IDI Tolak Jadi Eksekutor Kebiri

Ismira Lutfia Tisnadibrata
2016.06.10
Jakarta
160610_ID_castration_1000a.jpg Seorang peserta Malam Solidaritas Korban Kekerasan Seksual di Jakarta, 13 Mei 2016, yang digelar untuk mengenang 40 hari kepergian Yuyun, anak perempuan di Bengkulu yang tewas diperkosa 14 laki-laki.
AFP

Bentuk hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak kembali mendapat penolakan. Kali ini, datangnya dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang menolak menjadi eksekutor kebiri.

Dalam pernyataan, Kamis, 9 Juni 2016, IDI menyarankan pemerintah mencari bentuk hukuman lain sebagai sanksi tambahan karena atas dasar keilmuan dan bukti-bukti ilmiah, kebiri kimia “tidak menjamin hilangnya hasrat dan potensi perilaku kekerasaan seksual pelaku”, selain melanggar kode etik kedokteran.

Seperti diketahui, Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada 25 Mei 2016 lalu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak atau yang lebih dikenal dengan Perppu Kebiri. Perppu itu dikeluarkan setelah maraknya kasus pemerkosaan dalam beberapa bulan terakhir di Indonesia.

Dalam Perppu itu mengatur hukuman tambahan antara lain kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Selain itu ada juga hukuman mati dan seumur hidup. Ada juga sanksi pemasangan chip serta pengumuman identitas pelaku.

“Dengan ada sanksi kebiri kimia yang mengarahkan dokter sebagai eksekutor, didasarkan pada fatwa Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran (MKEK) Nomor 1 tahun 2016 tentang Kebiri Kimia, sumpah dokter serta Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), lDl menyampaikan agar tidak melibatkan dokter sebagai eksekutor,” ujar Ketua Umum IDI, Ilham Oetama Marsis, dalam pernyataannya.

Namun IDI menegaskan bahwa pihaknya tetap mendukung ada hukuman yang seberat-beratnya terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak.

Respon positif

Kelompok-kelompok advokasi hak asasi manusia memberikan respon positif atas sikap IDI, tapi mereka menegaskan bahwa hal itu bukan berarti tak mendukung hukuman berat dan upaya penghapusan kekerasan seksual, terutama atas anak.

“Kami menyambut baik sikap IDI karena (hukuman kebiri) bertentangan dengan prinsip anti-penyiksaan, hak hidup dan tidak konstitusional,” ujar Masruchah, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) kepada BeritaBenar, Jumat, 10 Juni 2016.

Muhammad Hafiz, Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) yang diminta tanggapannya menyatakan sikap IDI merupakan sinyalemen bahwa proses pembuatan Perppu Kebiri tak partisipatif dan tidak mempertimbangkan aspek-aspek yang terkait secara matang.

“Perppu ini adalah gambaran bahwa dalam prosesnya, pemerintah tidak melakukan kajian serius terhadap bagaimana hukuman itu akan dilaksanakan,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Hafiz menambahkan ini seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk membuka peluang partisipasi publik sebesar-besarnya dalam setiap pengambilan keputusan, sehingga kebijakan yang dikeluarkan dapat menyasar permasalahan dengan tepat dan implementatif.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono, mengatakan bahwa pemerintah sejak awal seharusnya lebih terbuka dalam proses pembuatan Perppu Kebiri dengan mencari masukan dari banyak pihak, termasuk pakar medis dan psikis.

“ICJR memandang surat IDI ini merupakan pukulan telak kepada pemerintah. Pernyataan IDI ini telah membulatkan kesimpulan bahwa Perppu 1 Tahun 2016 tidak didasarkan pada kajian dan analisis ilmiah yang mendalam,” ujar Supriyadi dalam pernyataan tertulis yang diterima BeritaBenar.

Minta pertimbangkan lagi

Sementara itu, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) meminta IDI agar mempertimbangkan kembali sikapnya karena tujuan kebiri adalah untuk melindungi korban kekerasan seksual dan keputusan memberlakukan hukuman itu sudah mempertimbangkan banyak hal, termasuk sisi kemanusiaan.

"Kami menghormati kode etik IDI. Cuma yang penting marilah berpikir untuk kebaikan para korban kekerasan seksual. Kebiri diterapkan agar tidak jatuh korban lebih banyak. IDI seharusnya melihat dari sudut pandang itu," ujar Deputi Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak di Kemenko PMK, Sujatmiko seperti dikutip Kompas.com.

Sedangkan, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang sejak awal mendorong hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual mengatakan pihaknya menghormati sikap IDI.

“Itu hak mereka sebagai dokter untuk pegang teguh kode etik tapi mereka tidak punya wewenang untuk menolak Perppunya,” ujar Arist Merdeka Sirait, ketua Komnas PA kepada BeritaBenar.

Pius Lustrilanang, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Komisi IX yang membidangi masalah kesehatan juga berpandangan sama dengan mengatakan bahwa IDI boleh saja mengambil sikap tersebut.

“Eksekutor nantinya tidak harus dokter. Bisa perawat atau tenaga medis lain selain dokter,” ujar politisi Partai Gerindra itu ketika diminta tanggapannya.

Menurut Arist, siapa yang akan menjadi eksekutor kebiri akan tergantung pada perintah hakim di pengadilan dan tak semua pelaku kekerasan seksual terhadap anak akan mendapatkan hukuman tersebut.

Dia menambahkan bahwa hakim yang akan menentukan apakah seorang pelaku akan dikenakan hukuman tambahan kebiri berdasarkan catatan kejahatannya.

Pihak pengadilan, kata Arist, akan berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan sebagai pihak yang ditugaskan untuk menunjuk eksekutor atas perintah hakim.

“Selama ini belum bisa dicari, maka hukuman kebiri belum bisa dilaksanakan,” ujar Arist.

Maksimalkan hukuman

Masruchah dari Komnas Perempuan mendorong aparat penegak hukum untuk memaksimalkan hukuman yang ada dengan menjatuhkan hukuman maksimal dari berbagai peraturan perundangan yang telah ada.

Alasannya dalam berbagai kasus yang sudah diproses, hukumannya cenderung tidak maksimal dan bahkan bisa berkurang karena berkelakuan baik di penjara, kata dia.

lDl mengatakan terus mendorong keterlibatan dokter dalam rehabilitasi korban dan pelaku dengan memprioritaskan pemulihan korban demi mencegah dampak buruk dari trauma fisik dan psikis yang dialami. Sementara rehabilitasi pelaku untuk mencegah kejadian serupa terulang.

“Kedua penanganan rehabilitasi ini membutuhkan penanganan komprehensif yang melibatkan berbagai disiplin ilmu,” ujar Ilham.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.