Indonesia, Singapura Kutuk Invasi Rusia ke Ukraina
2022.02.24
Washington

Singapura dan Indonesia mengutuk pelanggaran Rusia atas integritas teritorial Ukraina pada Kamis (24/2), setelah Kremlin menginvasi wilayah bekas Uni Soviet itu, tetapi sebagian besar negara Asia Tenggara lainnya tidak memberikan tanggapan atas agresi tersebut.
Pasukan Rusia menyerbu Ukraina pada Kamis pagi dalam apa yang disebut oleh kepala urusan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell di Twitter sebagai "di antara masa-masa tergelap di Eropa sejak Perang Dunia Kedua."
Rudal Rusia menghujani sejumlah sasaran di Ukraina di mana pada saat yang sama regu-regu pasukan Kremlin masuk melintasi perbatasan Ukraina di tiga sisi, demikian Reuters melaporkan. Sedikitnya 40 tentara Ukraina tewas Kamis, menurut AP.
Singapura menyatakan "sangat prihatin" atas keputusan Rusia tentang apa yang disebutnya "operasi militer khusus" di wilayah Donbas, Ukraina.
“Singapura mengutuk keras invasi tanpa alasan ke negara berdaulat dengan dalih apa pun. Kami tegaskan kembali bahwa kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah Ukraina harus dihormati," kata Kementerian Luar Negeri Singapura dalam sebuah pernyataan.
“Kami berharap aksi militer itu segera dihentikan; dan mendesak penyelesaian sengketa secara damai, sesuai dengan Piagam PBB dan hukum internasional.”
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Jakarta prihatin dengan “eskalasi konflik bersenjata di Ukraina” karena membahayakan rakyat dan perdamaian di kawasan Asia.
“Menegaskan agar ditaatinya hukum internasional dan piagam PBB mengenai integritas teritorial wilayah suatu negara serta mengecam tiap tindakan yang nyata-nyata merupakan pelanggaran wilayah teritorial dan kedaulatan suatu negara,” kata juru bicara Kemlu Teuku Faizasyah dalam pernyataannya, Kamis.
Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo dalam unggahannya di Twitter – tanpa merujuk ke Rusia atau Ukraina, menulis, "Setop perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia, dan membahayakan dunia."
Duta Besar Ukraina untuk Indonesia mendesak Indonesia, sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dan demokrasi terbesar ketiga di dunia, untuk lebih keras mengecam Rusia.
“Tentu kami juga mengharapkan Indonesia, seperti negara lainnya di dunia, memberlakukan sanksi dan juga memberikan kritikan yang dalam dan mengecam agresi Rusia,” kata Duta Besar Ukraina Vasyl Hamianin di Jakarta, Kamis.
“Saya pikir, jika Indonesia angkat bicara, tidak ada seorang pun, tidak ada negara, tidak ada pemimpin di dunia yang berani mengabaikannya.”
Indonesia yang saat ini menjabat sebagai presiden G20 – yaitu kelompok 19 ekonomi terbesar dunia dan Uni Eropa – menciptakan dilema tersendiri bagi Jakarta dalam menanggapi invasi Rusia ke Ukraina, seorang analis mengatakan kepada BenarNews.
“Pak Jokowi akan sangat menahan diri untuk berkomentar, karena kita ingin G20 berjalan dengan baik. Pertemuan (G20) di Bali nanti akan dihadiri pemimpin AS, Rusia, Uni Eropa lainnya. Maka, setiap pernyataan yang disampaikan jangan sampai diartikan sebagai keberpihakan,” kata Teuku Rezasyah, pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran di Bandung.
'Kami tidak terlibat'
Sementara itu, anggota Perhimpunan Negara Asia Tenggara (ASEAN) lainnya tidak terlalu bereaksi lantang , mungkin karena kebijakna blok regional tersebut tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain.
Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob mengatakan pada konferensi pers hari Kamis bahwa dia menyesali "perkembangan terakhir di Ukraina."
