Aktivis Pro-Kemerdekaan Papua Dirawat, Sidang Kasus Makar Ditunda

Polda Papua membantah pihaknya menghalangi pemenuhan hak kesehatan Victor Yeimo.
Ronna Nirmala
2021.08.31
Jakarta
Aktivis Pro-Kemerdekaan Papua Dirawat, Sidang Kasus Makar Ditunda Aktivis Papua melakukan unjuk rasa di Surabaya, 1 Desember 2020, menandai hari ulang tahun Organisasi Papua Merdeka.
AFP

Aktivis pro-kemerdekaan Victor Yeimo yang menghadapi kasus dugaan makar terkait kerusuhan pada tahun 2019 di Papua sedang menjalani perawatan di rumah sakit atas keluhan sakit paru-paru, mengakibatkan ditundanya persidangan dirinya hingga yang bersangkutan sehat, demikian jaksa dan kuasa hukumnya pada Selasa (31/8). 

Perawatan Yeimo di Rumah Sakit Umum Jayapura yang dimulai Senin malam mengakitbatkan penundaan sidang perdana yang dijadwalkan berlangsung Selasa , setelah sebelumnya telah dua kali tertunda.

“Penangguhan penahanan diberikan agar terdakwa Victor Yeimo menjalani pengobatan rawat inap,” kata Adrianus Tomana, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jayapura, melalui pesan singkat kepada BenarNews, Selasa. 

Adrianus mengatakan penahanan lanjutan Yeimo akan dilakukan setelah kondisi kesehatannya membaik. 

Yeimo, juru bicara internasional untuk Komite Nasional Papua Barat (KNPB), organisasi yang bertujuan untuk diadakannya referendum untuk kemerdekaan Papua dari Indonesia , menghadapi tuduhan makar, pelecehan simbol negara dan penyelundupan senjata, demikian menurut polisi.

Jika tuduhan tersebut terbukti ia bisa terancam hukuman dua tahun penjara hingga seumur hidup.

Kuasa hukum Yeimo, Gustav Kawer, mengecam tidak segeranya aparat setuju untuk menunda persidangan bagi kliennya walaupun kondisi kesehatannya memburuk.

“Jaksa awalnya tetap mau persidangan jalan seperti biasa dan terdakwa tetap dalam tahanan,” kata Gustav kepada BenarNews. “Mungkin mereka inginkan orangnya mati dalam tahanan.” 

Kamis pekan lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jayapura mengeluarkan surat penetapan pembantaran untuk Yeimo karena menilai kondisi kesehatan terdakwa yang tidak mendukung untuk menjalani persidangan dengan acara pembacaan dakwaan itu. 

Dalam salinan surat yang diterima BenarNews, Majelis Hakim mempertimbangkan hasil pemeriksaan dari RSUD Jayapura yang menyebutkan kondisi kesehatan Yeimo memerlukan tindakan emergensi dengan rawat inap dan konsultasi dengan spesialis empiema kandung empedu. 

“Majelis Hakim mengabulkan permohonan Penasehat Hukum terdakwa untuk dilakukan penangguhan penahanan atau pembantaran dengan jaminan orang,” tulis surat yang ditandatangani Hakim Ketua Eddy Soeprayitno, dan dua hakim anggota lainnya. Surat tersebut juga menjelaskan bahwa pembataran bisa dicabut jika terjadi pelanggaran oleh terdakwa.

Yeimo menjadi tahanan Rutan Mako Brimob Polda Papua sejak penangkapan dirinya pada 9 Mei 2021. Namun, sejak berada dalam tahanan, kondisi kesehatannya terus menurun dengan keluhan di bagian dada serta batuk yang disertai muntahan darah. 

Gustav mengatakan Yeimo memiliki riwayat penyakit paru yang semakin rentan dengan kondisi ruang tahanan yang minim pencahayaan, sirkulasi udara buruk, dan berlokasi persis di samping septic tank sehingga bau menyengat sangat mudah tercium.

Menurutnya, keluhan kesehatan Yeimo tidak pernah ditindaklanjuti dengan baik oleh pihak kepolisian maupun permintaan pembataran agar tim pengacara membawa Yeimo untuk pemeriksaan menyeluruh di rumah sakit juga tidak pernah dikabulkan kejaksaan. 

Baru pada Jumat dua pekan lalu, Polda Papua akhirnya membawa Yeimo ke RSUD Jayapura untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan menyeluruh. Hasil pemeriksaan tersebut yang kemudian diserahkan kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jayapura. 

