Indonesia-Australia Bertekad Pangkas Aliran Dana Terorisme

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mengatakan badan tersebut sudah menjadi bagian tim khusus yang dibentuk PPATK untuk memutus rantai pendanaan terorisme.
Tia Asmara
2017.02.02
Jakarta
170202_ID_terror_funding_1000.jpg Menko Polhukam Wiranto (kanan) dan Jaksa Agung Australia George Brandis (dua dari kanan) menggelar jumpa pers bersama usai mengadakan pertemuan di Jakarta, 2 Februari 2017.
Tia Asmara/BeritaBenar

Pemerintah Indonesia dan Australia bertekad memotong aliran dana yang ditujukan untuk melakukan kegiatan radikalisme dan aksi terorisme.

“Kami membincangkan masalah pendanaan terorisme dan bagaimana kita bersama Australia mencoba memotong jalur pembiayaan itu,” ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto kepada para wartawan usai pertemuan dengan delegasi Australia di Jakarta, Kamis, 2 Februari 2017.

Beberapa isu lain yang dibahas dalam pertemuan ini antara lain berlanjutnya ancaman terorisme, upaya menghadapi foreign terrorist fighters (FTF), cara menangkal kejahatan financing terrorism, countering violence extremism beserta program deradikalisasi.

Menurut Wiranto, terorisme bisa hidup karena adanya pembiayaan dari berbagai pihak. Makanya, kedua negara terus mempererat kerja sama untuk mencari tahu sumber dana itu berasal.

“Bukannya menuduh, saya kira pada perkembangan saat ini aliran dana bisa mengalir dari mana saja. Dengan teknologi yang ada, sudah banyak langkah kedua negara yang terbukti mampu untuk memotong pembiayaan dana terorisme,” jelasnya.

Seperti diketahui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan aliran dana dari sejumlah pihak di Australia untuk jaringan radikal di Indonesia. Dana ini disalurkan 97 kali melalui berbagai cara baik perseorangan maupun kelompok.

Saat itu, disebutkan bahwa ada pihak di Australia mengirimkan dana sebesar sekitar Rp88,5 milliar kepada sejumlah kalangan jaringan teror yang ada di Indonesia.

Beberapa negara yang juga tercatat mengirimkan dugaan pendanaan terorisme antara lain Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Singapura, Korea Selatan, dan Thailand.

Jaksa Agung Australia, George Brandis, menyebutkan salah satu cara paling efektif untuk menekan terorisme adalah dengan menghancurkan dan menyerang asal aliran dana.

“Dengan bekerja sama saya yakin kedua negara akan bisa mematahkan asal aliran dana terorisme,” katanya.

Ia menambahkan bahwa pertemuan yang diinisiasi Desember 2015 itu menjadi aspek penting dalam hubungan bilateral Indonesia-Australia di bidang hukum dan keamanan.

Tim khusus

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius, mengatakan pihaknya sudah menjadi bagian tim khusus yang dibentuk PPATK untuk memutus rantai pendanaan terorisme dari berbagai negara.

“Setiap ada laporan pasti diverifikasi terlebih dahulu apakah dari perseorangan, kelompok ataupun yayasan, termasuk itu (Australia) kami akan verifikasi. Hasilnya saya tidak bisa ungkap,” katanya.

Sebelumnya diberitakan bahwa PPATK telah menyerahkan 105 hasil analisis transaksi keuangan yang diduga terkait terorisme kepada penyidik sejak Januari 2013 hingga November 2016.

Dalam periode yang sama, PPTAK juga mendapatkan 267 laporan transaksi keuangan mencurigakan dari penyedia jasa keuangan.

Selama tahun 2016 lalu, ada 25 transaksi mencurigakan yang terdeteksi. Angka itu meningkat dari 12 kasus pada 2015.

Tahun 2014, PPATK mendeteksi 26 transaksi mencurigakan. Sedangkan pada 2013 ditemukan 13 transaksi dan tahun 2012 terdeteksi 33 kasus.

Laut China Selatan

Isu lain yang dibahas kedua negara adalah juga mengenai dinamika keamanan kawasan Laut China Selatan.

Terkait soal itu, Wiranto menegaskan sikap Indonesia untuk mendorong penyelesaian dengan cara damai.

“Kita bersama juga bertukar pandangan mengenai perkembangan dinamika keamanan kawasan dan pentingnya menjaga stabilitas. Kami mendorong semua negara di sekitar Laut China Selatan menghormati hukum laut internasional,” katanya.

Ia menegaskan Indonesia bukan negara yang memiliki masalah perbatasan di Laut China Selatan (claimant state) karena Indonesia punya keyakinan tidak punya overlapping mengenai batas kawasan itu dengan negara lain.

“Kami sepakat apapun yang terjadi, sebagai negara kawasan kita harus bersama-sama menjaga stabilitas kawasan terutama jangan sampai permasalahan Laut China Selatan menimbulkan konflik yang mengganggu antarnegara karena akan mengganggu ekonomi kawasan,” pungkas Wiranto.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.