Aktivis Pro-Kemerdekaan Papua Disidang Pekan Depan dalam Kasus Makar
2021.08.17
Jakarta

Victor Yeimo, aktivis pro-kemerdekaan Papua yang didakwa melakukan makar terkait kerusuhan dua tahun silam akan menjalani sidang pada pekan depan, kata pengacaranya, sehari setelah satu pengunjuk rasa mengalami luka tembak ketika polisi membubarkan paksa aksi menuntut pembebasan Yeimo.
Empat orang ditahan sementara satu lainnya menjalani perawatan medis akibat luka tembakan saat unjuk rasa pada Senin oleh ratusan warga dan aktivis memperingati dua tahun aksi anti-rasisme dan menuntut pembebasan Yeimo, kata aktivis dan tokoh gereja.
Yeimo ditangkap awal Mei dan berkas pemeriksaannya telah dilimpahkan kepolisian kepada Kejaksaan Negeri Jayapura pekan lalu. Juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB) ini mkenghadapi tuduhan makar, perusakan lambang negara, hingga penyelundupan senjata.
Kuasa hukum Yeimo dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Gustav Kawer, mengatakan sesi sidang pertama kliennya dijadwalkan 24 Agustus.
Kawer mengatakan kondisi kesehatan kliennya menurun sejak ditahan dengan diawali keluhan pada dadanya dan ditambah belakangan batuk darah.
“Dengan kondisi kesehatan seperti ini tetap dipaksakan untuk sidang. Kami lihat ini seperti mengejar target saja, tanpa mementingkan kualitas sidangnya akan seperti apa,” kata Gustav kepada BenarNews.
Bila terbukti bersalah, Yeimo bisa mendapat hukuman penjara dua tahun hingga seumur hidup.
Unjuk rasa
Seorang pengunjuk rasa, Ferianus Asso (29), mengalami luka tembak di perut akibat tembakan yang diarahkan petugas saat pembubaran massa dalam aksi yang digelar di Kabupaten Yahukimo pada Senin.
“Ferianus sampai saat ini masih menjalani perawatan di rumah sakit di Yahukimo,” kata Jefry Wenda, juru bicara Petisi Rakyat Papua kepada BenarNews.
Jefry mengatakan aparat sempat menahan sedikitnya 48 warga dan aktivis di Yahukimo dalam pembubaran massa. Dari jumlah itu, empat di antaranya masih berada di tahanan Polres Yahukimo.
“Alasan penangkapan karena mereka yang mengerahkan aksi demonstrasi kemarin. Yang ditahan semua dari Yahukimo, kalau di Jayapura tidak ada yang ditahan,” kata Jefry.
Sementara, Juru Bicara Polda Papua Ahmad Musthofa Kamal mengatakan seluruh tahanan telah dibebaskan sejak kemarin. “Sudah tidak ada lagi yang ditahan,” kata Kamal kepada BenarNews.
Di Kota Jayapura, Ketua Umum Komite Nasional Pembebasan Papua Barat (KNPB) dan bekas tahanan politik, Agus Kossay, mengalami luka di bagian kepala akibat pukulan dari popor senjata milik aparat kepolisian.
“Mereka juga siram kami dan kemudian pukul kami pakai popor senjata sehingga berdarah-darah, tapi sekalipun dipukul, dibunuh, kami tetap lawan, rasisme kami lawan, kolonialisme kami lawan, kapitalisme kami lawan,” kata Agus dalam rekaman video yang diterima BenarNews.
Kapolresta Jayapura Kota Kombes Gustav R. Urbinas mengatakan pembubaran massa dilakukan karena aksi tidak mengantongi izin resmi dan berseberangan dengan kebijakan pembatasan mobilitas publik untuk memutus penyebaran COVID-19.
Gustav dalam keterangan tertulis mengklaim massa melakukan perlawanan saat dibubarkan, “sehingga anggota harus mengambil tindakan tegas untuk memukul mundur kelompok tersebut agar tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat.”
Namun Agus mengatakan izin telah disampaikan sejak tiga hari sebelum aksi dilakukan.
