Penduduk Miskin Asia Tenggara Terbanyak di Indonesia dan Filipina
2017.11.20
Jakarta

Maridar binti Anwar memang tak lagi bekerja. Di usianya yang menginjak 75 tahun, dia dihidupi tiga putranya. Mereka sudah berumah tangga dan punya anak, meski ada yang sudah pisah.
Maridar tinggal di pemukiman padat kawasan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Persis hanya sekitar 12 meter dari bantaran Sungai Ciliwung.
Tiga bulan lalu, daerah itu dilanda kebakaran hebat. 300 rumah di lima Rukun Tetangga (RT) dan dua Rukun Warga (RW) hangus dilahap api.
Afrizal (46) –putra Maridar – menuturkan, setidaknya 1.200 Kepala Keluarga (KK), meski tak semuanya, mengungsi sambil berusaha merenovasi rumah mereka yang sebelumnya sebagian besar semi-permanen.
Pemukiman itu kini sedang diramaikan pekerjaan bangunan. Meski agak lebih bagus dari sebelumnya, tetap saja sempit. Misalnya, rumah Maridar ukur 4x6 meter dihuni delapan anggota keluarga.
"Makanya dibikin lantai dua khusus untuk kamar," jelas Afrizal kepada BeritaBenar, Senin, 20 November 2017.
Afrizal mengaku saat ini tak punya pekerjaan tetap. Ia hanya pekerja serabutan. Terakhir dia bekerja pada proyek borongan pipa gas satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Selepas itu menganggur lagi, dan tengah mencoba bergabung menjadi pengemudi ojek online.
Sementara kakaknya, Zainal bekerja sebagai perajin batu cincin. Tak jauh dari rumahnya, lapak batu cincin miliknya digelar di pinggir trotoar depan rumah toko.
Dia mengaku, pendapatan hariannya Rp50 ribu - Rp70 ribu. Dari situ, pengeluaran buat seorang anak dan ibunya sekitar Rp40 ribu.
"Bicara cukup nggak cukup, ya begitulah," ungkapnya.
Untungnya semua anggota keluarga terlindungi program jaminan sosial Pemerintah DKI Jakarta. Mereka mendapat BPJS Kesehatan atau Kartu Indonesia Sehat, bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) bagi rumah tangga sangat miskin, dan program Kartu Indonesia Pintar untuk anak-anak.
Kemiskinan di Indonesia
Dalam laporan Program Pembangunan PBB (UNDP) bersama ASEAN dan China, mengenai Pembiayaan Pembangunan Berkelanjutan yang diluncurkan Jumat pekan lalu, diperkirakan 36 juta orang di Asia Tenggara masih hidup di bawah garis kemiskinan, dimana 90 persennya tinggal di Indonesia dan Filipina.
Menurut laporan itu, kemiskinan ekstrem di Asia Tenggara turun dari 17 persen pada 2005 menjadi 7 persen tahun 2013. Tetapi banyak kaum miskin yang bekerja tetap rentan untuk kembali ke garis kemiskinan.
“Aset terbesar ASEAN adalah rakyatnya dan pendanaan yang tepat akan memungkinkan masyarakat ASEAN mencapai potensinya,” kata Vongthep Arthakaivalvatee, Wakil Sekretaris Jenderal untuk Komunitas Sosial Budaya ASEAN, dalam sambutannya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Maret 2017, jumlah penduduk miskin di Indonesia yakni penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan mencapai 27,77 juta orang atau 10,64 persen dari total penduduk.
Selama September 2016-Maret 2017, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan naik 188,19 ribu orang dari 10,49 juta orang pada September 2016 menjadi 10,67 juta orang pada Maret 2017.
Sementara, di daerah pedesaan turun sebanyak 181,29 ribu orang dari 17,28 juta orang pada September 2016 menjadi 17,10 juta orang pada Maret 2017.
“Angka ini (laporan ASEAN) ada kesamaan dengan kenyataan, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,7 juta. Jadi sisanya ada di Filipina,” ungkap Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Sodik Mujahid kepada BeritaBenar.
Menurut dia, penyebabnya adalah kebijakan ekonomi yang tidak tepat dan tak afirmatif terhadap rakyat miskin, serta ekonomi kapitalis hanya mengejar pertumbuhan tapi tidak sungguh-sungguh dalam pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan.
Mencari pendanaan
Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Vivi Yulaswati, mengatakan sudah banyak yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan.
Menurutnya, angka kemiskinan ekstrem di Indonesia saat ini hanya 0,8 persen dengan garis kemiskinan di bawah Rp350 ribu per kapita per bulan.
"Jadi yang ekstrem hanya 0,8 persen yang sangat miskin, dan mengatasinya dengan PKH (Program Keluarga Harapan), cash tranfer, untuk sekolah anak, ibu hamil, dan lansia," paparnya saat dikonfirmasi.
Langkah itu diharapkan bisa menjadi stimulan dan mengurangi beban keluarga miskin. Harapannya, bantuan tersebut bisa mengatasi putus sekolah, untuk periksa kesehatan balita dan imuniasi serta perbaiki kualitas hidup.
Penerapan kebijakan itu, Vivi menjelaskan adalah terkait integrasi data, khususnya warga pelosok dan disabilitas. Pemerintah mulai fokus untuk perbaiki data, kemudian menciptakan program ekonomi produktifnya.
"Masalahnya integrasi data memang tidak mudah, karena nantinya warga harus punya NIK. Begitu terdata tentu program akan masuk, untuk tingkatkan produktivitas ekonomi masyarakat," ujarnya.
Dengan sejumlah program itu, kata Vivi, pemerintah memperkirakan tingkat kemiskinan di Indonesia dapat turun pada kisaran 9,5-10 persen tahun depan.
Namun, Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, berharap pemerintah perlu memperkuat pembiayaan domestik untuk mengatasi kemiskinan.
“Bisa dilakukan lewat optimalisasi pajak dan nonpajak, sehingga mendorong kontribusi pembiayaan sektor non-pemerintah termasuk pembiayaan alternatif,” katanya kepada BeritaBenar.
Untuk mendapatkan dana memadai, sambung Maftuchan, pemerintah perlu melakukan upaya-upaya di luar kelaziman dalam memobilisasi sumber-sumber pendanaan.