Sidang Umum Interpol Bahas Penanganan Kejahatan Siber

Anton Muhajir
2016.11.08
Nusa Dua
161108_ID_Interpol_1000.jpg Johny Asadoma (tengah) saat memberikan keterangan pers pada Sidang Umum Interpol ke-85 di Nusa Dua, Bali, 8 November 2016.
Anton Muhajir/BeritaBenar

Kejahatan siber (cybercrime) menjadi fokus pembahasan pada hari kedua Sidang Umum Interpol yang digelar di Nusa Dua, Bali, Selasa, 8 November 2016.

Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Tito Karnavian saat memberikan sambutan sehari sebelumnya menyatakan tantangan yang harus dihadapi dalam menangani kejahatan siber adalah faktor geografis, anonimitas, dan fleksibilitas.

“Pelaku cybercrime berlokasi di luar negeri dan menggunakan bahasa serta zona-waktu berbeda. Terlebih lagi ada berbagai kendala harus dihadapi oleh petugas hukum dalam berbagi informasi intelijen antarnegara,” katanya.

Tito menambahkan, saat ini pelaku kejahatan siber secara anonim dan cepat melakukan transaksi ilegal, sementara kepolisian menghadapi kesulitan untuk mengaitkan pelaku dengan penggunaan komputer.

“Karena sifat kejahatannya lintas-negara, Indonesia menekankan sangat mendesak untuk meningkatkan kerja sama negara-negara anggota ICPO-Interpol dalam menangani cybercrime,” ujarnya.

Hari kedua sidang umum Interpol ke-85 yang berlangsung hingga 10 November 2016 itu, juga diwarnai dengan pertemuan bilateral antar negara peserta.

Polri melakukan pertemuan bilateral dengan kepolisian Turki membahas tentang penanggulangan terorisme, karena banyaknya warga Indonesia yang bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) melalui Turki.

“Kedua negara sepakat menempatkan atase kepolisian di masing-masing negara sehingga tiap ada kejahatan bisa ditangani langsung di lapangan,” ujar Johny Asadoma, Kepala Biro Misi Internasional Divisi Hubungan Internasional Polri.

Menurut data yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, akhir bulan lalu, masih ada 237 warga Indonesia dewasa yang diduga menjadi foreign terrorist fighters (FTF) dan 46 anak-anak berada di Suriah.

Selain itu, sebanyak 283 WNI telah dideportasi pemerintah luar negeri sejak ISIS muncul saat mereka hendak masuk ke Suriah dan sekitar 70 orang sudah tewas, serta 53 lainnya sudah kembali ke Indonesia.

Selain Turki, Indonesia juga mengadakan pertemuan bilateral dengan Timor Leste. Tiga kesepakatan dihasilkan dalam pertemuan ini, yaitu peningkatan kerja sama dalam menangani kejahatan trans-nasional seperti penyelundupan narkoba, pengawasan kejahatan lintas batas, dan pengembangan sumber daya manusia terutama pendidikan untuk anggota kepolisian Timor Leste.

Empat poin kesepakatan

Terkait penanganan kejahatan siber, Johny Asadoma mengatakan setidaknya ada empat poin kesepakatan yang dicapai.

Poin pertama dan kedua adalah modus operandi kejahatan siber yang kian berkembang, sehingga negara-negara anggota harus meningkatkan pertukaran informasi intelijen dan perlu pengembangan kapasitas sumber daya manusia Interpol dalam menanganinya.

“Tanpa kemampuan yang memadai antara anggota Interpol, kejahatan akan selalu (melangkah lebih) di depan aparat penegak hukum,” kata Johny dalam jumpa pers.

Ketiga, anggota Interpol sepakat meningkatkan kerja sama regional. Dia mencontohkan kerja sama antara kepolisian negara-negara Asia Tenggara, ASEANAPOL, dan kepolisian negara-negara Eropa, Europol. Penandatangan nota kesepahaman antara ASEANAPOL dan Europol dilakukan di lokasi Sidang Umum.

“Kerja sama ini akan diikuti oleh kesatuan polisi tingkat regional lain, seperti kawasan Afrika dan Amerika,” ujar Johny.

Keempat, peningkatan teknologi informasi melalui pengembangan perangkat teknologi oleh Interpol untuk lebih mudah memantau dan mendeteksi kejahatan siber.

Ransomware

Semakin maraknya kejahatan siber diakui oleh praktisi keamanan digital, Loic Guezo, yang melihat semakin profesionalnya pelaku kejahatan tersebut dalam sepuluh tahun terakhir.

Menurut cybersecurity strategist perusahaan digital Trend Micro ini, salah satu bentuknya adalah melalui serangan Ransomware, sebuah perangkat lunak yang merusak yang dibuat untuk memblokir akses ke sistem komputer sampai dibayarnya uang tebusan.

Virus ditujukan pada badan-badan publik yang memiliki data besar sehingga tidak bisa beroperasi.

“Semacam penyanderaan tapi secara daring (dalam jaringan). Mereka menyerang dengan target orang, perusahaan, atau lembaga yang punya uang besar,” jelas Guezo.

Dalam laporan berjudul The Reign of Ransomware, Trend Micro mengatakan hingga Juni 2016, terdapat 79 serangan Ransomware, dibandingkan 29 kasus pada 2015. Serangan itu telah mengakibatkan kehilangan uang mencapai US$209 juta.

Contoh yang disebutkan dalam laporan tersebut adalah serangan terhadap Hollywood Presbyterian Medical Center dengan kerugian mencapai $17.000, University of Calgary ($16.000), dan Horry Country School ($10,000).

“Target yang lebih kecil mencapai 100 kasus, sedangkan penyerangan atas perorangan mencapai lebih dari 10 ribu,” kata Guezo.

Selain Ransomware, tambahnya, kejahatan siber adalah terorisme siber seperti terjadi pada TV5 Monde di Perancis yang diserang kelompok siber Cyber Jihad pada April 2015. Akibatnya, TV jaringan itu berhenti mengudara lima jam.

Terkait kerja sama Interpol dalam mengatasi kejahatan siber ada beberapa contoh kasus yang pernah diselesaikan. Dikutip dari situs Interpol bahwa pada Juni-Juli 2015, mereka menangkap 48 orang terkait kejahatan siber.

Operasi itu melibatkan lima negara yaitu Kamboja, Korea, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Mereka menangkap pelaku perjudian daring dengan perputaran uang yang mencapai USD10 juta.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.