Komnas Perempuan: Kekerasan berbasis gender di Indonesia naik 50 persen tahun lalu

Studi menunjukkan adanya kenaikan kasus kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi.
Nazarudin Latif
2022.10.17
Jakarta
Komnas Perempuan: Kekerasan berbasis gender di Indonesia naik 50 persen tahun lalu Aktivis melakukan protes mengecam kekerasan seksual yang marak terjadi di sekolah dan kampus, di Kementerian Pendidikan Nasional, di Jakarta, 10 Februari 2020.
[Adek Berry/AFP]

Komisi Nasional Anti-kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan laporan kekerasan berbasis gender pada 2021 mencapai angka tertinggi dalam 10 tahun, naik 50 persen dari tahun sebelumnya.

Kasus kekeraan pada perempuan tercatat sebanyak 338.496 kasus pada 2021, dibanding 226.062 kasus pada tahun 2020, kata Komnas Perempuan dalam laporan tahunan yang dirilis Senin (17/10).  

“Angka ini menunjukkan bahwa selama masa pandemi di tahun kedua, alat akses laporan dalam bentuk online sudah mulai dikenal dan diikuti kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus mereka,” ujar anggota Komnas Perempuan Alimatul Qitbiyah.

Laporan kasus kekerasan pada perempuan didapat dari berbagai sumber, yaitu pengaduan ke Komnas Perempuan, layanan pemerintah dan lembaga masyarakat, serta data dari Badan Peradilan Agama, kata Komnas.

Jumlah kasus kekerasan berbasis gender pada 2021 ini menurut laporan Komnas Perempuan adalah rekor tertinggi selama 10 tahun. Kekerasan tersebut lebih tinggi dibanding masa sebelum pandemi pada 2019 sebanyak 302.686 kasus.

“Secara khusus, bagi Komnas Perempuan lonjakan ini menjadi tantangan karena rata-rata kasus yang perlu direspon berjumlah sekitar 16 kasus per hari, yang ditangani hanya dengan sumberdaya terbatas,” tambah Qitbiyah.

Kekerasan paling banyak terjadi pada wilayah personal, yaitu sebanyak 335.399 kasus atau 99%, kemudian kekerasan di ranah publik 3.045 kasus atau 0,9% dan di ranah negara berjumlah 52 kasus atau 0,01%.

Berdasarkan data pengaduan ke Komnas Perempuan bentuk kekerasan yang dialami korban adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi.

Dalam laporan berjudul “Bayang-bayang Stagnasi, Daya pencegahan dan Penanganan Berbanding peningkatan Jumlah, Ragam dan Kompleksitas Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan”, Komnas menyebutkan bahwa kekerasan psikis perlu mendapat perhatian lebih dalam.

Kekerasan ini bisa menjadi unjung semua kekerasan yang dialami. Namun di sisi lain, layanan lembaga masyarakat khususnya pendamping perempuan korban kekerasan masih minim memiliki ahli pendampingan psikis.

Komnas Perempuan juga melaporkan bahwa perkawinan anak cukup tinggi sepanjang 2021 terbukti dari angka dispensasi pernikahan yang dikabulkan Pengadilan Agama sebanyak 59.709 kasus.

Di Indonesia, pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun, menurut UU No 16 tahun 2019, tentang Perkawinan. Namun, pernikahan tetap diizinkan jika memperoleh “dispensasi pernikahan” dari Pengadilan Agama atas permintaan orang tua.

“Sosialisasi perkawinan anak sebagai pelanggaran terhadap hak anak harus terus disebarluaskan. Juga menjadikan isu perkawinan anak sebagai salah satu bentuk pemaksaan perkawinan,” ujar laporan tersebut.

Theresia Iswarini, salah satu komisioner Komnas Perempuan mengatakan kasus-kasus kekerasan berbasis gender potensial berujung pada femisida, atau pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan dan penguasaan pada perempuan.

Namun, karena femisida belum dikenali oleh penegak hukum, maka pembunuhan perempuan dianggap sebagai kasus kriminal biasa.

“Biasanya dalam KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), laporan dilakukan oleh korban sendiri. Tapi yang dengan korban meninggal dunia belum dilaporkan ke Komnas, sering ditangani sebagai pidana biasa,” ujarnya pada BenarNews.

Kekerasan dalam rumah tangga 

Komnas Perempuan juga memberikan catatan pada kasus KDRT. Pada 2021 Komnas menerima pengaduan langsung 771 kasus kekerasan terhadap istri atau 31% dari laporan sebanyak 2.527 kasus kekerasan rumah tangga.

Menurut komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang kekerasan dalam rumah tangga menimbulkan berbagai dampak, seperti penderitaan luka-luka fisik, trauma dan depresi, bahkan menjadi disabilitas maupun kehilangan nyawa.

“Kasus KDRT di Indonesia perlu mendapatkan perhatian serius baik dari segi penguatan korban untuk berani melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya dan dari segi penanganannya,” ujarnya.

Komnas Perempuan memuji langkah penyanyi Lesti Kejora yang melaporkan suaminya Rizky Biliar atas kasus kekerasan. Meski memperoleh banyak dukungan, Lesti mencabut kembali pelaporannya setelah pihak suami ditetapkan sebagai tersangka dan meminta maaf.

“Kasus LK ini menunjukkan kompleksitas kesulitan perempuan korban untuk keluar dari siklus kekerasan yang dihadapinya,”ujarnya.

Kekerasan pada kaum muda

Novita Anggraeni, analis gender dari Yayasan Plan International Indonesia menyoroti tingginya kasus kekerasan berbasis gender yang dialami anak muda dalam laporan tersebut, seperti  kekerasan dalam pacaran dan kekerasan oleh mantan pacar.

Dalam laporan Komnas Perempuan, kekerasan mantan pacar dan kekerasan dalam pacaran masing-masing 813 kasus dan 463 kasus.

“Jadi kekerasan pada kaum muda meningkat, sisi positifnya dari kondisi ini adalah kesadaran untuk melapor dan mencari pertolongan juga meningkat,” ujar dia pada BenarNews.

Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan juga terus terjadi dari jenjang pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi. Komnas Perempuan dan lembaga layanan lain menerima 225 kasus kekerasan di lembaga pendidikan, di antaranya kekerasan seksual.

Menurut Novita, bisa jadi kekerasan pada anak muda ini adalah fenomena lama, tapi baru terlihat belakangan ini beriringan dengan meningkatnya kesadaran dan pengetahuan kekerasan berbasis gender di kalangan anak muda.

“Dulu sudah banyak perilaku abusive tapi para korban tidak memahami dan tidak sadar kalau yang menimpa mereka adalah bentuk kekerasan,” ujar dia.

Kultur patriarki

Sosiolog Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Jawa Tengah, Tri Wuryaningsih mengatakan dalam studinya terhadap beberapa laporan menunjukkan adanya kenaikan kasus kekerasan berbasis gender dalam masa pandemi.

“Kultur Indonesia itu patriarkis dan ada relasi yang timpang, antara laki-laki dan perempuan. Perempuan itu harus melayani dan lain-lain,” ujar dia.

Situasi pandemi yang memengaruhi aktivitas sosial dan ekonomi membuat tekanan besar pada masyarakat, hingga berpengaruh pada tingkat stres individu, misalnya karena tekanan ekonomi akibat kehilangan pekerjaan.

“Tahun 2022-2021 itu kan pas full pandemi COVID-19, jadi ada pembatasan macam-macam. Saat itu juga laporan kekerasan terhadap perempuan naik signifikan,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.