“ASEAN, sebagai organisasi negara-negara bebas, setuju bahwa kami tidak terlibat dalam masalah negara asing,” katanya pada konferensi pers di Kamboja.
“PM [Kamboja] Hun San juga setuju bahwa kami tidak akan membuat pernyataan apa pun kecuali negara-negara ASEAN membahas masalah ini dan mencapai konsensus.”
Filipina mengatakan perhatian utamanya adalah keselamatan warga Filipina di Ukraina, sementara Thailand mengatakan pihaknya mengikuti perkembangan di Ukraina "dengan keprihatinan yang mendalam."
Anggota ASEAN Vietnam, mitra terdekat Moskow di Asia Tenggara, tetap pasif, tidak memberikan komentar substantif selain seruan untuk menahan diri, lapor Radio Free Asia (RFA), entitas saudara BenarNews.
Namun, berbeda dari sebelumnya, media Vietnam meliput situasi di Ukraina tanpa bias pro-Rusia seperti biasanya, demikian laporan RFA. Rusia adalah mitra pertahanan terpenting Vietnam dan penyedia utama senjata dan peralatan untuk angkatan bersenjata Vietnam.
ASEAN belum mengeluarkan pernyataan tentang Ukraina, meskipun kantor berita Reuters melihat apa yang dikatakannya sebagai rancangan pernyataan oleh blok regional. Dikatakan situasinya harus melihat “resolusi damai sesuai dengan hukum internasional dan Piagam PBB.”
Implikasi masa lalu dan masa depan
Walaupun mengejutkan, kurangnya respons yang kuat dari negara-negara Asia Tenggara bukanlah hal baru, tulis analis Zachary Abuza dalam sebuah komentar untuk BenarNews, beberapa hari lalu. Dia mengutip invasi Moskow tahun 2014 ke Krimea sebagai salah satu contoh.
“Satu-satunya alasan mengapa Asia Tenggara ditarik ke dalam situasi ini adalah jatuhnya pesawat Malaysia Airlines MH-17 pada 17 Juli 2014 oleh rudal darat-ke-udara BUK buatan Rusia yang menewaskan keseluruhan 298 penumpang dan awaknya,” kata Abuza, profesor di National War College Washington, dalam kolom komentar itu.
Bahkan saat itu, “sedikit pihak di Asia Tenggara yang menunjukkan keinginan untuk berurusan dengan Rusia terkait MH-17,” katanya.
Alasan untuk tidak adanya tanggapan yang signifikan itu adalah karea Rusia jauh dari Asia Tenggara dan tidak memiliki banyak hubungan ekonomi atau politik dengan kawasan itu, tulis kolumnis itu.
Tetapi negara-negara Asia Tenggara harus mengambil sikap yang lebih kuat, katanya.
“[Ini] adalah sesuatu yang menciptakan preseden hukum yang sangat berbahaya, terutama untuk negara yang sangat assertive dalam tindakannya seperti China yang telah berulang kali memaksakan interpretasinya sendiri terhadap hukum internasional, seperti terlihat paling jelas di Laut China Selatan.”
Enam pemerintahan di Asia memiliki klaim teritorial atau batas laut di Laut China Selatan yang tumpang tindih dengan klaim luas China. Sementara Indonesia tidak menganggap dirinya sebagai pihak dalam sengketa Laut Cina Selatan, Beijing mengklaim hak bersejarah atas bagian laut yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
China tidak pernah menerima putusan 2016 oleh Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag, yang mengatakan bahwa "klaim historis" Beijing yang luas di Laut China Selatan tidak memiliki dasar hukum.
Dan stabilitas di Asia Tenggara akhir-akhir ini terancam dengan adanya dugaan penyerbuan kapal-kapal China di ZEE Indonesia, Filipina dan Malaysia di Laut China Selatan.
Nontarat Phaicharoen dan Wilawan Watcharasakwet di Bangkok, Ronna Nirmala dan Tria Dianti di Jakarta, Suganya Lingan dan Muzliza Mustafa di Kuala Lumpur, serta Jeoffrey Maitem dan Basilio Sepe di Manila turut berkontribusi dalam laporan ini.