Aktivis: Kekerasan Meningkat di Papua

Perwakilan Komnas HAM Papua mencatat kekerasan di provinsi paling timur Indonesia itu mengalami peningkatan.
Victor Mambor
2018.03.22
Jayapura
180322-ID-Papua-620 Serka Yusuf Salasar (berbaju loreng) ketika diadili di Pengadilan Militer Merauke, Papua, 19 Maret 2018.
Victor Mambor/BeritaBenar

Senin, 8 Desember 2014, Yulianus Yeimo, Apinus Gobai, Simon Degei, dan Alpius You tewas akibat timah panas yang diduga ditembakkan anggota TNI dan polisi di Lapangan Karel Gobay, Paniai, Papua.

Insiden yang dikenal sebagai “Paniai Berdarah” terjadi kurang dari dua bulan sejak Joko “Jokowi” Widodo dilantik sebagai Presiden Indonesia pada 20 Oktober 2014.

Penembakan empat siswa SMA itu mendapatkan perhatian Jokowi. Saat berkunjung ke Papua, dia menjanjikan penyelesaian tuntas kasus tersebut.

"Saya ikut berempati terhadap keluarga korban kekerasan," ujar Jokowi di depan warga Papua saat perayaan Natal di Stadion Mandala, Jayapura, 27 Desember 2014.

"Saya ingin kasus ini diselesaikan secepat-cepatnya, agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang. Kita ingin, sekali lagi, tanah Papua sebagai tanah yang damai.”

Namun faktanya, hingga kini kasus tersebut tak pernah tuntas walaupun sudah dilakukan investigasi. Malah, penembakan, penangkapan dan pemenjaraan Orang Asli Papua masih terus terjadi, menurut aktivis.

Selama tahun 2015 hingga 2016, aktivis pembela hak asasi manusia (HAM) di Papua mencapat 16 kasus di luar hukum dan sewenang-wenang, yang mengakibatkan 20 warga sipil tewas.

Angka-angka ini menunjukkan bahwa situasi HAM di bumi Papua tak berubah. Dari 16 kejadian yang dilaporkan itu, hanya tiga kasus yang diproses hukum.

“Rendahnya proses hukum adalah tanda jelas Pemerintah Indonesia gagal menerapkan kerangka hukum yang  efektif untuk menghukum para pelaku pembunuhan tersebut,” ujar Gustaf Kawer, Kordinator pengacara Hak Asasi Manusia Papua, kepada BeritaBenar, Kamis, 21 Maret 2018.

Kawer mencontohkan kasus penembakan pada Agustus 2017 di Pelabuhan Pomako, Kabupaten Mimika, yang mengakibatkan seorang nelayan tewas dan beberapa lainnya terluka.

Kasus tersebut menyeret seorang anggota TNI, Yusuf Salasar, ke pengadilan militer dan dihukum delapan bulan penjara.

“Tuntutan dan putusan sangat jauh dari rasa keadilan. Hukuman maksimal adalah tujuh tahun. Tapi dia hanya dituntut satu tahun tiga bulan penjara,” papar Kawer.

”Selain itu, pengadilan digelar di Merauke, bukan Timika. Akibatnya keluarga korban dan saksi tidak bisa datang ke persidangan.”

Kasus dalam skala besar lain adalah penembakan belasan warga sipil yang memprotes perusahaan sedang membangun jembatan di Kampung Bomou, Distrik Tigi Selatan, Kabupaten Deiyai, pada 1 Agustus 2017.

Penembakan oleh sejumlah oknum polisi menewaskan Yulianus Pigai dan melukai 16 warga lain. Polisi awalnya berkilah dengan mengatakan peluru karet yang dipakai dalam penembakan tersebut, namun fakta di lapangan korban terluka dan tewas karena peluru tajam.

Penyelesaian kasus Deiyai, tutur John Gobay, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP Papua) dari wilayah adat Mee Pago sangat memalukan dan tak memberikan rasa adil bagi Orang Asli Papua.

“Para pelaku hanya divonis minta maaf dan dipindahtugaskan. Keadilan seperti apa ini? Menghilangkan nyawa orang hanya disanksi minta maaf?” ujar Gobay.

Menurut catatan Koalisi HAM Papua, jumlah warga yang ditangkap juga meningkat dari tahun ke tahun karena dituding bermotif politik. Pada 2013, sebanyak 370 orang ditangkap, setahun berikutnya 1.083 orang, dan tahun 2016 meningkat jadi 5.361 orang.

‘Pembunuhan misterius’

Sepanjang dua tahun terakhir, aktivis pembela HAM di Papua juga melaporkan semakin banyak pembunuhan misterius di Tanah Papua sehingga telah menyebarkan ketakutan di kalangan penduduk asli.

Dalam berbagai kasus yang diusut, polisi menyimpulkan insiden itu sebagai kecelakaan lalu lintas atau karena pengaruh minuman keras.

Pekan lalu, seorang siswa SMA Negeri Manokwari, Riko Ayomi, meninggal dunia setelah diantar polisi ke keluarganya. Dua hari sebelum meninggal, Riko terlibat perkelahian dengan warga di Kompleks Jembatan Puri, Kota Sorong.

Kejadian itu dilaporkan ke polisi, yang membawa Riko ke kantor dan menahannya. Pada 13 Maret dini hari, polisi mengantarkan Riko kepada warga di Jembatan Puri.

“Kondisi Riko sudah sekarat. Ia tak bisa berdiri, tidak bisa bicara, bagian badan terdapat luka memar seperti di leher dan dada, mulut mengeluarkan darah. Rahangnya patah dan dikujur tubuhnya terdapat luka lecet. Riko akhirnya meninggal sekitar pukul 05.00 waktu setempat,” kata saksi mata yang menolak disebutkan namanya.

Juru bicara kepolisian Papua Barat, Hary Supriyono mengatakan, Riko tidak sadarkan diri selama ditahan di kantor polisi. Polisi yang bertugas membawa Riko ke rumah sakit, dan diberitahu bahwa Riko dalam keadaan mabuk.

Tagih janji Jokowi

Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits Ramandey mengakui kekerasan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan di bumi Cendrawasih itu.

Segala bentuk penentangan dan penolakan warga Papua, katanya, sering dinilai sebagai tindakan makar, yang disikapi dengan tindakan represi aparat sehingga mengakibatkan jatuhnya korban.

“Langkah pemerintah melakukan pendekatan keamanan untuk menjaga ketertiban di Papua justru berujung pada terjadinya berbagai bentuk kekerasan,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Ramandey menambahkan fakta peningkatan kekerasan itu menunjukkan bahwa Jokowi belum bisa memenuhi janjinya yang diucapkan di hadapan rakyat Papua, empat tahun lalu.

“Jokowi harus menempatkan penyelesaian berbagai kasus-kasus pelanggaran HAM dan pembunuhan di luar hukum sebagai prioritas dalam sisa masa pemerintahannya,” tagih Yan Warinussy, Direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.