Pekerja migran Indonesia tuntut keadilan atas pemenjaraan cacat hukum di Malaysia
2022.08.19
Jakarta

Pekerja migran Indonesia Sabri Umar menceritakan bagaimana dia dicambuk dengan tongkat rotan dan dipukuli oleh polisi setelah dia ditangkap oleh otoritas Malaysia pada bulan April karena dituduh bekerja tanpa dokumen sah.
Kisah Sabri, 31, mengemuka setelah pengadilan banding Sabah membatalkan hukuman penjara 11 bulan yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri di Tawau setelah dia ditahan selama tiga bulan.
Sabri, yang mengatakan telah bekerja di Malaysia sejak 2006, bertekad akan terus mengupayakan keadilan dan pemulihan nama baiknya.
"Saya menuntut semua yang terlibat dalam kasus saya diproses hukum," ujar Sabri kepada BenarNews pada Kamis (18/8).
"Saat persidangan, hakim juga menyuruh saya untuk mengaku memiliki paspor yang telah mati," tambahnya.
Sabri ditangkap pada 5 April tahun ini atas tuduhan melakukan pencabulan terhadap anak perempuan di bawah umur, namun belakangan malah didakwa bekerja di Malaysia tanpa paspor resmi.
Pria asal Bone, Sulawesi Selatan, itu divonis 11 bulan penjara serta lima cambukan rotan oleh Pengadilan Negeri Tawau pada 19 April.
Dia mengajukan banding dan dinyatakan Pengadilan Tinggi Sabah tidak bersalah atas dakwaan pada 22 Juli, tapi Penjara Tawau telah melaksanakan hukuman cambuk pada 23 Juni.
Tindakan itu disebut pegiat hak asasi manusia Malaysia sebagai kesalahan lantaran seseorang baru dapat dicambuk saat putusan banding telah terbit.
Sepanjang penyidikan oleh kepolisian lokal, Sabri juga mengaku mendapat beragam perlakuan tidak manusiawi seperti dipukul dan ditendang di lengan, dipukul menggunakan buku di kepala, serta dipaksa mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya.
Menurut Sabri, rangkaian peristiwa sejak April itu meninggalkan trauma baginya. Selain tekanan saat pemeriksaan, hari eksekusi juga mengukir luka berbeda. Sebanyak 35 pesakitan kala itu digiring satu demi satu ke papan berkaki tiga serupa penyangga lukisan yang menjadi tempat pencambukkan. Sabri mendapat giliran kelima.
Mereka yang dicambuk ditelungkupkan ke papan dengan hanya mengenakan handuk untuk menutup area vital serta kedua tangan diikat terentang.
Eksekusi yang bergilir itu, terang Sabri, membuat ia seperti dipaksa menonton setiap lecutan kepada pesakitan lain. Beberapa orang disebutnya bahkan menangis saat dicambuk.
"Saya enggak berani melihat. Menunduk saja, mendengar orang berteriak. Suara itu bikin yang membikin trauma," katanya
Saat giliran tiba, Sabri mengatakan dia hanya terus-terusan merapal doa.
"Saya hanya menyerahkan semua kepada Tuhan. Saya merasa seperti tidak ada tenaga (setelah dicambuk). Bekas cambukannya memutih, beberapa menit kemudian berdarah," kata Sabri.
"Beberapa hari setelah eksekusi, saya masih suka terbangun di malam hari, mengingat peristiwa pencambukan rotan."
Foto: Sabri Umar (Courtesy of Sabri Umar)
Suara Sabri bergetar kala mengulang rangkaian peristiwa tersebut.
Tuduhan pencabulan itu, terang Sabri, bermula saat ia terjatuh dari kursi lalu menubruk anak perempuan 14 tahun di kompleks Fu Yee Corporation, sebuah perusahaan kayu lapis tempat ia pernah bekerja selama tujuh tahun.
Sabri mengatakan dia dicokok polisi Tawau beberapa hari setelah dipecat dari Fu Yee Corporation, usai ia mengaku hubungan dengan atasannya memasam karena ia bergabung dengan Sabah Timber industry Employees Union (STIEU).
