Indonesia tetapkan target emisi sektor listrik untuk pendanaan energi hijau Rp318 triliun
2023.11.01
Jakarta

Indonesia menurunkan target emisi karbon dari sektor listrik pada 2030, seraya menetapkan target pembangkit energi terbarukan yang lebih tinggi, dengan memanfaatkan pembiayaan dari kelompok negara maju sebesar $20 miliar (Rp318 triliun) untuk menghentikan penggunaan batu bara, demikian sebuah laporan perencanaan yang diterbitkan pada Rabu (1/11).
Berdasarkan rencana tersebut, yang dirilis untuk ditinjau publik, Indonesia bertujuan untuk mengurangi emisi karbon sektor ketenagalistrikan menjadi 250 juta metrik ton pada 2030, turun dari 290 juta ton yang disepakati pada November lalu ketika Kerja Sama Transisi Energi yang Berkeadilan untuk Indonesia (Just Energy Transition Partnership/JETP Indonesia) diluncurkan. Rencana tersebut tidak mencakup pembangkit listrik tenaga batu bara.
Pemerintah Indonesia dan negara-nagara maju yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) kemudian mengembangkan Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (CIPP), di mana Indonesia menargetkan 44 persen dari pembangkitan energi terbarukan pada 2030 dan emisi bersih nol pada 2050.
IPG terdiri dari pemerintah Jepang dan Amerika Serikat, yang merupakan salah satu pemimpin kemitraan, dan Kanada, Denmark, Uni Eropa, Jerman, Perancis, Norwegia, Italia, serta Inggris.
“CIPP adalah dokumen yang akan diperbarui setiap tahun untuk mencerminkan kondisi perekonomian global terkini dan prioritas pembangunan dalam negeri,” kata Edo Mahendra, kepala sekretariat JETP di Indonesia.
Dokumen tersebut menguraikan strategi untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara, meningkatkan sumber energi terbarukan, dan memodernisasi jaringan listrik. Hal ini juga bertujuan untuk memastikan transisi yang adil dan inklusif yang meminimalkan dampak buruk secara sosial dan ekonomi dari peralihan ke energi ramah lingkungan.
Versi final dari rencana tersebut diharapkan dapat diluncurkan di Indonesia sebelum konferensi tingkat tinggi terkait perubahan iklim Conference of Parties (COP) 28, yang akan diadakan di Dubai, Uni Emirat Arab akhir tahun ini, kata sekretariat JETP.
Indonesia setuju untuk membatasi emisi sektor ketenagalistrikan sebesar 290 megaton CO2 pada tahun 2030 berdasarkan kesepakatan JETP. Jakarta juga sepakat untuk mempercepat pemanfaatan energi terbarukan sehingga setidaknya bisa mencakup 34 persen dari seluruh pembangkitan listrik pada tahun yang sama.
Seorang pejabat Amerika mengatakan pada saat itu bahwa ini adalah “kemitraan investasi iklim dengan satu negara spesifik yang terbesar.”
Indonesia sangat bergantung pada batu bara untuk pembangkit listrik, yang menyediakan lebih dari 60 persen pasokannya. Batu bara juga merupakan sumber pendapatan dan lapangan kerja utama bagi banyak masyarakat Indonesia.
CIPP mengidentifikasi lima bidang prioritas untuk investasi, seperti pengembangan jaringan transmisi dan distribusi penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara, percepatan penerapan energi terbarukan, dan peningkatan rantai nilai energi terbarukan.
Dokumen ini juga mengusulkan kebijakan untuk mendukung transisi energi, seperti reformasi aturan kandungan lokal, perbaikan proses pengadaan, penyesuaian insentif sisi pasokan, dan memastikan perusahaan listrik milik negara PLN berkelanjutan secara finansial.
Dipertanyakan, komitmen pemberian dana
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana mengatakan porsi hibah dari negara-negara IPG harus lebih banyak daripada pinjaman karena yang dipertaruhkan adalah perubahan iklim.
“Khawatirnya mereka juga belom punya komitmen untuk memberi dana,” jelas Andri kepada BenarNews, menambahkan bahwa kelompok tersebut harus segera menyalurkan dananya ke Indonesia.
Selain itu, Andri mengatakan JETP seharusnya lebih banyak melibatkan pemerintah daerah dalam menyusun CIPP, sebab aparatur daerah adalah ujung tombak dalam menjalankan transisi energi.
“Pemerintah daerah sendiri bahkan enggak ada yang mengetahui soal CIPP, walaupun sudah ada Perpres transisi energi yang menyerahkan persoalan itu kepada pemerintah daerah,” ujar Andri.
Andri juga menyoroti masa dua pekan untuk memberikan masukan yang dinilai terlalu pendek, padahal pemerintah daerah dan komunitas selama ini belum banyak dilibatkan.
“Khawatirnya karena masukannya masih belum belum komprehensif atau belum sempurna, nanti malah akan menjadi alasan untuk memperlambat realisasi pendanaan,” jelasnya.
Cari alternatif selain JETP
Pengamat energi Universitas Gadjah Mada Fahmi Radhi mengatakan Indonesia harus bisa mencari pendanaan pembangunan sumber energi bersih lebih bervariasi, tidak hanya dari JETP.
“Maka untuk transisi energi jangan terlalu berharap dari JETP, karena belum jelas. Perlu dikembangkan sumber dana selain JETP yang bisa digunakan untuk transisi energi,” ujar dia kepada BenarNews.
Alternatif pembiayaan yang bisa dilakukan menurut Fahmi meliputi investasi dari perusahaan swasta maupun BUMN, perdagangan karbon, maupun pembiayaan hijau atau mencari dana bunga murah untuk proyek-proyek energi bersih.
“Pembangunan listrik energi baru terbarukan itu dari sisi investasi sangat profitable. Return of investment-nya baru. Tapi perlu dukungan pemerintah seperti kemudahan perizinan, insentif sehingga investor bisa masuk. Tidak hanya mengandalkan dana JETP,” ujar Fahmi.
Menurut Fahmi, proyek yang perlu dikembangkan antara lain pengembangan energi panas bumi, di mana Indonesia mempunyai potensi energi panas bumi yang besar namun belum optimal pemanfaatannya.
Aspek keadilan JETP
Pada pekan lalu, gabungan masyarakat sipil, termasuk Celios, Trend Asia, Indonesian Center for Environmental Law, Walhi Indonesia dan Yayasan Indonesia Cerah meluncurkan laporan penelitian yang menyoroti soal aspek keadilan, tata kelola, dan implementasi dokumen investasi JETP di Indonesia
Beyrra Triasdian, Manajer Renewable Energy Portfolio Trend Asia, mengatakan transisi energi perlu fokus pada percepatan energi terbarukan yang dilakukan dengan prinsip pada penghormatan hak-hak dan persetujuan masyarakat lokal yang menjamin keterjangkauan akses, penguatan ekonomi, dan energi berkelanjutan.
“Energi terbarukan berbasis komunitas menjadi pilihan yang nyata, akan tetapi masih terkendala dari kurangnya pengembangan kapasitas, kelembagaan, pendanaan dan ketidakselarasan kebijakan,” ujar dia.
Nazarudin Latif berkontribusi dalam berita ini