Pengamat Meragukan Proyek Kereta Cepat Pemerintah
2015.09.08

Keputusan Presiden Joko Widodo yang menyerahkan pembangunan proyek kereta cepat kepada Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), secara komersial tanpa penyertaan modal pemerintah dipandang sebagai penolakan halus Presiden terhadap proyek ini.
Ketua Institut Studi Transportasi, Darmaningtyas, menyatakan sepakat dengan alasan Presiden bahwa Indonesia sebenarnya belum membutuhkan moda kereta cepat untuk jalur Jakarta-Bandung.
“Jalur Jakarta-Bandung sudah di cover oleh moda yang ada. Kalau diadakan kereta cepat, saya khawatir ini akan mematikan moda yang sudah ada dan memperlebar kesenjangan pembangunan transportasi di pulau Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia,” ujar Darmaningtyas kepada BeritaBenar.
Ia menambahkan bahwa proyek kereta cepat atau kecepatan sedang untuk saat ini lebih cocok diterapkan di pulau Sumatra.
Sedangkan Danang Parikesit dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menganjurkan kepada pemerintah untuk mengambil sikap tegas.
“Pemerintah dalam hal ini Presiden, harus tegas, apakah kita butuh atau tidak proyek ini. Kalau proposal tersebut hanya untuk rute Jakarta – Bandung, sebaiknya ditolak,” kata Danang kepada BeritaBenar. Kereta cepat untuk jalur tersebut menurutnya bukan hal yang mendesak untuk saat ini.
Tetapi, jika proyek ini dijadikan sebagai langkah awal pembangunan kereta api cepat dengan rute yang lebih jauh seperti Jakarta-Surabaya atau Merak-Banyuwangi, hal ini masih bisa diterima.
Pembatalan yang mengejutkan
Kamis lalu, saat khalayak menunggu Presiden Joko Widodo mengumumkan negara pemenang proyek kereta cepat, secara mengejutkan pemerintah memutuskan untuk menghentikan proyek tersebut.
“Keputusan presiden adalah jangan kereta api cepat, cukup dengan kecepatan menengah ,” ujar Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution kepada wartawan hari Jumat usai bertemu Duta Besar Jepang untuk Indonesia Yasuaki Tanizaki.
Menurut Darmin, dengan jarak yang relatif singkat, 150 kilometer, kereta api tersebut tidak bisa mencapai kecepatan maksimalnya karena kereta sudah harus berhenti (di beberapa stasiun) sebelum mencapai kecepatan maksimalnya.
Darmin menambahkan, perbedaan waktu antara kedua jenis kereta api ini hanya sekitar 10-11 menit tetapi bisa menghemat biaya hingga 30-40 persen.
Kisruh proyek kereta cepat ini berawal pada tahun 2012 saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Jepang untuk membuat studi kelayakan pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung-Surabaya.
Jepang menyanggupi tawaran tersebut dan siap mendanai FS yang diperkirakan akan siap dalam waktu tiga tahun untuk melakukan studi tersebut.
Duta Besar Tanizaki menyatakan penyesalannya atas pembatalan tiba-tiba, yang dilakukan setelah Jepang melakukan feasibility study (FS) atau studi kelayakan selama tiga tahun.
“Saya yakin Jepang memiliki teknologi terbaik (untuk membangun kereta api kecepatan tinggi) , tetapi keputusan telah diambil oleh pemerintah Indonesia,” ujar Tanizaki.
“Setelah sekitar dua tahun kami serius mengerjakan FS ini, lalu muncul China,” ujar Yoshika Kijima, Wakil Duta Besar Jepang untuk Indonesia pada sebuah kesempatan.
Duta Besar Cina Xie Feng yang diharapkan menghadiri pertemuan tersebut tidak tampak hingga pertemuan berakhir pada Kamis lalu.
Cina menyatakan konsorsium di bawah kordinasi badan usaha milik negara PT Wijaya Karya, yang mengundang negara itu untuk melakukan FS kereta cepat.
Cina mulai melakukan FS pada bulan Maret tahun ini namun tidak diketahui biaya yang dikeluarkan negara itu. Menurut sebuah sumber, Jepang mengeluarkan 30 juta dolar.
Proposal saingan
Proposal kedua negara diserahkan hampir bersamaan pada awal Juli 2015.
Beberapa kesamaan dari kedua proposal tersebut adalah sama-sama mematok harga 200 ribu rupiah untuk sekali jalan, target penumpang di tahun pertama adalah 44 ribu orang per hari, waktu tempuh 36 menit.
Perbedaannya adalah jarak tempuh pada proposal Cina adalah 150 kilometer dengan kecepatan 350 kilometer per jam sedangkan Jepang mematok jarak tempuh 140 kilometer dengan kecepatan 320 kilometer per jam.
Stasiun pemberangkatan kereta Cina berlokasi di Halim Perdanakusumah sedangkan kereta Jepang memulainya dari Dukuh Atas dengan memanfaatkan jalur bawah tanah yang sudah dibangun oleh proyek MRT.
Anggaran proposal Cina adalah 60 triliun rupiah sedangkan anggaran pada proposal Jepang lebih besar, yaitu 64 triliun.
Dana APBN dibutuhkan
Pernyataan Presiden tertanggal 3 September yang diterima BeritaBenar menyatakan bahwa kerjasama pembangunan proyek itu seharusnya dalam bentuk Business-to-Business, tidak menggunakan APBN baik langsung maupun tidak langsung dan pemerintah tidak akan menyediakan dana jaminan dalam bentuk apapun.
Proposal Cina dilaporkan tidak menggunakan dana pemerintah tetapi bekerjasama dengan BUMN, sedangkan Jepang tetap meminta jaminan pemerintah Indonesia.
“Jaminan pemerintah Indonesia tetap kami butuhkan, jumlahnya hanya kecil sekali. Ini sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyatnya, para pembayar pajak. Karena pemerintah Jepang turut andil dalam proyek ini,” kata Kijima tanpa menjelaskan berapa sebenarnya jaminan yang dimintakan kepada pemerintah Indonesia.
Pengamat transportasi dari Institut Studi Transportasi Darmaningtyas mengatakan, dia meragukan ada negara yang mau memasukkan proposal proyek ini jika tidak boleh menggunakan dana APBN.
“Mana ada negara yang mau berinvestasi tanpa jaminan pemerintah, siapa yang bertanggungjawab jika proyek ini gagal?” ujarnya. Ia menyimpulkan dengan memberi persyaratan proposal yang berat, bahkan bisa dikatakan hampir tidak mungkin, presiden tidak ingin melanjutkan rencana mega proyek ini.
Danang Parikesit dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menyetujui bahwa setiap proyek infrastruktur dimana pun pasti harus mengikutsertakan dana pemerintah.
Danang meminta pemerintah untuk membuat kriteria perencanaan, proses yang jelas, dan prosedur yang dipahami semua peserta saat membuka penawaran kepada investor luar negeri.
“Penawaran Cina dan Jepang itu tidak bisa diperbandingkan, jarak tempuhnya berbeda, jumlah stasiun berbeda, starting point berbeda, dan masih banyak lagi perbedaanya, “ ujar Danang.
Danang memandang kejadian ini sebagi preseden yang sangat disesalkan untuk kerjasama luar negeri Indonesia.
“Karena banyak ketidakjelasan dalam prosesnya. Kita mengundang investor, lalu ditolak, tentu kita khawatir mereka akan jera,” kata Danang.