Penetapan MMI Sebagai Teroris Global Dipertanyakan
2017.06.13
Yogyakarta

Keputusan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (Kemlu AS) yang menetapkan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) sebagai teroris global dipertanyakan sejumlah pihak karena organisasi itu dinyatakan tidak melakukan aksi teror dan anti terhadap Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
“Saya belum tahu soal itu. Saya tidak tahu bagaimana bisa MMI jadi teroris global. Kita bahkan sudah bertahun-tahun tidak aksi lapangan dan MMI itu anti ISIS,” ujar Sekretaris Jenderal MMI, Shabbarin Syakur, saat dikonfirmasi BeritaBenar di Yogyakarta, Selasa, 13 Juni 2017.
Sehari sebelumnya, Kemlu AS dalam pernyataan resminya menetapkan MMI sebagai teroris global bersama Marwan Ibrahim Hussayn Tah al-Azawi, seorang pemimpin ISIS di Irak yang terkait dengan pembuatan senjata kimia yang dipakai untuk melawan pasukan keamanan Irak.
MMI dituding telah melancarkan serangkaian aksi di Indonesia, termasuk bertanggung jawab atas serangan pada peluncuran buku karangan Irshad Manji, seorang perempuan Muslim asal Kanada yang mendukung interpretasi reformis tentang Islam, pada Mei 2012. Serangan tersebut menyebabkan tiga orang dirawat di rumah sakit.
“MMI juga punya hubungan dan afiliasi dengan Al-Qaida di Suriah, kelompok Front al-Nusra,” tulis pernyataan Pemerintah AS tersebut.
Shabbarin mengakui dia dan beberapa pimpinan MMI memang pernah ke Suriah, tahun 2014, untuk bertemu kalangan ulama yang akan mendirikan ISIS dan bukan bergabung dengan Front al-Nusra.
Usai bertemu mereka, Shabbarin pulang dan menyatakan sikap penolakannya terhadap ISIS karena beranggapan perjuangan ISIS sesat.
“Yang ke Suriah saya bersama beberapa pimpinan MMI dan itu bukan untuk jihad atau bergabung dengan kelompok apapun,” jelasnya.
Menurutnya, selama beberapa tahun terakhir, MMI yang didirikan di Yogyakarta tahun 2000 dengan Abu Bakar Ba’asyir sebagai amirnya, tak begitu aktif meski memiliki 500-an anggota.
MMI mengampanyekan penegakan hukum Islam lewat situs internet dan mengirimkan surat pada simbol-simbol negara, terkait keinginan untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia.
Endro Sudarsono, mantan anggota yang juga pernah menjadi juru bicara MMI menduga penetapan MMI sebagai teroris global lebih dipengaruhi oleh aksi mereka yang sangat keras dalam penegakan syariat Islam tersebut.
Terkait kemungkinan MMI pernah mengirimkan anggotanya ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok militan, Endro mengatakan tidak pernah.
“Kalau bersifat personal anggotanya mungkin saja ada, tapi bukan dikirim oleh MMI,” katanya kepada BeritaBenar.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto dan juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris yang dihubungi BeritaBenar berulang kali untuk konfirmasi tidak menjawab panggilan. Pesan singkat yang dikirim juga tak dibalas mereka.
Pada awal 2017 lalu, Pemerintah AS menetapkan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) sebagai kelompok teroris global karena telah berbaiat pada ISIS.
JAD, menurut polisi, adalah pihak yang bertanggung jawab dalam aksi bom bunuh diri di terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, 24 Mei lalu. Dalam aksi itu, tiga polisi dan dua pelaku tewas.
Kemlu AS juga telah memasukkan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pada September 2015. MIT dianggap bertanggung jawab dalam berbagai serangan yang menggunakan bahan peledak dan senjata api.
Pertanyakan kriteria
Pakar dan peneliti terorisme Asia Tenggara, Sidney Jones, merasa aneh dengan penetapan MMI sebagai teroris global. Dia mempertanyakan kriteria yang digunakan Pemerintah AS.
Menurut Sidney, MMI tidak punya kriteria untuk ditetapkan sebagai teroris global meski dikenal organisasi garis keras dan pernah menyumbang untuk al-Nusra.
“Tidak masuk akal dan sudah keterlaluan kalau dicap teroris, sementara mereka tidak pernah melakukan kekerasan apapun,” ujar Sidney saat dihubungi.
Hal sama juga dirasakan Sidney ketika Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI) dimasukkan dalam daftar teroris global oleh AS pada 2016. Selain tak pernah melakukan kekerasan, HASI bukan organisasi teroris.
“Masuk daftar karena memberikan bantuan medis untuk Suriah?” kata Sidney, yang juga Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC).
Peneliti dari Yayasan Prasasti Perdamaian, Thayep Malik, juga mempertanyakan kriteria yang digunakan Pemerintah AS saat mengklaim MMI sebagai teroris global.
Menurutnya, MMI sudah lama tidak memiliki hubungan apapun dengan Abu Bakar Ba’asyir yang kini mendekam di penjara atas dakwaan membantu pendanaan pelatihan militer di Aceh.
“Benar MMI adalah organisasi jihad dan beberapa seniornya pernah terlibat aksi teror, tapi tuduhan itu harus ada penilaian secara objektif,” ujar Thayep kepada BeritaBenar.
Ia mengaku tahu keberangkatan Shobbarin bersama sembilan orang lain ke Suriah pada 2014. Thayep memastikan kesepuluh orang itu tak bergabung ISIS karena mereka semua bisa pulang kembali ke Indonesia.
“Kalau gabung ISIS kan tidak bisa pulang ke negaranya,” ujarnya.
Terkait bergabung dengan al-Nusra, Thayep mengatakan memang ada anggota MMI yang berangkat ke Suriah untuk bergabung kelompok itu, yaitu Ridwan Abdul Hayyie, putra Abu Jibril – yang merupakan wakil amir MMI.
“Tapi tak pasti apakah dia berangkat ke Suriah mewakili MMI atau keinginan personal,” katanya.
Ridwan diketahui tewas dalam pertempuran antara al-Nusra dan Tentara Nasional Arab Syria (SAA) pada 2015 lalu.