Kemendagri Cabut Instruksi Soal Jilbab dan Celana Setelah Dikritik
2018.12.14
Jakarta

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencabut instruksi tentang pakaian dinas dan kerapian aparatur sipil negara yang mengatur perihal tata cara penggunaan jilbab bagi pegawai perempuan serta celana panjang untuk laki-laki.
Langkah ini diambil Kemendagri setelah aturan bernomor 025/10770/SJ tahun 2018 itu menuai kontroversi di media sosial. Sebagian yang mengkritisi instruksi itu menuduh kementerian mencampuri ekspresi beragama pegawainya.
"Karena ada beberapa pertimbangan masukan masyarakat dari sudut pandang berbeda, Menteri merespons dan menanggapi secara positif," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Hadi Prabowo dalam keterangan pers di kantornya di Jakarta, Jumat, 14 Desember 2018.
"Sehingga pada hari ini instruksi menteri dalam negeri itu dicabut. Tidak lagi berlaku."
Dengan pencabutan instruksi tersebut, terang Hadi, masalah kerapian kini diserahkan kepada masing-masing pegawai negeri sipil.
"Yang penting sesuai norma dan enak dilihat," ujarnya lagi.
"Kami juga sudah meneruskan pencabutan instruksi ke Menteri Bidang Politik Hukum dan Keamanan."
Aturan lama soal cara berpakaian aparatur sipil negara seperti yang tertuang Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2016 tidak mengatur pasti soal jilbab yang wajib dimasukkan ke dalam kerah pakaian atau celana panjang hingga mata kaki.
Diteken awal bulan
Instruksi tentang pakaian dan kerapian sebelumnya diteken Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada 4 Desember lalu.
Dalam beleid tersebut, Menteri Tjahjo meminta agar pegawai negeri sipil perempuan yang berhijab untuk memasukkan jilbabnya ke dalam kerah pakaian serta diwajibkan memakai warna senada dengan pakaian dinas dan polos.
Sedangkan pegawai laki-laki tidak diperkenankan berambut gondrong, tidak boleh mengecat rambu-rambut warna-warni, menjaga kerapian janggut dan kumis, serta bercelana panjang hingga mata kaki.
Penggunaan celana panjang di atas mata kaki atau cingkrang kini sering digunakan oleh pria beragama Islam yang taat karena pakaian seperti itu dianggap sejalan dengan anjuran Nabi Muhammad SAW.
Sanksi akan diberika kepada “Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Tidak Tetap di Lingkungan Kerjanya yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Diktum Kesatu (soal kerapihan PNS pria dan wanita)," demikian bunyi instruksi itu.
‘Kebebasan ekspresi’
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Suhud Aliyudin mengapresiasi keputusan Kementerian Dalam Negeri untuk mencabut instruksi pemakaian jilbab dan celana untuk aparatur sipil Negara.
"Lebih baik memang berfokus membangun budaya kerja yang profesional, daripada mengurusi cara berekspresi seseorang," kata Suhud kepada BeritaBenar.
"Kalau memaksakan, itu akan menjadi kemunduran."
Menurut Suhud, berjilbab merupakan kebebasan berekspresi agama setiap orang dan akan menjadi kemunduran jika kemudian dijadikan parameter penilaian kinerja seorang aparatur sipil negara, apalagi sampai berbuah sanksi.
"Dalam ajaran agama juga, perintah jilbab itu harus menutupi bagian dada. Kalau dimasukkan ke kerah, kan menjadi tidak sesuai," ujarnya lagi.
Hal sama disampaikan Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia, Anwar Abbas.
"Itu sudah tepat," katanya saat dihubungi.
Ditambahkan Anwar, perihal berpakaian memang sebaiknya diserahkan kepada masing-masing pegawai, selama masih etis dan sopan.
Tetapi, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Bachtiar saat dihubungi menyangkal lembaganya hendak mengatur soal kebebasan ekspresi beragama pegawai negeri.
Penerbitan instruksi itu, terangnya, dilakukan sebatas untuk menciptakan kerapian di lingkungan pegawai negeri.
"Polwan kan juga begitu (diatur). Tidak ada maksud mengekang kebebasan," kata Bachtiar.
"Itu hanya masalah ingin menciptakan kerapian dan keseragaman, karena pegawai negeri sipil adalah penyelenggara negara."