Konflik Laut China Selatan, Indonesia Serukan Semua Pihak Menahan Diri

Tia Asmara
2016.07.12
Jakarta
160712_ID_CouthChinaSea_1000.jpg Kapal penjaga pantai China (kiri) berusaha mengintervensi ketika kapal TNI Angkatan Laut hendak menangkap kapal ikan asing di perairan Natuna, Kepulauan Riau, 17 Juni 2016.
Dok. Komando Armada RI Kawasan Barat

Pemerintah Indonesia menyerukan semua pihak menahan diri, menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan menyusul keluarnya putusan Mahkamah Arbitrase di Den Haag yang memenangkan gugatan Filipina atas klaim China di Laut China Selatan.

Seruan Indonesia diutarakan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dalam keterangan pers yang dirilis melalui situs resminya di Jakarta, Selasa, 12 Juli 2016.

“Indonesia sekali lagi menyerukan semua pihak menahan diri dan tidak melakukan hal yang dapat meningkatkan ketegangan serta memelihara kawasan Asia Tenggara,” demikian bunyi statemen tersebut.

Indonesia juga mengajak semua pihak untuk terus menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan,  “khususnya dari aktivitas militer yang dapat mengancam stabilitas dan perdamaian,” tambah pernyataan itu.

Indonesia menyerukan agar pihak-pihak terkait memberikan penghormatan terhadap hukum internasional, termasuk Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Hukum Laut (UNCLOS) 1982.

Putusan mahkamah

Seperti diketahui Filipina menempuh mekanisme sistem putusan mengikat dengan mengajukan upaya penyelesaian sengketa Laut China Selatan ke Mahkamah Arbitrase pada 23 Januari 2013. Putusan mahkamah yang dikeluarkan, Selasa, memenangkan gugatan Filipina tersebut.

“Tidak ada basis legal bagi China mengklaim hak berdasarkan sejarah itu untuk dapat mengeksplorasi kekayaan alam di sepanjang area yang disebut dengan nine–dash line (sembilan garis putus),” demikian siaran pers Mahkamah Arbitrase yang dirilis, Selasa pukul 16.00 WIB.

China juga tidak lagi bisa mengklaim wilayah berdasarkan basis sejarah (historis) dan sembilan garis putus dinyatakan ilegal. Klaim China meliputi ratusan pulau, terumbu karang dan wilayah perairan yang tumpang-tindih dengan Filipina, Taiwan, Malaysia, Brunei, dan Vietnam.

China sering menangkap ikan di wilayah yang masuk garis imajiner tersebut dengan dasar historis meski daerah itu masuk zona ekonomi eksklusif (ZEE) negara lain.

Filipina menyambut baik keputusan mahkamah itu. Tapi Menteri Luar Negeri Filipina, Perfecto Yasay, meminta kepada semua pihak untuk menahan diri dan tenang.

"Para ahli kami mempelajari keputusan ini dengan hati-hati dan teliti. Kami meminta semua pihak menahan diri dan tenang. Filipina menekankan penghormatan terhadap keputusan penting ini," ujarnya.

Pemerintah China sejak awal menentang persidangan Mahkamah Arbitrase dan tidak bersedia ikut. China bahkan menggalang dukungan untuk dapat menolak keputusan mahkamah dengan mengklaim sudah memperoleh 60 negara pendukung.

Sebelumnya Pemerintah China telah menegaskan apapun keputusannya, mereka tak ada “menerima, mengakui atau melaksanakan”. Menjelang putusan itu dibacakan, China dikabarkan mengerahkan kekuatan di perairan yang dipersengketakan.

Meskipun putusan Mahkamah Arbitrase bersifat mengikat, tetapi tak punya kekuatan untuk memaksa China mematuhi keputusan itu. Apalagi China memboikot mahkamah dengan menyatakan lembaga itu tak punya yurisdiksi.

Potensi konflik

Pakar hukum internasional Universitas Indonesia, Melda Kamil Ariadno menyambut baik putusan tersebut. “Putusan ini juga diapresiasi karena jalan satu-satunya secara damai yang ditempuh Filipina sesuai hukum internasional dan ketentuan UNCLOS yang berlaku,” katanya.

Namun, ia khawatir putusan itu bisa memicu ketidakstabilan kawasan regional jika China tidak mau mematuhinya.

“China akan menolak, dia memang punya hak untuk itu dan akan mempertahankan dengan cara apapun. Hal ini bisa memicu potensi konflik. Nggak aman lagi kawasan,” jelas Melda kepada BeritaBenar.

Ia mencontohkan, jika China semakin masif mengirimkan kapalnya, situasi kawasan ASEAN menjadi tidak stabil.

“Ini bahaya karena freedom of navigation di Laut China Selatan mendorong semua pihak ketiga untuk ikut andil mengintervensi,” ujarnya.

Pihak ketiga yang dimaksud Melda adalah kehadiran kapal Amerika Serikat, Jepang dan Australia mengingat mereka juga bebas melintas di perairan tersebut dan punya kepentingan perdagangan dan ekonomi.

“Ini jadi tidak nyaman. Laut China Selatan menjadi sensitive area yang bisa memicu eskalasi tinggi seperti satu pihak membuat manuver-manuver tidak menyenangkan,” lanjut Melda.

Tingkatkan peran di ASEAN

Dia berharap Indonesia bisa menggerakkan ASEAN untuk mengambil peran dalam menyelesaikan masalah di kawasan regional.

“Indonesia negara terbesar di ASEAN, apalagi punya kepentingan karena perairan Natuna yang sering diganggu, seharusnya bisa lebih aktif dan berani,” katanya.

Hal senada disampaikan pakar hubungan internasional dari Universitas Bina Nusantara, Tirta Mursitama, yang menyebutkan putusan Mahkamah Arbitrase memang sudah seharusnya terjadi dan sikap Indonesia harus menonjol di antara negara ASEAN lain.

“Indonesia harus dalam posisinya berdasarkan prinsip UNCLOS,” ujarnya.

Indonesia, tambah Tirta, harus lebih asertif terhadap China karena China selalu menggunakan alasan hukum tradisional dalam ZEE Indonesia di perairan Natuna.

“Padahal hak tersebut sudah diatur UNCLOS,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.