/1), juga dengan perusahaan pelayaran yang menangani tol laut dan kapal perintis terkait kelanjutan kapal-kapal yang bisa masuk ke Pelabuhan Depapre,” kata Rony kepada BenarNews.
Terkait pembangunan infrastruktur pendukung, Rony mengatakan problem yang dihadapi saat ini adalah proses pengambilalihan tanah ulayat yang belum menemukan titik kesepakatan atas nilai jualnya.
“Saat ini ada kendala terkait hak ulayat pemilik tanah dengan pemerintah daerah yang mengakibatkan pemilik tanah meminta kejelasan dari pemerintah daerah terkait status pembayaran yang kurang,” kata Rony.
Di sisi lain, ia juga mengakui saat anggaran untuk mendukung keseluruhan program belum ditetapkan oleh pemerintah pusat.
“Belum adanya anggaran untuk dilakukan pemeliharaan aset-aset yang dibangun dengan APBN, dikarenakan aset tersebut baru masuk sebagai aset tetap KSOP pada Desember 2021,” katanya.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi saat pembahasan percepatan strategi pengembangan Pelabuhan Depapre pada pekan lalu, mengatakan pelabuhan ini bagi kapal peti kemas dan kapal penumpang perintis di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Ia menegaskan kembali pelabuhan ini akan menjadi hub bagi wilayah Indonesia Timur.
“Papua memiliki banyak potensi komoditas mulai dari ikan, rumput laut, kayu, dan sebagainya. Dengan upaya tersebut akan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat Papua dan juga dapat mengoptimalkan kinerja kapal tol laut karena tidak akan ada kapal kargo yang kosong,” kata Budi.
Sejak status Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat diperpanjang pada Juli tahun lalu, Pemerintah Pusat kerap mengungkapkan komitmennya untuk membangun sumber daya manusia di provinsi paling timur itu.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga menegaskan percepatan pembangunan harus dirasakan orang asli Papua (OAP). Untuk mencapai hal itu, pemerintah pusat telah menerbitkan Inpres Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Ma’ruf mengatakan strategi percepatan pembangunan bertumpu pada lima kerangka kebijakan. Pertama, pembangunan SDM unggul; kedua, transformasi dan pembangunan ekonomi; ketiga, pembangunan infrastruktur dasar; keempat, pelestarian kualitas lingkungan hidup; dan kelima, tata kelola pemerintahan.
La Ode, seorang sopir angkutan, mengatakan jalan rusak menuju Depapre juga menyebabkan kendaraan cepat rusak sehingga dia harus mengeluarkan banyak uang membeli suku cadang baru.
“Saya pernah membawa pasien yang hendak bersalin dari Depapre ke Rumah Sakit Yowari. Kondisi jalan yang rusak, mau cepat, mau lambat serba salah,” ujarnya.
“Akhirnya ibu itu melahirkan di pertengahan jalan menuju Maribu. Setelah proses bersalin selesai, kami lanjutkan perjalanan menuju Yowari,” kata La Ode.
Ronna Nirmala di Jakarta berkontribusi pada tulisan ini.