Agustus 2019, ribuan warga dan aktivis menggelar unjuk rasa di beberapa titik di Papua dan beberapa kota lain seperti Surabaya dan Maluku, yang dipicu oleh perlakuan rasis dari aparat dan sejumlah organisasi massa lokal kepada mahasiswa Papua di asrama mereka di Surabaya.
Aksi unjuk rasa berlangsung selama hampir sebulan dan berujung kerusuhan yang menewaskan sedikitnya 40 orang tewas dan melukai puluhan lainnya.
Sedikitnya 13 aktivis dan pelajar Papua dihukum karena menaikkan Bintang Kejora, bendera kelompok separatis, dalam unjuk rasa itu. Mereka dihukum antara sembilan hingga 11 bulan penjara dengan dakwaan makar, termasuk Yeimo yang segera disidangkan.
Dalam aksi unjuk rasa Senin, massa menuntut pembebasan Yeimo karena tudingan yang diarahkan kepadanya tidak mendasar dan tidak ada bukti bahwa dirinya melakukan makar.
Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, Socratez S. Yoman, mengecam keras tindakan kepolisian yang membubarkan massa dengan kekerasan.
“Penguasa Indonesia sepertinya telah kehilangan hati nurani, akal sehat, dan tumpul kreativitas serta inovasi karena sekarang terbukti dengan pendekatan kekerasan menggunakan alat Negara menjadi jalan penyelesaian masalah ketidakadilan dan kejahatan kemanusiaan di Papua,” kata Yoman dalam keterangan tertulisnya.
Negara sendiri membuat kebuntuan dan menciptakan masalah-masalah baru yang semakin rumit dan menjadi spiral,” katanya.
Pemeriksaan kesehatan
Sementara itu, pengacara Yeimo, Gustav, mengatakan permintaan tim kuasa hukum agar Yeimo diperiksa kesehatannya secara menyeluruh tidak pernah dikabulkan.
Saat ini Yeimo mendekam di rumah tahanan Mako Brimob Polda Papua yang disebut Gustav semakin memperburuk kondisi kesehatan kliennya karena ruangan yang minim pencahayaan, sirkulasi udara buruk, dan berlokasi persis di samping septic tank.
Kuasa hukum telah mengajukan surat kepada kejaksaan untuk memindahkan Yeimo ke Lembaga Pemasyarakatan Abepura namun juga tidak kunjung mendapatkan respons.
Gustav mengatakan kliennya memang telah menjalani dua kali pemeriksaan sejak ditahan yakni pada 17 Mei di ruang Provos Mako Brimob, kedua pada 17 Juni di RS Bhayangkara Polri Jayapura, dan baru-baru ini oleh dua tim medis yang dibawa Ketua DPRD Papua ke tahanan.
Tapi keseluruhannya hanya berupa pemeriksaan luar, tidak pernah menyeluruh dan belum ada hasil yang jelas terkait kondisi kesehatan kliennya.
“Kami menduga tim dokter ini tidak independen. Kita sangat khawatir nanti hasilnya dibawa ke pengadilan tapi tidak sesuai dengan kondisi Yeimo yang sebenarnya,” katanya.
Sementara itu, juru bicara Polda, Kamal, mengatakan kondisi kesehatan Yeimo saat ini baik-baik saja dan kepolisian telah memenuhi hak yang bersangkutan untuk diperiksa.
“Dia baik, sudah diperiksa oleh dokter RSUD, bukan dari Polri, dan didampingi pengacaranya juga,” kata Kamal melalui pesan singkat.
Kepala Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Papua Frits Ramandey mengatakan pihaknya berencana akan mengajukan pembataran penahanan untuk Yeimo setelah ada hasil pemeriksaan kesehatan resmi dari RSUD Jayapura.
“Kalau ditemukan ada penyakit bawaan, Komnas akan menyurat ke kejaksaan agar penahanannya dibantarkan,” kata Ramandey, dikutip dari Jubi.
Tim kuasa hukum mengajukan persidangan Yeimo digelar secara langsung untuk menghindari gangguan sinyal yang bisa menghambat upaya kliennya mengungkap kebenaran.
“Bila sidang jadi dilangsungkan, kami mengajukan untuk tidak online, terbatas saja ruang sidangnya. Yang penting kami hadir di sana dan menyerahkan semua bukti yang ada,” kata Gustav.