Kelompok Bersenjata Kembali Serang Pos TNI di Papua, Dua Prajurit Terluka
2018.12.11
Jayapura & Jakarta

Dua prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengalami luka tembak setelah kelompok separatis bersenjata menyerang pos TNI di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Papua, Selasa, 11 Desember 2018.
Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Kolonel Inf. Muhammad Aidi, menyatakan serangan mendadak itu dilakukan dari ketinggian yang berjarak 500 meter dari pos TNI sekitar pukul 06:15 waktu setempat.
“Korban atas nama Pratu Budi luka tembak di bahu dan Praka Aswad luka ringan di pelipis karena amunisi,” tulis Aidi dalam rilis kepada wartawan.
Pos TNI itu didirikan setelah terjadi penembakan belasan karyawan PT Istaka Karya yang sedang membangun jembatan Kali Yigi dan Kali Aworak di kawasan pedalaman Nduga, 2 Desember lalu.
Sehari kemudian, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), yang mengklaim bertanggung jawab dalam penembakan tersebut – menyerang pos TNI di Distrik Mbua, sehingga menewaskan seorang anggota TNI.
Menurut Aidi, anggota TNI yang berjaga di pos Yigi itu sempat membalas tembakan dan mengejar para penyerang sehingga sempat terjadi baku tembak, tetapi belum diketahui terkait korban dari kelompok bersenjata.
Aidi tak menjelaskan apakah penyerang ialah anggota TPNPB pimpinan Egianus Kogoya atau bukan. Dia hanya menyebut para pelaku sebagai kelompok separatis.
Kedua anggota TNI yang terluka dievakuasi melalui jalur darat dari Yigi ke Distrik Mbua untuk selanjutnya diterbangkan dengan helikopter ke Wamena, Kabupaten Jayawijaya.
Sebby Sambom, juru bicara TPNPB yang dihubungi BeritaBenar untuk konfirmasi terkait serangan itu mengaku dia belum menerima laporan dari lapangan.
Namun, ia menegaskan TPNPB memang sudah berencana menyerang pos TNI di wilayah Nduga.
“Pos TNI di Mbua dan Yall itu memang ada dalam rencana serangan TPNPB,” kata Sebby.
Bantah gunakan bom
Di Jakarta, Menko Polhukam Wiranto membantah pasukan TNI-Polri menggunakan bom dalam operasi pemburuan TPNPB, melainkan dengan senjata dan pelontar granat.
“Enggak ada, enggak ada kita gunakan bom. Tapi kalau kita gunakan granat pelontar, iya. Dan suaranya untuk orang awam sama dengan bom,” katanya kepada wartawan usai memimpin rapat koordinasi penanganan Papua, Selasa.
Menurut Wiranto, upaya pemburuan pemberontak TPNPB tidak melibatkan pasukan udara yang dilengkapi bom.
"Suaranya (sama dengan bom), tapi barangnya tidak. Kalau bom dijatuhkan dari udara, ini ditembakan dari senapan. Jadi jangan sampai ada berita yang simpang siur seperti itu, " ujarnya.
Ia berharap masyarakat tidak termakan isu simpang siur itu karena menurutnya sengaja diembuskan kelompok bersenjata TPNPB sebagai bagian dari propaganda mereka.
Wiranto menegaskan TNI-Polri yang dikerahkan ke Papua terus mengejar kelompok itu dan mempersempit ruang gerak mereka, kendati terus mendapatkan perlawanan.
"Kita datangkan pasukan non-organik bukan dari Papua, apakah itu Brimob maupun Kopassus untuk bantu operasi pengejaran, yang tidak mudah karena memang medannya sangat sulit," tegasnya.
Menurutnya, selain mengejar kelompok TPNPB, aparat keamanan juga masih mencari empat orang pekerja yang belum ditemukan.
“Kami harap bisa ditemukan dalam keadaan hidup, karena mereka ini adalah pahlawan pembangunan sebenanrnya," ujar Wiranto.
Mengundang pertanyaan
Pengejaran anggota TPNPB yang dilakukan TNI-Polri mengundang pertanyaan pegiat HAM yang selama ini aktif mengadvokasi kasus hukum dan HAM di wilayah Pegunungan Tengah Papua.
Hal ini muncul karena informasi simpang siur di tengah masyarakat, seperti penggunaan helikopter dan bom dari udara, masyarakat sipil yang tertembak hingga ratusan warga sudah mengungsi.
“Informasi-informasi itu mengesankan operasi militer yang sedang berlangsung, bukan penegakan hukum,” ujar Theo Hesegem, Ketua Jaringan Advokasi HAM Pegunungan Tengah (JapHAM), kepada BeritaBenar.
Dia menambahkan, meski TNI-Polri telah menegaskan tak ada serangan dari udara, tapi operasi gabungan yang dilakukan sejauh ini dikhawatirkan dapat menghilangkan bukti-bukti maupun saksi-saksi yang dibutuhkan dalam penegakan hukum.
“Kalau mereka dikatakan kriminal bersenjata berarti masuk penegakan hukum, dengan mengedepankan aparat penegak hukum, bukan operasi militer,” katanya.
Theo menilai, informasi yang beredar masih tidak jelas sehingga perlu pihak netral untuk menyelidiki kebenaran kasus penembakan para pekerja jembatan itu.
Dia sepakat Komnas HAM harus segera membentuk tim investigasi. Kemudian bersama pihak gereja, LSM dan pemerhati HAM melakukan investigasi.
Investigasi, tambahnya, hanya bisa terlaksana jika kedua pihak, baik TPNPB maupun TNI-Polri, mundur dan berhenti baku tembak untuk sementara waktu.
“Beri waktu pihak yang netral untuk melakukan investigasi. Jika hal ini dilakukan, pihak netral bisa ketemu kedua pihak, sehingga laporan yang ada bisa dipercaya publik,” kata Theo.
Ketua Dewan Adat Lapago, Engelbert Sorabut berharap akses ke pedalaman Nduga segera dibuka agar pihak-pihak dari luar bisa masuk membantu warga yang dikabarkan masih mengungsi di hutan.
“Kita belum tahu apakah mereka susah makan? Belum lagi cuaca dingin. Kelaparan dan dingin bisa mengakibatkan mereka meninggal di hutan tanpa kita tahu,” katanya seraya meminta semua pihak melihat apa yang terjadi di Nduga secara jernih dan obyektif.