IPAC: Presiden Indonesia selanjutnya akan sulit kontrol kekuatan militer
2023.07.18
Jakarta

Presiden Indonesia mendatang akan menghadapi kesulitan dalam memulihkan kendali sipil atas militer, yang selama ini dinilai semakin luas pengaruhnya di bawah pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, kata sebuah lembaga resolusi konflik dalam sebuah laporan baru.
Jokowi mengandalkan dukungan militer untuk agenda politik dan proyek infrastrukturnya sejak dia menjabat pada tahun 2014, Institut Analisis Kebijakan Konflik (IPAC) yang berbasis di Jakarta mengatakan dalam laporan yang dirilis pada Senin (17/7).
“Kemunduran kendali sipil telah melibatkan pembukaan lebih banyak posisi sipil untuk perwira aktif, mengganti menteri pertahanan dari kalangan sipil dan banyak bawahan mereka dengan pensiunan TNI, memperluas peran non-militer TNI, memperluas struktur komando teritorialnya, dan kegagalan dalam mengawasi anggaran militer dan prosedur pengadaan dengan ketat, “ kata IPAC.
Indonesia memiliki sejarah keterlibatan militer dalam politik dan pelanggaran hak asasi manusia selama 32 tahun pemerintahan Soeharto, yang berakhir pada tahun 1998. Sejak saat itu, Indonesia telah menjalani serangkaian reformasi untuk membatasi peran militer dalam politik dan pemerintahan, tetapi beberapa analis mengatakan reformasi tersebut terhenti atau mundur di bawah Jokowi.
Deka Anwar, analis di IPAC, mengatakan kepentingan politik Jokowi sejalan dengan kepentingan institusi militer dan ambisi pribadi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. “Bukan karena Jokowi sengaja membuat militer lebih kuat,” ujarnya.
Beberapa analis mengatakan demokrasi mengalami kemunduran di bawah pemerintahan Jokowi. Salah satu tandanya adalah pengaruh mantan perwira militer dari era Soeharto dalam pemerintahannya, kata mereka.
Prabowo, yang kerap dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia selama menjabat di militer, dapat menjadi bahaya terbesar bagi hubungan sipil-militer jika dia memenangi pemilihan presiden, kata laporan IPAC.
Dikatakan Prabowo tidak berminat pada kendali sipil dan akan mencoba untuk mendominasi militer dan Kementerian Pertahanan dengan loyalisnya.
Prabowo juga mungkin mencoba untuk mendefinisikan peran militer dalam kontraterorisme, menempatkan polisi di bawah kementerian dan memperluas struktur komando teritorial, yang dikurangi setelah jatuhnya mantan Soeharto, kata laporan IPAC.
Prabowo telah membantah tuduhan terhadap dirinya. Laporan tersebut mencatat bahwa tidak ada bakal calon lain dalam pemilihan presiden 2024 – mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo – yang menunjukkan kecenderungan untuk menantang peran dan pengaruh militer yang semakin meluas.
IPAC mengatakan militer tetap menjadi institusi yang populer di kalangan masyarakat Indonesia, tetapi juga menjadi institusi yang bersaing dengan kepolisian dalam bidang keamanan dalam negeri dan menduduki jabatan-jabatan penting.
Kendali sipil obyektif
Muhamad Haripin, Peneliti Keamanan Militer dari Badan Riset dan Inovasi Nasional menjelaskan negara demokratis lebih bagus menerapkan kendali sipil obyektif karena dia menetapkan standar baku yang sesuai dengan kepentingan umum dan kepentingan sipil.
"Salah satu yang bisa dilakukan adalah, menteri pertahanan dari kalangan sipil. Kalau sekarang kan Jokowi dua kali berturut-turut memilih kalangan militer seperti Ryamizard Ryacudu dan Prabowo Subianto," katanya.
"Untuk mengatur kepentingan yang menetapkan kepentingan militer dalam kerangka demokratis, misal TNI itu hanya untuk pertahankan negara, penempatan hanya untuk pertahanan, jangan untuk pertanian, food estate [lumbung pangan], pertambangan." kata dia.
Haripin menilai DPR sudah menjadi koalisi pemerintah dan mengikuti kemauan penguasa. "Parlemen juga seharusnya bersifat lebih kritis, soal anggaran juga DPR seharusnya kan mengkritisi anggaran. Jadi, harus transparan dan akuntabel sehingga ada kontrol yang lebih objektif, nggak hanya kepentingan pemerintah.”
Wasisto Raharjo Djati, Peneliti Politik dari BRIN mengatakan idealnya memang kontrol sipil atas militer ini perlu terus ditingkatkan dalam negara demokrasi supaya terjadi keseimbangan, terlebih dengan situasi di Myanmar maupun Thailand di mana militer masih mempunyai peranan sosial politik.
"Ini menjadi semacam pengingat agar supremasi sipil atas militer dalam kontrol kekuasaan dan asistensi militer terhadap sipil soal pertahanan dan keamanan perlu dijaga betul," katanya. Contohnya, kata dia, dengan menunjuk pejabat dari kalangan sipil, bukan militer, di lembaga sipil.
"Selain itu pula, peran aktif aparat dalam melakukan sinergi dan kolaborasi dinilai efektif dalam menguatkan sistem pertahanan dan keamanan kita," kata dia.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia telah mengecam rencana TNI untuk membentuk Komando Daerah Militer (Kodam) di masing-masing dari 38 provinsi di Indonesia, dengan mengatakan hal itu dapat menandai kembalinya dominasi militer atas urusan sipil.
Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurachman mengatakan pada Mei TNI ingin membentuk 23 kodam baru untuk meningkatkan kesiapan dan ketanggapan tentara dalam keadaan darurat atau ancaman.
Rencana tersebut mendapat dukungan dari Prabowo dan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, ujarnya kala itu.
Rencana tersebut muncul di tengah upaya untuk merevisi undang-undang TNI tahun 2004 yang mengatur peran dan fungsinya, berupaya memperluas keterlibatannya di lembaga pemerintah dan domain non-militer lainnya.
Laporan IPAC menyerukan penguatan mekanisme pengawasan sipil dari militer dan Kementerian Pertahanan. Pengawasan paling efektif terhadap kekuatan militer datang dari parlemen nasional dan oposisi politik yang kuat, kata lembaga itu.