Salinan hasil pemeriksaan yang diterima BenarNews menunjukkan Yeimo memiliki riwayat Hepatitis B dan perawatan sakit paru pada 2011. Kepada dokter, Yeimo mengeluhkan batuk dengan darah hitam kemerahan, demam, nyeri kepala kiri, sesak napas dan kadang disertai nyeri ulu hati. 

Gracia Y. V. Damboa, dokter yang memeriksa, mendiagnosis Yeimo dengan penyakit asam lambung (GERD), bronkritis kronis dengan diagnosis pembanding pneumonia atau TB Paru. 

Tidak boleh dihalangi

Wakil Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, menyayangkan lambatnya respons kejaksaan dan kepolisian dalam menindaklanjuti kondisi kesehatan Yeimo yang membutuhkan penanganan serius dan segera. 

“Kami bersyukur akhirnya sudah dirawat, tapi kami juga menyayangkan kenapa proses ini lambat sekali. Karena kita sudah tahu kondisi kesehatannya seperti apa, betapa urgennya situasi Victor Yeimo,” kata Wirya melalui sambungan telepon. 

Wirya mengatakan aparat terkait perlu memastikan pemenuhan hak kesehatan Yeimo selama menjalani rawat inap di rumah sakit. “Bila ada upaya yang menghalangi, itu bisa menjadi perlakuan yang tidak manusiawi dan kejam,” katanya. 

Pihaknya kembali menegaskan bahwa Yeimo tidak seharusnya berhadapan dengan hukum karena apa yang dilakukannya dua tahun silam hanyalah upaya menyampaikan pandangan secara damai yang juga dilindungi oleh UUD 1945. 

Yeimo dituduh berada di belakang kerusuhan dalam protes massal warga Papua dan Papua Barat kepada pemerintah Indonesia pada tahun 2019 mengecam tindakan rasis yang ditujukan kepada penduduk asli di wilayah dua provinsi paling timur Indonesia itu.

Dalam kerusuhan itu setidaknya 40 orang meninggal dunia.

“Penahanannya menjadi bentuk pelanggaran terhadap hukum HAM internasional serta konstitusi Indonesia sendiri. Apalagi kondisi kesehatannya tidak baik, ini sudah semakin genting untuk dibebaskan secepatnya,” kata Wirya. 

Juru bicara Kepolisian Daerah Papua (Polda) Papua Kombes Ahmad Musthofa Kamal membantah pihaknya menghalangi pemenuhan hak kesehatan Yeimo, “pemeriksaan kesehatan selalu diberikan, yang terakhir pun diantar langsung oleh Kapolda dan (hasilnya) sudah diserahkan ke pengadilan.” 

Pada Senin, ratusan orang menghampiri Kantor Kejaksaan Tinggi Papua menuntut agar Yeimo segera dibebaskan dan dirawat di rumah sakit, tulis laporan media lokal Papua, Jubi. 

Massa yang berkumpul sejak pukul 10.00 waktu setempat, dibubarkan oleh kepolisian pada pukul 13.00. 

Pertengahan Agustus, ratusan orang di Jayapura dan Yahukimo, Papua, juga menggelar unjuk rasa mendesak aparat membebaskan Yeimo dari tahanan.

Seorang pengunjuk rasa, Ferianus Asso (29), meninggal dunia setelah menjalani perawatan intensif akibat peluru yang diduga ditembakkan aparat di bagian perutnya saat pembubaran unjuk rasa di Yahukimo.

Ketua Umum KNPB Agus Kossay mengatakan akan meminta pertanggungjawaban Kepala Kepolisian Resor Yahukimo atas insiden tersebut. 

“Kami sedang berkoordinasi dengan keluarga dan teman-teman advokat di Papua. Dari sisi hukum, kami minta Kapolres diadili. Kami akan umumkan perkembangan upaya itu kepada publik,” kata Agus singkat.

Di Kabupaten Yahukimo juga, dua pekerja pembangunan Trans-Papua ditemukan tewas pada 22 Agustus lalu. Kelompok separatis bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM), mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut.

Sejak Papua bergabung dengan Indonesia pada tahun 1969 melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di bawah peninjauan PBB, wilayah yang kaya sumber daya alam namun penduduknya relatif masih tertinggal dibandingkan dengan wilayah Indonesia lainnya itu tidak pernah sepi dari konflik antara kelompok separatis dan aparat pemerintah.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.