Mahfud MD: Hoax Harus Diwaspadai
2018.04.04
Jakarta

Pakar hukum Mahfud MD mengatakan penyebaran berita bohong alias hoax termasuk isu kekerasan terhadap ulama harus diwaspadai dalam menghadapi tahun politik Pilkada 2018 dan Pemilihan Presiden 2019, serta meminta polisi untuk mengungkapkan kasus tersebut secara profesional.
“Ini ada unsur politik di belakang. Mereka memperjualkan agama untuk mengadu domba bangsa. Polisi tidak usah terpengaruh. Hukum harus ditegakkan mesti langit akan runtuh,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu pada diskusi publik “Siapa di Balik Penyerangan Ulama: Kriminal Murni atau Rekayasa?” yang digelar Ikatan Sarjana dan Profesi Perpolisian Indonesia (ISPPI) di Jakarta, Rabu, 4 April 2018.
Polisi dinilai Mahfud terkesan agak ragu dalam mengungkap isu-isu tersebut karena “segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam sangat sensitif”.
“Saya justru minta diungkap semua karena jika disembunyikan, kami yang Muslim dirugikan karena mereka membawa nama Islam,” ujar Mahfud.
Mahfud bahkan menilai adu domba menjelang pesta demokrasi mendatang mungkin juga kelanjutan dari hiruk-pikuk politik saat Pilkada DKI Jakarta 2017, sehingga politik identitas ditonjolkan.
Isu penyerangan terhadap ulama memang sempat marak.
Pemimpin pondok pesantren Cicalengka, Bandung, Jawa Barat, KH Umar Basri, ditemukan tersungkur bersimbah darah pada 27 Januari 2018.
Amas Mansyur, adik korban, mengatakan tak banyak informasi yang bisa dilaporkan ke polisi karena tidak ada saksi yang melihat langsung kejadian.
“Saya tak tahu persis dia itu gila atau tidak, sebelum dapat kabar dari Kapolda bahwa pelaku telah ditangkap. Penyidik menyatakan pelaku gila,” ujar Amas dalam diskusi publik itu, tentang terduga pelaku pembunuh sang kakak.
Kasus penyerangan pemimpin Ponpes Cicalengka ini viral di media sosial dan menebar teror di tengah masyarakat, bahwa tengah marak penyerangan terhadap ulama, pemuka agama, serta perusakan tempat ibadah.
Hanya lima kasus
Namun, menurut Satgas Nusantara, badan yang dibentuk Polri untuk mencegah kampanye berbau SARA jelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019, hanya lima dari 47 kasus penyerangan terhadap pemuka agama yang benar terjadi. Salah satunya kasus penyerangan Umar.
Ketua Satgas Nusantara, Irjen. Pol. Gatot Eddy Pramono lebih lanjut mengatakan empat kasus adalah rekayasa, enam lain korban bukanlah ulama namun viral sebagai ulama. Sementara itu 32 kasus lainnya tidak ada, namun diviralkan seolah ada penyerangan ulama.
“80-90 persen berita terkait isu ini adalah hoax yang menimbulkan kegamangan masyarakat dan akhirnya menyebabkan disintegrasi bangsa,” ujar Gatot.
Hasil pendalaman yang dilakukan Satgas juga mengungkap fakta lain, bahwa di dunia nyata belum ditemukan koneksi antar satu peristiwa dengan kasus lain terkait isu penyerangan.
Untuk mencegah berkembangnya hoax, Gatot terus mendorong kerjasama dengan semua pihak termasuk operator media sosial dan Kemenkominfo.
Direktur Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto yang juga menjadi pembicara dalam diskusi publik itu menolak tudingan jika lembaganya berada di balik rekayasa kasus penyerangan ulama.
“Saat ini hoax banyak beredar. Kita tidak ingin isu-isu seperti PKI digoreng untuk memecah belah bangsa. Tidak ada perintah operasi intelijen untuk menyerang ulama dengan orang gila,” katanya.
“Intelijen telah mengingatkan adanya potensi serangan jelang Pilkada dan Pilpres. Intelijen terkena imbas propaganda hitam yang dimainkan kelompok tertentu. Jangan korbankan ulama dan pemimpin agama lain demi kepentingan politik sesaat.”
Wawan menambahkan BIN terus berkoordinasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan organisasi keagamaan lain untuk menenangkan suasana.
“Kita juga berkoordinasi dengan instansi-instansi negara lain. Kami juga menganjurkan Polri untuk mensosialisasikan pengamanan di tingkat masyarakat,” pungkasnya.