Polisi Selidiki Keberadaan Pendukung ISIS di Maluku
2017.07.06
Ambon

Kepolisian Daerah (Polda) Maluku menyelidiki keberadaan pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di provinsi itu menyusul ada laporan warga setempat yang mendukung kelompok teroris tersebut.
“Polri sikapi apa yang disampaikan. Jadi, tidak tinggal diam. Kalau sudah ada, pasti sudah terpantau dan ketangkap,” kata Kabid Humas Polda Maluku, AKBP Richard Tatuh kepada BeritaBenar di Ambon, Kamis, 6 Juli 2017.
Sebelumnya, Bupati Buru Selatan, Tagop Saulisi pernah menyatakan keberadaan militan pendukung ISIS di daerahnya. Ia mengaku telah berkoordinasi dengan aparat keamanan setempat guna menindaklanjuti informasi tersebut.
Komandan Komando Laskar Jihad ketika konflik komunal Maluku 1999-2000, Ustaz Jumu Tuani mengatakan, Maluku dan Maluku Utara menjadi sasaran doktrinisasi paham radikalisme dan pergerakan terorisme, karena merupakan daerah bekas konflik.
Selain itu, tambahnya, masih banyak mantan kombatan jihad yang menyimpan senjata api dan menguasai teknik perakitan bom.
“Momen ini dipakai ISIS sebab banyak orang Islam di Ambon yang mantan kombatan, sudah banyak berafiliasi ke ISIS,” katanya kepada BeritaBenar.
Jumu yang kini menjadi staf ahli bidang dakwah Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) mengklaim Februari lalu, ada rencana teroris datang ke Ambon, ibukota Maluku, untuk mengebom rumah ibadah. Lalu, menyebar provokasi agama, karena ingin konflik terjadi lagi di Maluku.
“Lima bulan lalu, ada anggota ISIS mau datang ke Ambon. Tujuannya membom gereja, supaya orang Kristen marah. Setelah itu bom masjid, supaya orang Islam marah dan katakan, bahwa ini orang Kristen balas dendam, maka terjadilah konflik. Karena mereka mendambakan konflik di Ambon lagi,” papar Jumu.
Namun, rencana itu berhasil dideteksi oleh dia bersama mantan pasukan jihad yang kini memerangi terorisme dan radikalisme di Indonesia. Informasi yang didapat diteruskan ke Densus 88 untuk mengambil langkah sigap.
“Calon pelaku pengeboman sudah ditangkap di Bekasi sebelum datang ke Ambon,” katanya.
Serangkaian aksi yang berhubungan dengan ISIS pernah terjadi di Ambon. Agustus 2014, tim intelijen Kodim 1504 Pulau Ambon menangkap dua pemuda karena diduga terkait jaringan teroris. Aparat menyita barang bukti berupa buku-buku dan bendera ISIS.
Lalu, Februari 2017, aksi teror terjadi di Ambon seperti penemuan bahan pembuatan bom dan teror surat atas nama ISIS.
Setelah itu, 15 Juni 2017, selebaran perekrutan ISIS terpasangan di pusat perbelanjaan Maluku City Mall (MCM). Selebaran itu berisi tulisan “Dicari Untuk Menjadi Anggota ISIS”.
Terkait selebaran ini, polisi belum berani menyatakan bahwa anggota ISIS di Ambon dan beberapa daerah lainnya di Maluku.
“Sampai sekarang belum jelas. Kita masih lakukan penyelidikan. Kita belum bisa katakan (ISIS) ada di sini ya. Karena masih dicari,” kata Tatuh.
Penjagaan di Morotai
Sementara itu, TNI melakukan penjagaan ketat di Kabupaten Morotai, Maluku Utara, untuk mencegah infiltrasi teroris dari Marawi, Filipina Selatan. Komando Daerah Militer (Kodam) XVI Pattimura yang teritori mencakup Maluku dan Maluku Utara menurunkan dua Batalyon pasukan.
“Yang jelas sudah ada sekarang ditempatkan adalah Satgas Pahrahwan (Satuan Tugas Pengamanan Daerah Rawan) sebanyak 2 Batalyon. Satu Batalyon dari luar Kodam dan satu dari Batalyon organik,” kata Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVI Pattimura, Letkol Armed Sarkitansi Sihaloho ketika dihubungi.
Kodam Pattimura juga sedang mengajukan penambahan pasukan sebanyak 20 batalyon. Kemudian, penambahan pos penjagaan di dua desa yang berbatasan langsung Filipina, yakni Tanjung Wabulaya dan Tanjung Sopi di Kecamatan Morotai Jaya, sebelah utara Kepulauan Morotai.
Sihaloho menjelaskan, Morotai adalah wilayah bagian gugus pulau terluar Indonesia yang terletak di ujung Maluku Utara dan berhadapan dengan Filipina Selatan. Jarak antara Morotai dan Marawi sekira 178 kilometer sehingga mudah disusupi teroris.
“Di Morotai tidak ada pegunungan. Namun, itulah (Tanjung Sopi) daerah teritorinya Kodam XVI Pattimura yang terdekat dengan Marawi. Kalau ditempuh dengan kapal kecil (dari Morotai) sekitar dua hari bisa sampai (di Marawi),” tutur Sihaloho.
Selain itu, Sopi juga jalur perdagangan Indonesia dan Filipina tahun 1964. Komunikasi yang baik terjalin antara pedagang Sopi dan Filipina.
“Pertimbangannya Tanjung Sofi, karena dulu tahun 1964, mereka (warga Sopi) sering komunikasi dengan masyarakat Filipina, tapi dalam hal perdagangan. Sehingga memang kita antisipasi. Karena kalau sudah jalan, berarti sudah bisa tembus,” katanya.
Selain Morotai, jalur lain yang diantisiapsi adalah dari Luwuk ke Taliabu. Antisipasi juga dengan melibatkan nelayan untuk ikut membantu aparat keamanan dengan melaporkan bila ada indikasi orang-orang tidak dikenal mendatangi pesisir.