Dibantu serikat, Sabri bersama 30 pegawai lain kala itu menuntut pembayaran dua bulan gaji yang tertunggak pada April dan Mei 2020, berjumlah total 2.200 ringgit.
Perusahaan, terang Sabri, kemudian sempat menawarkan karyawan yang melancarkan protes --termasuk Sabri-- untuk menerima pembayaran berjumlah setengahnya dengan catatan meneken perjanjian.
Sabri menolak dan melanjutkan, "Sejak saat itu majikan marah kepada saya."
BenarNews menghubungi Fu Yee Corporation ke nomor yang tertera di situs perusahaan untuk meminta konfirmasi, tapi tak beroleh balasan.
Seorang pegiat hak asasi Malaysia, Charles Hector Fernandez, mengatakan penegak hukum di Malaysia memang telah berlaku serampangan dalam menangani kasus Sabri.
Dalam penyelidikan dan penyidikan, misalnya, aparat hukum di Tawau terkesan mengarang kasus untuk menjerat Sabri, kata Fernandez.
Perilaku aparat hukum Malaysia kedua terjadi saat hukuman cambuk dilaksanakan sementara proses banding masih berlangsung, kata Fernandez.
"Pencambukan semestinya menunggu banding. Tuduhan tanpa dokumen resmi juga sangat salah. Ia punya dokumen yang proper dan sudah menunjukkannya," kata Fernandez kepada BenarNews.
Sabri kini berada dalam perlindungan Konsulat Jenderal Indonesia di Tawau, Sabah, sembari menunggu keadilan di Malaysia.
Fernandez menambahkan, pihaknya akan mengirimkan banding ke Mahkamah Tinggi Malaysia pada Jumat dan telah menyurati sejumlah kementerian untuk mengadukan beragam hal yang dilalui Sabri, tapi belum beroleh jawaban.
Ia juga telah mendaftarkan gugatan ke Industrial Relation Department (IRD) untuk pemulihan nama Sabri setelah diputus tak bersalah oleh Pengadilan Tinggi Sabah dan Sarawak.
Menteri Ketenagakerjaan Malaysia Murugen Saravanan dikutip dari situs berita Malaysiakini mengatakan akan bersikap adil dalam menyikapi gugatan Sabri.
"Saya akan menginstruksikan Direktur Jenderal IRD untuk mempelajari kasus ini secara hati-hati dan bersikap adil kepadanya (Sabri). Kasusnya akan diperlakukan secara adil dan sesuai undang-undang," kata Saravanan seperti dikutip Malaysiakini.
Salah seorang pejabat Konsulat Jenderal Indonesia di Tawau yang enggan menyebutkan namanya kepada BenarNews menyayangkan aparat hukum Malaysia yang tidak melapor ke konsulat jenderal terkait kasus Sabri sehingga konsulat terlambat memberikan pendampingan hukum.
"Meski tidak ada kewajiban memberitahu, seyogiyanya kan memberitahu," ujarnya.
Terkait bantuan terhadap Sabri, konsulat akan terus mendampingi hingga nama Sabri terpulihkan, sembari memantau kondisi kesehatannya. Konsulat juga akan mengusahakan perpanjangan izin tinggal Sabri yang habis per 24 Agustus 2022.
"Kami mengusahakan perpanjangan karena masih banyak usaha Sabri untuk mencari keadilan yang harus dilakukan," kata pejabat tersebut.
Malaysia memang masih menerapkan hukuman cambuk terhadap 60 kejahatan, termasuk memasuki Malaysia secara ilegal dan membuat paspor palsu.
Amnesty Internasional Malaysia mencatat setidaknya 10 ribu orang dihukum cambuk di Malaysia saban tahun, mayoritas warga negara asing.
Pengacara publik berbasis di Kota Kinabalu, Michelle Rossana, menyerukan Malaysia untuk menghentikan praktik tidak manusiawi tersebut dengan mengadopsi Konvensi UN tentang menolak Penyiksaan dan Tindakan atau Hukuman yang Mendegradasi Kemanusiaan.
"Pemerintah juga perlu meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights," kata Rossana, seperti dikutip Malaysiakini.